Sunday, January 29, 2006

Salt of The Earth

Poem 8

Tuhan pernah berdiri disini
Kuyakin itu
Pernah menghembus nafas-nafas yang membumi
Yang ratapnya ditakuti batu cadas dan letusan gunung menggebu

Mungkin kita boleh bersimpuh
Membicarakan sutra-sutra yang menusuk melepuh
Atau tentang kulitmu yang kau jilat dan kau resap
Hingga lemah berasap

Boleh saja langkahmu mengombak
menetak retak
Menggapai jejak
Luluh lantak

Kali ini gugur daun merimbun
Desah mengubur
Dosa mengampun
Kusam tersungkur

Tuesday, January 24, 2006

Poem 6




Bu, inilah aku, manusia baru
Yang dulu bersemayam di rahimmu
Hingga pecah tangis melangit
Dan kau bergetar menahan sakit

Inikah dunia yang dibanggakan?
Pada seutas tiangnya, lebur harapan
Aku masih tak sanggup goyahkan Kinabalu
Dan remuk berjajar pilu

Adanya aku di deretan sana
Pada fana, semboyan dan pelana
Selama darahku masih sanggup mendidih
Seribu terima kasih tak pernah letih
Lagi, terima kasih

Saturday, January 14, 2006

Poem 6



Doa Malam

Dahan itu melambai
Lekat gemulai
Dan hujan menangis berderai
Lukamu terkubur sampai

Bidadari hitam
Merajut kelam
Ini gelap malam
Tancapkan dalam-dalam

Gugur kesepian meranggas
Sapa memanas, runtuh beringas
Sepi terdekap
Lunak meratap

Malam ini
Doa terlalu lelah bicara
Bibir putus memaki
Maka hadirkan denting
Putus asa mengering
Selamat malam, hening

