Tuesday, September 26, 2006

The Spider and The Fly

Suka banget sama puisi ini. Diambil dari sini.


The Spider And The Fly
by Mary Howitt
"Will you walk into my parlour?" said the Spider to the Fly, "
'Tis the prettiest little parlour that ever you did spy;
The way into my parlour is up a winding stair,
And I have many curious things to show you when you are there."
"Oh no, no," said the Fly,
"to ask me is in vain;
For who goes up your winding stair can ne'er come down again."
"I'm sure you must be weary, dear, with soaring up so high;
Will you rest upon my little bed?" said the Spider to the Fly.
"There are pretty curtains drawn around, the sheets are fine and thin;
And if you like to rest awhile, I'll snugly tuck you in!"
"Oh no, no," said the little Fly,
"for I've often heard it said They never, never wake again, who sleep upon your bed!"
Said the cunning Spider to the Fly, "Dear friend, what can I do
To prove that warm affection I've always felt for you?
I have within my pantry, good store of all that's nice;
I'm sure you're very welcome - will you please take a slice?"
"Oh no, no," said the little Fly, "kind sir, that cannot be,
I've heard what's in your pantry, and I do not wish to see!"
"Sweet creature," said the Spider, "you're witty and you're wise;
How handsome are your gauzy wings, how brilliant are your eyes!
I have a little looking-glass upon my parlour shelf;
If you step in one moment, dear, you shall behold yourself."
"I thank you, gentle sir," she said,
"for what you're pleased to say; And bidding good morning now, I'll call another day."
The Spider turned him round about, and went into his den,
For well he knew the silly Fly would soon come back again;
So he wove a subtle web in a little corner sly, And set his table ready to dine upon the Fly.
Then he came out to his door again, and merrily did sing, "Come hither, hither, pretty Fly, with the pearl and silver wing;
Your robes are green and purple, there's a crest upon your head;
Your eyes are like the diamond bright, but mine are as dull as lead."
Alas, alas! how very soon this silly little Fly,
Hearing his wily, flattering words, came slowly flitting by;
With buzzing wings she hung aloft, Then near and nearer drew, -
Thinking only of her brilliant eyes, and green and purple hue;
Thinking only of her crested head - poor foolish thing! At last,
Up jumped the cunning Spider, and fiercely held her fast.
He dragged her up his winding stair, into his dismal den
Within his little parlour - but she ne'er came out again!
And now, dear little children, who may this story read,
To idle, silly, flattering words, I pray you ne'er heed;
Unto an evil counsellor close heart, and ear, and eye,
And take a lesson from this tale of the Spider and the Fly.

The Name is Draco...




Dari sebuah fanfic di fanfiction.net

"He is named after the dragon, a sea serpent existing even before the sea and sky had been divided from each other….
Monsters of primeval darkness and chaos, dragons can only be overcome by the powers of sunlight before the creation of the world can take place—before a new beginning can occur.”

“True to his name, he has been living in darkness and chaos all of his life. He was swallowed up by the expectations, the disappointments, and the bitterness. Everything about him was out of control, hence his constant struggle…to obtain… and maintain control; but he failed...because of the light....”

Monday, September 25, 2006

Mata yang Tak Pernah jatuh Cinta

Nggak tau apaan :P.