Tuesday, January 10, 2006

Short Story 2


Pernahkah kau melihat terang lampu jalanan kota ini di malam hari? Menerangi dan mengalahkan cahaya bulan yang telah begitu mesra merayu, membujuk dan menggugah. Cahaya jalanan ini menyentak, membungkam jiwa bebas yang meloncat kesana kemari.
Kebenaran itu tak terhingga, begitu juga hatimu. Sedalam lautan hati manusia menurut peribahasa yang pernah kudengar. Tapi menurutku itu salah. Sedalam apapun lautan tak pernah cukup untuk mengalahkan kedalaman hati manusia. Seperti hatimu.
Bawa saja aku menuju dunia neon dan cahaya terang ini. Keindahan alam terlalu membutakan, kenangan itu terlalu maya untuk dikenang. Tapi bawa aku. Bawa aku ke dunia semu dan hampa yang disebut keramaian kota. Itu lebih baik bagiku. Setidaknya kenangan itu takkan pernah kembali. Atau aku bisa berpura-pura bahwa kenangan itu tak pernah ada. Tidak ada kenangan dalam dunia yang dirajai uang. Tidak ada kata-kata indah dan hasil karya dari legenda yang bisa meleburkan hati yang kesepian.
Karya tentang lembah surga itu. Sadarkah kau jalan hidup kita telah berubah mengikuti hasil karya itu semenjak pertama kali kita bertemu? Ini takdir. Tiada yang lain. Siapa yang menyangka sesuatu yang ditulis manusia bisa sedemikian kuatnya mempengaruhi kita? Kita yang manusia biasa ini, dalam sekejap menjelma menjadi dewa dewi penghuni kahyangan. Betapa derajat kita terangkat, betapa khayalan kita terpuaskan.
Kau mencintai surga itu. Seperti aku mencintai surga itu. Kita mabuk karena surga itu, lupa akan segala kenyataan. Bahkan sepotong surga yang dijatuhkan Pencipta kita di sudut bumi ini pun telah sangat mencukupi. Ingatkah kau bahwa hujan pun berwarna merah dan pohon-pohon menangis sambil berzikir di lembah surga itu?
Lalu semua berubah, mimpi telah mengejawantah, seperti bidadari yang tertinggal selendangnya ketika mandi. Ia terlalu nyata untuk tak bisa kita raih. Tatapan rindumu itu! Dan danau itu. Aku tahu kau bisa melihat alam semesta di dalamnya. Kau berjanji melukis namaku di dasarnya suatu saat, bahkan jika kau harus melukisnya dengan darahmu.
Seperti apa alam semesta yang kau lihat di air yang memetakannya kuat-kuat? Apakah itu dunia sederhana seperti milik kita yang bebas dari bau darah dan lengkingan penasaran? Ataukah itu dunia impianku yang hanya berisi kita dan ratusan kupu-kupu serta lengkung pelangi yang terus hadir di mimpi-mimpi kita? Ataukah itu…duniamu yang kadang tak pernah bisa kucapai dengan kesederhanaan cara berpikirku?
Seperti apakah cinta Tuhan yang pernah kau dengar dari bisikan-bisikan daun di pepohonan yang menguning karena kebosanan? Dan tetes-tetes embun yang membawa berita baik dan cerita-cerita yang melenakanmu? Aku ingin tahu. Kau tak pernah punya cukup waktu untuk menceritakannya. Yang terjadi dahulu selalu sama. Kita akan berbaring menatap langit setelah hari yang melelahkan, berbaring di rerumputan yang begitu murah hati merelakan dirinya menjadi kasur dan bantal.
Lalu datang bintang jatuh yang membuatku tak berkedip, hingga permohonan itu tak pernah bisa terlontar dari bibirku. Matamu selalu awas terhadap bintang jatuh. Tapi kau berkata bahwa permohonan seumur hidupmu tak mungkin terkabul. Apa itu? Tak bolehkah aku mendengarnya darimu sekali saja?
Kau menggeleng. Tak pernah kulihat matamu sepedih itu. Apakah permintaanmu itu sama seperti memohon surga baru bagi kita? Tak bisakah Tuhan mengabulkannya? Aku percaya kau takkan mungkin menginginkan surga lagi di bumi setelah lembah surga ini memuaskanmu hingga ke ujung-ujung urat nadi. Tapi tetap saja. Senyum sedihmu menyakitkanku. Karenanya aku memilih tidak bertanya lagi dan kita larut dalam keheningan yang sempurna. Lalu kau, akan sibuk menunjuk bintang-bintang dan menyebut nama mereka satu persatu dengan kefasihan luar biasa. Aku tak tahu soal bintang, tidak sama sekali. Kau tertawa melihat wajahku yang kebingungan, dan berjanji suatu saat kau akan membawakan bintang-bintang itu ke pangkuanku, sehingga aku bisa membedakan bintang yang satu dengan yang lain.
Malam ini bintang jatuh lagi. Tapi sudah terlambat. Keinginan itu lagi-lagi tak bisa terlontar dari bibirku. Aku bisa merasakannya seperti kau merasakan keinginanmu yang tak mungkin terkabul. Lagipula cahaya neon ini begitu membutakan, aku tak tahu apakah yang kulihat tadi benar-benar bintang jatuh atau cahaya lampu yang berkedip sesaat di kejauhan.