Tidak ada yang tahu kenapa mata itu tak pernah jatuh cinta. Mungkin ada saatnya sepasang mata itu melirik, melotot, mendelik, atau hanya menutup pasrah. Tapi mereka tak pernah jatuh cinta. Bahkan ketika helaian daun terakhir yang tersisa di pohon akasia mengiba-iba menanyakan mengapa mata itu tak pernah jatuh cinta, mata itu tak mampu menjawab.
Mata itu selalu mengembara, seperti ingin menelusuri perjalanan Kubilai Khan yang menghunus pedang yang setara berharganya dengan nyawa baginya. Mereka menemukan ketenangan pada genangan air yang berdzikir begitu rezeki telah usai melompat-lompat dari langit.Kadang mereka menyempatkan diri dan berbincang dengan batu-batu kecil yang kokoh bersila di pinggirjalan. Kadang mereka menunduk sebentar, mengamati jalanan yang terhampar di bawah, seperti karpet tak berujung.
Kenapa manusia menyamakan panjangnya jalan dengan cinta kasih orang tua?
Bukankah jalan itu pada akhirnya berbelok, dan tak selamanya lurus tak bergejolak? Bukankah sering jalan itu tandus, tak beraspal dan tak rata serta rindu akan percikan hujan karena kepulan debunya?
Mata yang jatuh cinta tahu ia takkan pernah bisa meniru kasih sayang di mata kedua orang tua, yang malangnya diumpamakan dengan panjangnya jalan. Mata yang jatuh cinta rindu melanglang buana, mencari tatapan lain yang begitu ingin ia tiru, tatapan mata lain yang begitu penuh cinta. Tapi tidak ada yang lebih indah dari tatapan mata kedua orang tua pada anaknya, yang masih merupakan benih kehidupan.
Mata yang tak pernah jatuh cinta begitu iri. Iri pada kehidupan dan kebahagiaan sederhana yang menjadikan mata-mata lain begitu bersinar. Iri pada mata-mata lain yang merasakan cinta Pencipta mereka bahkan hanya dari hembusan angin yang menyapa di sore hari. Iri pada ikan-ikan yang berenang, yang mata penuh cinta mereka mencegah air di sekelilingnya untuk membeku bahkan saat udara sedang bermuram durja.
Mata yang tak pernah jatuh cinta selalu sendirian. Kadang ia merasa seperti Mathew Arnold dan “Dover Beach”-nya, penyair yang menatap kejauhan selat Inggris dan meratapi nasib dunia setelah guncangan religius terjadi. Mata yang tak pernah jatuh cinta bisa mengerti bagaimana perasaan mata sang penyair, resah dan tak pasti. Mungkin ada saat dimana penyair itu berharap bumi menelannya bulat-bulat, tanpa ada niatan untuk memuntahkannya lagi.
Ini seperti rayuan pulau kelapa. Mata yang tak pernah jatuh cinta mengembara ke pasir-pasir pantai yang bernyanyi riang bersama ombak, berayun kesana kemari, menguliti laut dan bercanda dengan kerang-kerang yang sedang berjemur. Mata yang jatuh cinta bisa merasakan cinta raja siang yang sedang bercengkrama lembut bersama camar-camar. Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin ikut bernyanyi bersama mereka,tapi kerongkongannya tengah kering dan suaranya sumbang. Mata yang tak pernah jatuh cinta mendesah kecewa.
Mata yang jatuh cinta mempertanyakan lagi kenapa ia tak pernah jatuh cinta. Mungkin saja ia takut cintanya hanya bernasib seperti cinta manusia yang hanya bersinar sepanjang usia kecantikannya. Mungkin ia takut cintanya akan berujung pada kebencian dan kekecewaan. Mungkin karena…
Mata yang tak pernah jatuh cinta begitu menyukai kedalaman mata pada kucing-kucing yang tersipu saat ia menatap mereka. Pantasnyalah hewan ini adalah hewan kesayangan Rasulullah! Merekakah yang telah menginspirasi Soseki Natsume mengorek kedalaman jiwa manusia, merobek segala topeng mereka dengan sekali hentak?
Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin seseorang menuliskan kisahnya, menuliskan kisahnya dan membuatnya jatuh cinta. Menuliskan kisahnya dan membacakannya di gulita, menyalakan pelita. Menuliskan kisahnya dan membisikkannya perlahan, mengulum kata-kata itu dan mengucapkannya pada hati yang kesepian.
Mata yang tak pernah jatuh cinta tahu ia tak pernah bisa selamanya mengembara. Ia ingin menyelusup ke tangan penari, merasakan wirama, wiraga, wirasa yang menyatu pada tubuh mereka. Merasakan kehalusan gerak dan jiwa mereka yang seakan berpisah dari tubuh saat mereka menari. Atau ikut menyanyikan macapat kinanthi, suara mereka lembut menggaung, seperti sayatan pisau yang tengah mengupas buah, mengiris tanpa menyakitinya.
Seperti itulah, Mata yang tak pernah jatuh cinta bertanya apa yang akan terjadi apabila ia menua, dan ia belum pernah jatuh cinta? Menua, apakah menua itu? Menjadi keriput dan lelahkah ia nanti saat ia menua? Tersia-siakah ia saat ia menua dan lanjut usia?
Mengapa jarang sekali ada mata yang mampu mencapai kecantikan sejati saat ia mencapai usianya?
Mata yang jatuh cinta selalu menganggap mata yang penuh dengan pengalaman hidup dan cinta kasih selalu bercahaya dan begitu cantik. Begitu cantiknya hingga mereka bahkan terlihat begitu bersih dan tanpa dosa bagi mata yang tak penah jatuh cinta. Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin menyudahi petualangannya. Ia sudah mendaki beberapa gunung, menyelami beberapa samudra, bahkan mengelana di gurun-gurun. Tapi ia belum pernah jatuh cinta. Mengapa cinta terasa begitu sederhana, tapi begitu mahal dan tak tertelan oleh lidah dan mulutnya?
Bisakah mata yang tak pernah jatuh cinta merasakan cinta yang tersia-sia dari pepohonan yang hangus terbakar di hutan-hutan karena kejahilan manusia? Betapa pepohonan itu menangis karena cintanya tak lagi mampu menaungi sesama penghuni rimba yang bernaung di bawahnya. Betapa pepohonan itu menangis karena tak lagi bisa merasakan cinta tulus dari sang akar yang tak pernah menonjolkan dirinya ke permukaan bumi. Selalu memberi tanpa pernah meminta kembali.
Mungkin mata yang tak pernah jatuh cinta akan jatuh cinta ketika ia mencari ke delapan penjuru angin, seperti Bima yang mencari tentang kebenaran sejati hingga ke dalam lautan luas. Tapi bahkan angin pun menggeleng ketika mata yang tak pernah jatuh cinta bertanya. Ia telah terlalu lelah meniup awan-awan bandel yang manja. Angin juga ingin bermain dan meniup-niup perahu layar nelayan hingga mereka bisa menyapa ikan dan mengajak ikan-ikan itu pulang ke rumah.
Mata yang tak pernah jatuh cinta mulai putus asa. Ia ingin pergi saja seperti seorang pengelana di dalam guanya, menyatukan panca indera demi menghadap Pencinta yang amat dicintainya. Tak menghindahkan desahan dedaunan yang ingin menggoda. Juga haus dan lapar yang menggigit perut dan kerongkongannya. Sanggupkah mata yang tak pernah jatuh cinta berbuat seperti sang pertapa?
Mata yang tak pernah jatuh cinta kembali mengulang rekaman kisah pewayangan yang sering didongengkan ibunya dahulu. Tentang Dananjaya yang tetap teguh bertapa walaupun bidadari-bidadari mengganggunya dengan segala cara. Menggoyahkannya seperti sebuah batu di pinggir jurang terjal. Dananjaya yang telah mati panca inderanya selama ia bertapa. Itukah cinta? Jika Dananjaya sekali saja membuka mata, tentunya ia akan menyadari kedatangan Batara Guru yang menyamar membangunkannya dari tidur panjang.
Kedatangan dewa yang telah dibutakan oleh cintanya sendiri ketika sumirat datang dan mengaburkan pandangan. Cinta yang terkaburkan oleh hasutan tunggangannya sendiri hingga kutukan pun terlontarkan pada seseorang yang pernah ia sebut cinta.
Mata yang tak pernah jatuh cinta tak tahu apakah ia harus mengandalkan segala panca inderanya atau tidak untuk bisa jatuh cinta. Lelahkah jatuh cinta itu? Terasa seperti kehabisan darahkah mencintai itu? Bagaimana seseorang sanggup bertahan ketika cintanya tidak terbalas? Benarkah mencintai harus selalu berbalas? Mata yang tak pernah jatuh cinta tidak tahu bagaimana ia akan mencari jawaban atas segala pertanyaan itu.
Ia tahu Shakespeare begitu lihai meramu kisah cinta tragis yang tak putus-putusnya dibisikkan zaman ke telinga-telinga manusia yang menelan bulat-bulat kisah itu, meneteskan air mata ketika mengetahui akhir dari seluruh kisah itu, tetapi dengan tragisnya membuang kebahagiaan mereka sendiri dengan mengulang kisah yang sama.
Pantaskah seseorang mengakhiri hidup orang lain dan bertindak bagai Tuhan dengan mengambil nyawanya sendiri untuk sesuatu yang disebut cinta? Mata yang tak pernah jatuh cinta tak pernah mengerti. Tak pernah bisa mengerti. Apakah yang indah dari kehancuran satu makhluk Sang Pencipta yang lain demi kejayaan yang lain? Tak bisakah pengorbanan tidak berbumbukan darah? Ini bukanlah kisah heroik, sebuah elegi pagi hari yang dipersembahkan mentari kepada mata yang tak pernah jatuh cinta. Ia tak akan pernah tertarik.
Benarkah yang terekam oleh kisah-kisah Ramayana dan Bharatayudha adalah cinta? Sedhumuk batuk senyari bhumi, hak milik harus diperjuangkan,kata para pujangga itu membenarkan tindakan para pelakunya. Akan tetap hidupkah para legenda-legenda itu jika perang tak berkobar? Akan tak tersia-siakah air mata janda-janda yang ditinggalkan dan anak-anak yang dalam sedetik menjadi yatim tak berdaya?
Cintakah itu yang mengalir dari bantuan-bantuan pangan seperti hujan deras pada negara-negara yang tertimpa musibah? Uluran tangan itu, senyum itu, rangkulan hangat itu. Terbayarkah cinta semacam itu oleh mereka yang dicintai? Dan benarkah energi yang tengah mengalir dari rimbun air terjun mengucur deras itu juga cinta? Begitu pulakah tsunami penghancur dan pematah hati, pemisah manusia dari orang-orang yang dicintainya?
Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin terus melanglang buana, bagai pasir dicurahkan dari bejana waktu, mengais dan meringis, memaparkan gelak dan bergerak berontak. Mungkin ia akan berakhir mengenaskan, terkapar tanpa ada yang mengenali dirinya lagi, mungkin pula ia akan berjaya dan jatuh cinta. Mungkin. Mata yang jatuh cinta kali ini hanya ingin menyapa angin merah jambu kesayangannya. Angin merah jambu yang membawa seutas kemilau di lehernya kemanapun ia berlari, meloncat, berjalan.