Menatap kota di malam hari membuatku merasa amat kecil. Tapi bukan perasaan merasa kecil yang sama saat kita berbaring di rerumputan, berbantalkan andromeda dan meneropong dengan spica itu. Ini hanyalah sebuah perasaan yang berbuah dari kekosongan. Karena kau tak ada disini. Dan secangkir kopi di hadapanku membatu, ia takut akan tatapan mataku.
Sekarang giliran album foto di rak menatapku tajam-tajam hingga aku membeku. Ah, kenapa dia bisa ada disitu? Bukankah aku telah menguburnya dalam-dalam di rak itu hingga ia tak mungkin diketemukan lagi? Benda itu membangkitkan kenangan, dan kenangan yang bangkit darinya akan bernasib malang, karena ia akan hilang tersiram aroma materialistis yang dipancarkan duniaku sekarang.
Oh ya, masihkah album berisi semua kenanganku kau simpan? Ataukah sudah sedari dulu ia mendekam di gudangmu? Semua orang yang pernah membolak-balik albummu pasti mempertanyakan, siapa yang mencuri senyum yang hadir hanya di satu buah fotomu saat kau berusia tujuh tahun? Tatapan matamu di semua foto itu begitu dingin. Aku beku. Mungkinkah itu karena seseorang yang separuh darahnya mengalir dalam tubuhmu? Aku tidak tahu.
Kita adalah dua manusia tanpa identitas di lembah surga itu. Kau dan aku hanyalah dua bola-bola jiwa yang dipersatukan oleh arus waktu. Tidak ada yang lain. Percayakah kau, aku begitu yakin bahwa bola jiwamulah yang menubrukku lebih dulu. Karena kau begitu sadar akan takdirmu. Sedangkan aku hanyalah sosok limbung tak tentu arah saat itu.
Betapa indahnya drama yang ditulis Sang Pembuat Skenario terhebat. Aku begitu terlarut di dalamnya, hingga melupakan untuk siapa sebenarnya aku berperan. Lembah surga adalah panggung kita. Dialog-dialog yang kuucapkan saat itu membuatmu terpana. Tapi itu tak seberapa. Kekuatan perananmu mengalahkan kekuatan dialogku. Hingga aku sadar bahwa pada akhirnya aku bahkan tak tahu akhir cerita macam apa yang kita harapkan.
Mungkin aku memang bodoh sebagai manusia, betapa aku berharap drama kita tak pernah berakhir. Seperti jawaban polosku saat kau bertanya, mengapa kita harus terlahir. Karena kita ingin terlahir, bukankah begitu? Tuhan terlalu Maha Pengasih untuk tidak mengabulkan permohonan kita untuk bisa terlahir. Tapi kau tidak puas, terus mendesakku dengan pertanyaan. Lalu setelah terlahir, apa? Aku menjawab, kita terlahir untuk bertemu seperti saat ini, seperti kau dan aku. Kau mengangguk, tampak puas dengan jawabanku. Tapi tatapan sedihmu muncul lagi, sehingga aku memilih diam dan kembali bercengkrama dengan kupu-kupu yang berlutut di jemariku.
Setujukah kau dengan jawabanku? Tak peduli dimana akhirnya kita harus berakhir, tapi ada satu titik dimana tugas kita untuk bertemu dengan seseorang telah selesai. Mungkin tugas kita untuk bertemu satu sama lain sudah selesai. Dan panggung itu pun akan segera hancur, meninggalkan mawar merah kesayanganku untuk terengah-engah berusaha tumbuh disana. Mawar merah yang dulu kupetik masih ada, penuh berisi masa laluku. Ia layu, dan tak mungkin menghisap kemudaan dunia lagi. Apakah aku juga telah menjadi mawar merah itu? Layu karena harapan dan kerinduan akan matahari, angin dan air yang dulu setia menyapa tak terpenuhi?
Akankah kau berkata aku tak pandai menikmati apa yang kumiliki sekarang? Yah, aku telah kehilangan lembah surga, bunga-bunga yang tak pernah layu dan legenda yang meninggalkan saksi bisu disana. Aku tak akan pernah mengatakan kau hilang, karena seperti yang kubilang, tugas kita telah selesai. Mungkin akan ada satu detik waktu dunia, dimana kau dan aku berdiri bersebrangan di dua sisi jalan, tetapi lampu tak kunjung hijau untuk kita menyebrang. Dan aku tak berani menyebranginya untuk sekedar menggapai lenganmu. Akan ada pula saatnya kita berdiri di bebatuan danau, dan aku tak sanggup menyebrang karena takut air akan menenggelamkanku.
Disinilah aku sekarang, saat hujan turun deras memukul-mukul jalanan dengan hentakan tariannya. Aku tak mungkin pulang. Cahaya neon di balik kaca tipis ini memudar, perlahan digantikan kegelapan. Dan tahukah kau? Rasanya satu bintang baru saja jatuh.