Angin merah jambu dan seutas kemilaunya.

Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?

Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan

Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit

Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?

Angin Merah Jambu, namamukah digemakan dasar samudera?
Ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
Tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
Dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?

Mata yang tak pernah jatuh cinta masih ingin jatuh cinta. Masih.

Sunday, September 24, 2006

Ramadhan....

Copy paste dari milis Annaba :P *gak kreatif*. Met menjalankan ibadah puasa,mohon maaf atas segala kesalahan :)

The Sermon Given By The Prophet (s) On The Last Friday Of Sha'ban On The Reception Of The Month of Ramadhan
"O People!Indeed ahead of you is the blessed month of Allah.A month of blessing, mercy and forgiveness.A month which with Allah is the best of months.Its days, the best of days; its nights, the best of nights; and its hours, the best of hours.It is the month which invites you to be the guests of Allah and invites you to be one of those near to Him.

Each breath you take glorifies Him; your sleep is worship, your deeds are accepted and your supplications are answered.So, ask Allah, your Lord; to give you a sound body and an enlightened heart so you may be able to fast and recite His book, for only he is unhappy who is devoid of Allah's forgiveness during this great month.

Remember the hunger and thirst of the day of Qiyamah (Judgement) with your hunger and thirst; give alms to the needy and poor, honor your old, show kindness to the young ones, maintain relations with your blood relations; guard your tongues, close your eyes to that which is not permissible for your sight, close your ears to that which is forbidden to hear, show compassion to the orphans of people so compassion may be shown to your orphans.

Repent to Allah for your sins and raise your hands in dua during these times, for they are the best of times and Allah looks towards his creatures with kindness, replying to them during the hours and granting their needs if he is asked...

O People! Indeed your souls are dependant on your deeds, free it with Istighfar (repentance) , lighten its loads by long prostrations; and know that Allah swears by his might: That there is no punishment for the one who prays and prostrates and he shall have no fear of the fire on the day when man stands before the Lord of the worlds.

O People! One who gives Iftaar to a fasting person during this month will be like one who has freed someone and his past sins will be forgiven." Some of the people who were there then asked the Prophet (s): "Not all of us are able to invite those who are fasting?"

The Prophet (s) replied: "Allah gives this reward even if the Iftaar is a drink of water.""One who has good morals (Akhlaq) during this month will be able to pass the 'Siraat'...on the day when feet will slip...One who covers the faults of others will benefit in that Allah will curb His anger on the day of Judgement... As for one who honors an orphan; Allah will honor him on the day of judgement.And for the one who spreads his kindness, Allah will spread His mercy over him on the day of Judgement.As for the one who cuts the ties of relation; Allah will cut His mercy from him...

Who so ever performs a recommended prayer in this month, Allah will keep the fire of Hell away from him...Whoever performs an obligator prayer, Allah will reward him with seventy prayers [worth] in this month.And who so ever prays a lot during this month will have his load lightened on the day of measure.He who recites one verse of the holy Quran will be given the rewards of reciting the whole Qur'an during other months.

O People! Indeed during this month the doors of heaven are open, therefore ask Allah not to close them for you;The doors of hell are closed, so ask Allah to keep them closed for you.During this month Shaytan (Saten) is imprisoned so ask your Lord not to let him have power over you."

Thursday, September 14, 2006

Serigala Tua dan Kendaraan Cahaya



Setiap manusia adalah serigala. Bukan, bukan bagi sesamanya. Ia sendiri adalah serigala, utuh dan satu.
Ada seekor serigala tua yang begitu mencintai kebebasan dan membutuhkan kebebasan itu seperti ia membutuhkan nafas pada detik kehidupannya. Seperti ia membutuhkan hujanan cinta Penciptanya.
Serigala yang gelisah.
Serigala yang ingin berlari sejauh mungkin dari kawanan kelompoknya.
Serigala yang lelah karena lolongannya tak lagi sejalan dengan lolongan kelompoknya.
Serigala yang berbeda.
Serigala yang penasaran dengan rasa embun di pucuk cemara dan ingin menggapainya.
Serigala yang tak pernah bosan melihat pantulan wajahnya di bulan purnama.
Serigala yang sendu.
Serigala yang mengerti bahwa ia takkan pernah bisa terus berlari tanpa terlempar dari pusaran waktu.
Serigala yang mengerti perasaan pertapa di senyap guanya.
Serigala yang menggigit habis kesunyian dan memeluk sunyi itu saat ia tidur.
Serigala tua yang resah.
Serigala yang ingin kendaraan cahayanya, agar kaki tua itu bisa berhenti mengelus bumi saat ia berlari.
Ya, serigala yang ingin berburu lagi, tapi merasa usia menahannya setiap hari.
Serigala tua itu.

Sunday, September 10, 2006

Angin Merah Jambu dan Seutas Kemilaunya

Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?

Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan

Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit
Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?

Angin Merah Jambu
namamukah digemakan dasar samudera?
ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?

Tuesday, September 05, 2006

Delapan Penjuru Angin




Tadinya buat Buku Tahunan...tapi nggak kepake :P.

Delapan Penjuru Angin
Berkaca pada telaga teduh di hati
Yah, pernah ada kata-kata merasuk dan membuat porak-poranda
Pernah ada polah merampas senyum bahagia

Menatap ketegaran di sukma
Yah, ada kata maaf yang tertunda
Ada sesal batin tak terduga

Mendengar irama merdu di bibir
Mungkin ada goresan dalam menghujam
Kadang mega berarak tipis di pelupuk mata
Ada tangis yang tak sempat terdengar
Ada gusar yang tak sampai hati terucap

Tujuh ratus dua puluh hari yang banyak terpangkas
Selami hati masing-masing
Tanggalkan topeng-topeng yang telah membeku
Dan menorehkan satu kenangan di hati kami

Dalam sejarah hidup yang singkat
Telah tersisa ruang untuk delapan lain di hati setiap sembilan
‘Tuk melangkah melintasi 8 penjuru angin
Berguru pada alam semesta yang luas tiada batas

Sunday, September 03, 2006

Episode Langit, Episode Bumi



Dedicated to my Angel of Music (terima kasih Bu Amdai atas dipilihnya puisi ini untuk Antologi Penyair Perempuan 2006) :).Alhamdulillah.

Episode Langit, Episode Bumi

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Beristirahatlah
Perdengarkan detak jantungmu pada dunia
Dan kebencianmu pada putus asa
Hingga matahari malu dan merona

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Beristirahatlah
Tunjukkan senyummu pada mereka
Dan melodi jemarimu yang terus melecut angkasa
Hingga malam enggan mengaku dirinya juwita

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Berisitirahatlah
Bukankah kita telah berjanji
Aku, kau
Kau, aku
Masing-masing menjadi saksi
Episode langit, episode bumi
Yang kita lakukan tiap hari
Bahwa kita pernah ada
Bahwa kita,
Pernah ada
Pernah
Ada

Untuk Vanya: tetap semangat, itu bukan halangan :)

Saturday, September 02, 2006

My first...so-called teenlit short story :P

Assalamualaikum,
sedikit introduction, kenapa tiba-tiba saya nulis cerita seperti ini? Udah lumayan lama sebenernya, dan Alhamdulillah, atas kebaikan Bapak K.Atmodjo dari Cerita Kita, cerpen ini bisa dimuat di edisi April 2006. The credit goes to the source of my inspiration, gak bisa disebutin disini, but I'm thankful for all those memories that I have, it's better than nothing. And believe it or not, kalau orang bilang hampir semua tulisan itu adalah pengalaman penulisnya, yang ini...cuma sedikit terinspirasi:P. Yah, potongan-potongan ingatan yang masih rapi tersimpan aja :). Enjoy!
LIBURAN KALI INI
Putri mengemasi pakaian ke dalam tasnya dengan gembira.Bibirnya yang mungil sedari tadi asyik bersiul-siul pertanda ia sedang bergembira.Baju, pakaian dalam, handuk, obat-obatan, perlengkapan mandi, alat rias….Ia sibuk merinci apa saja yang akan dibawanya.
”Sudah siap, Put?” Mama muncul dari balik pintu kamar.”Nggak ada yang ketinggalan?” Mama duduk di tempat tidur dan ikut membantu Putri melipat dan memasukkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk liburan kali ini.
“Lho, mana kaus kaki dan selimutmu, Put? Bawa dong, nanti disana kamu kedinginan.” Mama menegurnya setelah memeriksa semua bawaan Putri.
“Oh iya, Ma! Untung Mama ingatkan. Putri hampir lupa.” Putri menepuk keningnya sendiri, lalu bergegas mengambil selimut dan kaus kaki dari lemari.
”Disana kan dingin, nanti kalau alergimu kambuh bagaimana?” Mama mulai mencereweti anak perempuan satu-satunya itu. “Tenang aja, Ma.Putri udah sedia semua yang perlu dibawa, kok.Udah bawa obat alergi juga.”
Putri hari ini akan pergi untuk acara perpisahan kelasnya.Ia sudah tak bisa tidur dari semalam membayangkan asyiknya pergi berjalan-jalan ke luar kota. Apalagi sahabat-sahabatnya juga ikut.Demikian juga Dewa, anak cowok sekelas yang sudah lama ditaksir Putri.
”Put, lo ikut, kan?” Rena sudah sibuk memperingatkan Putri akan acara mereka jauh-jauh hari.”Jadi, dong!” Putri tersenyum.Senang juga ia akhirnya berhasil merayu Mama untuk mengizinkan mengikuti acara perpisahan%LIBURAN KALI INI
Putri mengemasi pakaian ke dalam tasnya dengan gembira.Bibirnya yang mungil sedari tadi asyik bersiul-siul pertanda ia sedang bergembira.Baju, pakaian dalam, handuk, obat-obatan, perlengkapan mandi, alat rias….Ia sibuk merinci apa saja yang akan dibawanya.
”Sudah siap, Put?” Mama muncul dari balik pintu kamar.”Nggak ada yang ketinggalan?” Mama duduk di tempat tidur dan ikut membantu Putri melipat dan memasukkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk liburan kali ini.
“Lho, mana kaus kaki dan selimutmu, Put? Bawa dong, nanti disana kamu kedinginan.” Mama menegurnya setelah memeriksa semua bawaan Putri.
“Oh iya, Ma! Untung Mama ingatkan. Putri hampir lupa.” Putri menepuk keningnya sendiri, lalu bergegas mengambil selimut dan kaus kaki dari lemari.
”Disana kan dingin, nanti kalau alergimu kambuh bagaimana?” Mama mulai mencereweti anak perempuan satu-satunya itu. “Tenang aja, Ma.Putri udah sedia semua yang perlu dibawa, kok.Udah bawa obat alergi juga.”
Putri hari ini akan pergi untuk acara perpisahan kelasnya.Ia sudah tak bisa tidur dari semalam membayangkan asyiknya pergi berjalan-jalan ke luar kota. Apalagi sahabat-sahabatnya juga ikut.Demikian juga Dewa, anak cowok sekelas yang sudah lama ditaksir Putri.
”Put, lo ikut, kan?” Rena sudah sibuk memperingatkan Putri akan acara mereka jauh-jauh hari.”Jadi, dong!” Putri tersenyum.Senang juga ia akhirnya berhasil merayu Mama untuk mengizinkan mengikuti acara perpisahan kali ini.Maklum, Putri anak perempuan satu-satunya yang selalu dikhawatirkan Mamanya.Kepergian Putri kali ini juga lantaran ia berhasil membujuk Mama dengan rayuan mautnya, kalau tidak, sudah pasti Putri tidak akan bisa ikut acara perpisahan kelas kali ini.
“Pak Karno udah dateng, Ma?” Putri menanyakan sopir keluarga mereka itu. “Udah, tinggal nunggu kamu aja.Sarapan dulu, yuk! Mama udah bikin nasi goreng.” Putri mengikuti mamanya ke dapur.Bau nasi goreng buatan Mama yang lezat sudah menyambutnya begitu ia menarik kursi untuk makan.
“Hai Put!” Rena menyapanya tatkala Putri sudah sampai di gerbang sekolah.”Hai Ren.” Putri melambaikan tangan dan tersenyum sekilas, matanya sibuk mencari-cari, melempar pandangan ke kerumunan anak cowok yang sedang duduk-duduk di depan kelas-kelas.”Cari siapa, Put?” Rena mengikuti pandangan gadis itu dengan penasaran.
“Cari Dewa.Udah dateng belum dia?” Putri berkata dengan setengah berbisik.”Belum, biasalah Dewa, tukang ngaret.” Rena berkomentar cuek.”Mendingan ke kelas dulu, yuk, foto-foto sebentar mumpung lo udah dandan begini.” Rena menggiring sahabatnya menuju kelas yang sudah ramai.
“Ren, lo nggak bilang kalo Nina ikut?”Suara Putri meninggi ketika melihat seorang gadis cantik berambut panjang yang sedang duduk-duduk di depan kelas. “Kenapa gue harus bilang?” “Aduh, lo nggak tahu aja kalo gue nggak suka sama dia!” Putri menatap diam-diam gadis langsing berambut panjang yang cantik itu.Memang Nina seorang gadis yang agak sombong dan judes, sering meremehkan orang lain.Bukan itu saja sebenarnya.Nina juga saingan berat Putri dalam memperebutkan Dewa.
“Put, biarpun dia saingan elo ngerebutin Dewa, bukan berarti dia nggak boleh ikut, dong?” Widya yang sedari tadi diam ikut berkomentar.Gadis pendiam itu memang tidak suka ribut-ribut.“Gue nggak bilang begitu, cuma gue nggak suka kalo dia ikut.” Putri menggigit bibirnya dengan kesal.Matanya menatap Nina yang sedang berjalan mendekat kearah mereka.
“Hai Put.Gue sangka lo nggak ikut? Bukannya nyokap lo nggak ngebolehin elo pergi?” Nina tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. “Oh, sayang dugaan elo salah, Nin.
Nyokap gue ngebolehin gue pergi, kok.” Putri berusaha menjawab dengan santai.”Oh, gue kira nyokap lo masih memperlakukan lo kayak anak umur lima tahun yang belum bisa ngapa-ngapain.Bukannya biasanya gitu?” Nina menyindir tajam.Widya cepat-cepat meraih tangan Putri yang terkepal dan membimbing gadis itu menjauhi Nina.
“Wid, lepasin gue.” Putri menarik tangannya dari genggaman Widya.”Gue lepasin asal lo janji lo nggak bakalan berantem sama Nina.” “Gue janji.Lagian nggak ada untungnya gue berantem sama dia.Bikin malu aja.” Putri menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaannya.”Tapi dia emang keterlaluan, Wid.Dia nggak bisa seenaknya ngomong begitu ke gue!” “Sabar, Put. Pasti dia dapet balasannya nanti.”
”Put, daripada disini terus dan lo panas ngeliat kelakuan Nina, mendingan kita ke bis, yuk, beresin barang-barang sama ngelihat tempat duduk.” Rena berusaha mengalihkan perhatian.”Ayo deh, Ren.” Putri membiarkan gadis itu menarik tangannya.
Mereka bertiga menuju bus wisata yang sudah terparkir di halaman sekolah dan memilih tempat duduk.”Ren, gue di samping elo, ya?” Rena berpaling pada Putri yang meletakkan tasnya pada bangku di deretan kanan.”Boleh, asal lo tahan aja.” “Tahan apa?” “Gue pasti tidur kalo di mobil, dan elo mesti tahan berisik kalo gue mendengkur.” Rena tersenyum jahil. “Tenang aja, Ren, gue bawa walkman buat nutupin kuping gue, kok.” Putri menimpuk bahu sahabatnya dengan syal yang ia bawa sambil tertawa.Ia tahu Rena cuma bergurau.
“Huahm…” “Ssst…bangun, Ren! Udah nyampe!” Dengan gerakan kasar Putri mengguncang bahu Rena yang masih pulas tertidur.”Aduh, ada apa sih Put?” Rena membuka matanya separuh.”Udah waktunya makan?” “Kita kan makan di vila! Udah nyampe, nih.Entar lo nggak kebagian makanan, lho.” Putri bersiap-siap meninggalkan Rena di bis yang mulai sepi, memaksa gadis itu membuka matanya.”Iya, gue bangun! Duh, galak bener sih elo, Put? Udah kayak nyokap gue di rumah.” Putri tertawa.
Berdua mereka membawa tas berisi pakaian yang cukup berat ke vila itu.”Put, gak nyesel gue kesini, pemandangannya bagus banget.” Rena mengedarkan pandangannya, melihat sekeliling vila.Memang indah, gunung yang tampak kebiruan dari kejauhan, bangunan vila yang sederhana namun anggun, dengan halaman luas ditumbuhi rumut-rumput rapi teratur.
Putri berhenti sejenak, melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku sepanjang perjalanan tadi.Ia mengeluarkan kamera sakunya dan langsung membidik dengan cekatan, mengambil beberapa foto. ”Iya, Ren.Untung gue bawa kamera, bisa dapet banyak foto bagus, nih.”
“Sebenernya lo bawa kamera buat motret Dewa, kan? Ngaku aja, Put.” Rena memonyongkan bibirnya, mulai kambuh keisengannya.”Iya, tapi gue nggak tahu dia mau atau nggak.” “Masa difoto aja nggak mau, sih? Sombong banget tu anak!” Rena membelalakkan matanya tak percaya.”Bukan masalah sombong atau nggak, coba kalo lo liat tadi di bis, dia akrab banget sama Nina.” “Dia kan cowok yang baik, Put.Emang biasa terlalu ramah ke cewek, jadi orang sering salah paham.Dan lo tahu sendiri Nina kayak apa.” Rena mengutarakan pendapatnya.
“Hoi! Pada ngobrol aja! Udah dapet kamar, belum?” Iqbal sang ketua kelas menegur mereka berdua dengan sewot. Maklum, ia memang bertanggung jawab atas pembagian kamar mereka. “Boleh nggak gue lihat daftarnya, Bal?” Iqbal mengulurkan lembaran kertas yang dipegangnya.Putri mengamati daftar itu sejenak.”Gue di ruang dua aja, deh.” “Ruang dua udah penuh, tuh.Kalau mau di ruang tiga aja.” Iqbal menelusuri daftar itu sekali lagi dengan jemarinya, mencoba memeriksa.
”Masa, Bal? Nggak ada tempat buat kami?” Rena yang sedari tadi diam ikut bicara. “Kayaknya nggak, tuh, tapi coba tanya aja yang lain dulu, mungkin ada yang mau tukeran.Tapi kayaknya nggak bisa, deh.Udah fixed tempatnya.” Iqbal berpaling ke arah lain.”Ayo, ayo, siapa yang belum dapet kamar? Buruan ke gue!”
“Yah, Ren, gimana nih?” Putri bertanya dengan gelisah.”Gue sih nggak apa-apa, Put.Emang kenapa?” “Lo lihat, dong, tadi tuh Nina juga di ruang tiga!” Rena menggigit bibirnya.”Ya udahlah Put.Mau gimana lagi? Nggak apa-apalah, cuma sekamar doang.”
Putri cemberut.Ah, kenapa liburan yang sudah ditunggu-tunggunya jadi runyam begini? Tahu begitu lebih baik ia tidak usah ikut!
Pesta jagung bakar dimulai malam itu.Anto yang jago bermain gitar langsung didaulat menyumbangkan sebuah lagu.Putri ikut bernyanyi.Kekesalannya akibat kejadian siang tadi sudah mulai berkurang.”Suara kamu bagus, Put.” Sebuah suara yang sudah dikenalnya tiba-tiba terdengar sangat dekat di telinga Putri Ia mendongak dan tiba-tiba saja nyanyian Putri langsung terhenti begitu melihat sosok Dewa yang tinggi tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
“Eh, Dew.Ngagetin aja.nggak, suaraku biasa aja, kok.Kamu nggak ikut nyanyi?” Putri menggeser duduknya sedikit, membiarkan Dewa duduk di sampingnya.”Nggak.Suaraku jelek, nanti mereka pingsan semua.” Dewa tertawa. Putri diam-diam mengamati figur cowok idamannya ini.Hidung yang mancung, alis yang tebal, senyum yang kekanak-kanakan…
“Put, kok nggak ngelanjutin nyanyi? Gue ganggu elo, ya, kalo disini?” Putri tergeragap.”Ah, nggak Dew, nggak apa-apa, kok.” Mereka berdua terdiam.”Anto jago banget main gitarnya, ya?” Putri berusaha membuka percakapan.Anto sudah memetik gitarnya lagi dan memainkan lagu lain.Tanpa terasa Putri menggerak-gerakkan kakinya mengikuti irama lagu itu.”Iya.Kamu suka cowok yang bisa main gitar?” Dewa menatap mata Putri dalam-dalam, membuat bibir gadis itu seperti terkunci dan sulit bicara.
“Nggak harus bisa, sih.Tapi…sebenernya aku pengen ada orang yang nembak aku sambil main gitar, dan nyanyiin love song buatku.” Wajah Putri memerah, ia baru sadar telah bicara terlalu terus terang pada Dewa.”Beneran? Wah, kamu romantis juga, ya?”
Putri tertawa, ketegangannya mencair seketika.Putri dan Dewa mengobrol lagi tanpa menyadari ada sepasang mata yang berkilat-kilat penuh amarah melihat keakraban mereka.
“Lo jangan macem-macem ya Put!” Mata Nina berkilat-kilat penuh amarah saat mereka ada di kamar tidur malam itu. “Macem-macem gimana?” Putri berusaha tetap tenang, walaupun darahnya sudah mendidih melihat tingkah laku Nina. “Jangan berlagak bego, lo! Lo ngobrol apa aja sama Dewa kemarin?” Suara Nina meninggi.”Nggak ngobrol apa-apa, cuma soal musik, kok.”
Nina menghela nafas kesal.”Beneran, lo nggak ngomongin yang lain lagi?” Suara Nina masih penuh kecurigaan, tapi nadanya mulai melunak.”Nggak, kalo lo nggak percaya lo boleh tanya Dewa.” Nina beranjak pergi ketika melihat Widya dan Rena yang berjalan mendekati mereka.Wajahnya yang cantik masih cemberut.
“Ada apa, Put?” Rena mendekati sahabatnya dengan mata terpicing.Ia tahu pasti maksud Nina tadi bukan untuk beramah tamah atau mengobrol dengan Putri.”Biasalah, apa lagi yang bisa bikin Nina kayak gitu?” Putri memakai sandalnya, lalu berdiri dan berjalan di atas halaman rumput yang tertata rapi, membiarkan Widya dan Rena tergesa-gesa bangkit untuk mengikutinya.
“Soal Dewa lagi?” “Iya, Wid, kayaknya dia sewot banget sama gue gara-gara gue ngobrol sama Dewa kemarin malam.” “Gue juga ngeliat elo ngobrol sama Dewa, ngomongin apa aja sih, Put?” Rena bertanya dengan penasaran. Putri mengangkat bahu.”Nggak ngomongin apa-apa, cuma soal musik.” “Biarpun nggak ngobrolin apa-apa itu kan kemajuan, Put?” “Iya sih, tapi nggak ada pengaruhnya, gue yakin dia tetep suka sama Nina.” Putri menunduk, wajahnya sedih.
”Ah, udahlah Put! Nggak ada gunanya elo sedih gitu. Kita makan, yuk! Baru beres-beres buat pulang.”Widya berusaha menghibur sahabatnya.Putri mengangguk dan meneruskan langkah ke muka depan vila.Matanya sempat mencuri pandang ke arah Dewa yang asyik bermain catur di pondok kecil bersama teman-temannya.
“Put, jangan bengong aja, dong.” Rena menyodorkan sekaleng jus jeruk ke Putri.”Mau minum?” “Nggak Ren, makasih. Gue nggak haus.”Rena mengangkat bahu, lalu meminum jus itu sendiri.Putri melemparkan pandangan ke luar jendela, berpura-pura asyik menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan.
Suasana bus itu ramai sekali. Beberapa anak memainkan gitar yang mereka bawa, sebagian bernyanyi, dan ada yang menyumpal kuping dengan walkman atau discman yang dibawa dari rumah. Putri termenung sedari tadi, menyumpal kupingnya dengan walkman, tapi tidak mendengarkan satu lagu pun.Ah, sedih sekali rasanya. Setelah ini ia pasti jarang sekali bertemu dengan Dewa karena mereka tidak sekelas.
“Teman-teman, dengerin nih.Dewa mau nyanyi sebuah lagu, yang dipersembahkan buat pujaan hatinya!” Roni si badut kelas sibuk mengoceh. Dewa yang ada di sampingnya tersenyum-senyum, membiarkan Roni berteriak-teriak.
“Yang pake walkman, pake discman, lepas dulu.Rugi lho kalo nggak dengerin!” Sekali lagi Roni berteriak. Rena menarik lepas earphone dari telinga Putri.”Ada apa, Ren?” Putri mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu.”Lepas dulu walkman lo! Dewa mau nyanyi!” “Ah, masa?” Putri cepat-cepat melepas earphonenya.
Dewa tersenyum.”Lagu ini, gue persembahkan untuk seseorang yang sebenarnya sudah lama gue sayangi, tapi gue nggak tahu dengan cara apa gue bisa menyatakan perasaan gue, dan tiba-tiba, tanpa gue minta dia udah ngasih jawabannya ke gue.” Dewa memetik gitarnya dan mulai bernyanyi, tiba-tiba saja suasana hening.Hanya terdengar suara berat Dewa yang melantunkan lagu cinta favorit Putri.
“Untuk orang yang sangat gue sayangi, Pramudita Saputri.” Dewa menyudahi permainannya dengan satu kalimat itu.Seluruh penumpang bus bertepuk riuh.Wajah Putri langsung memerah. Tiba-tiba saja liburan kali ini terasa begitu berkesan baginya.