Monday, May 28, 2007

To Read or Not to Read

Dear All,

minta tolong sedikit ya, bisa kasih tahu tentang buku atau film favorit kalian? Terus kenapa suka sama film/buku itu? Bisa ceritain sedikit tentang plotnya?

I'd really appreciate that. Thanks :).

Best,
Adilla

Friday, May 25, 2007

Sneeze Me, Squeeze Me, Please

Dari dulu yours truly punya sedikit 'quirk'. Setiap kali stressed, repressed, compressed, kulit jadi merah dan gatel-gatel. Setiap kali selesai ulangan Kimia, tangan langsung merah. Sehabis ulangan Matematika, migrain langsung kumat.

Beberapa hari kurang tidur, pilek langsung kambuh. Dulu waktu jaman SD, pilek kambuh hampir setiap hari Jum'at. Waktu SMP, jam tayangnya pindah ke hari Selasa, dan biasanya bersin parahnya kambuh waktu pelajaran bahasa Inggris sampai ada temen yang keheranan dan nanya, 'kamu alergi sama bapak guru yang ngajar ya?'.

Tapi sedikit 'flaws' ini cuma buat ngingetin ya, supaya tetep bersyukur dalam kondisi apapun :). Buat ngurang-ngurangin dosa juga dan bikin sadar akan kelemahan diri sebagai human yang toh dengan adanya 'flaws' gini aja udah tumbang :D.

Best,
Adilla *yang lagi migraine*

Wednesday, May 23, 2007

Alhamdulillah...

I know it's not that much, but this is just for the first time. I didn't expect anybody to read such a difficult material, anyway...:)
Alhamdulillah. Sometimes you can't just have all your cake and eat it as well :D.

Tuesday, May 22, 2007

Adigang, Adigung, Adiguno

Pernah denger istilah di atas? Istilah kayak mikul dhuwur mendem jero? Atau memayu hayuning bawana?
Ternyata prinsipnya sama ya...Cara mengerti tentang kehidupan. Filsafat itu susah, tapi kalo dimengerti, isinya cukup untuk menampung semua pasir-pasir ilmu dalam satu wadah.
Satu wadah yang bisa larut dalam tetesan air dari jemari. I wish I could do much better, though.

Fiuhh...

Greetings! :)

Dear all,

holiday means BOOKS. Lots of them ;). And it wouldn't hurt to have several pages typed. Well you know, just in case...Even though my mouth works harder than my brain during these days, if you get what I mean... :P

Best,
Adilla

Friday, May 11, 2007

Falling....and Fast.

Dear You,

thanks for giving me yet another reason to exist. Thank you.

Best,
Adilla

Renungan Bunga Rumput





Kalau bunga rumput itu bisa bicara dia bakal cerita apa ya? Kadang terinjak, tapi lebih sering bergoyang tak tentu arah. Tapi bunga rumput tak perlu cemas akan sederetan huruf yang tertera di kertas. Toh cuma huruf! Tak seharusnya mempengaruhi nasib manusia. Tak seharusnya mempermalukan makhluk yang dianugerahi akal sekaligus nafsu untuk menjadi khalifah. Bukan begitu?

Apa sih makna pendidikan sebenarnya? Jadi pintar? Jadi sarjana? Menambahkan gelar di belakang nama? Atau yang lebih mulia mungkin, menimba ilmu? Makna pendidikan mungkin adalah menghayati hidup, supaya ketika kita berpaling ke belakang di satu titik dalam kehidupan kita, kita bisa tersenyum dan berkata dalam hati bahwa tak ada sedetik pun yang tersia-sia dalam masa yang terlewati. Bahwa kita telah berhasil menjadi manusia yang sanggup memanusiakan manusia lainnya.

Setiap dari kita berbeda. Tapi yang lebih sulit adalah menunjukkan perbedaan itu dan membuat orang lain mengerti dan menghargai bahwa kita memang berbeda, dan tidak ada alasan untuk memaksakan diri kita menjadi sama dengan orang lain. Kata Oscar Wilde, If I'm not worth more than the others, at least I'm different.

Yes, I'm different, and so are you!
Dan sekarang, bagaimana cara membuat perubahan positif dalam kehidupan orang lain dengan siapa kita berinteraksi? Seperti yang penulis sadari, kadangkala sulit untuk tidak menuntut perlakuan tertentu dari orang-orang yang kita anggap dekat. "Kenapa sih mereka begitu? Kenapa mereka memperlakukan saya begini, begitu, dan seterusnya?"

Setiap orang sesungguhnya memiliki sifat egois, hanya kadarnya yang berbeda-beda. It's a no free-lunch world after all. Apa yang ingin kita miliki harus didapatkan dengan usaha, it won't be handed over to us in a silver plate. Kita tidak bisa menuntut orang untuk mengingat dan memperhatikan kita ketika kita tidak ingat dan memperhatikan mereka. Kita tak mungkin meminta lebih dari orang lain ketika kita hampir tak pernah memberi. Ada hak-hak orang lain yang seringkali kita lupakan saat kita menuntut terlalu banyak. Ada senyum dan sapa yang lupa diberikan ketika kita terlalu terfokus pada diri sendiri.

Maka hidup adalah proses pembelajaran. Proses mengajar dan belajar, memberi dan diberi. Sebuah siklus tanpa ujung yang intinya sama, menjadi manusia yang sanggup bertingkah laku selayaknya manusia dan memanusiakan yang lainnya. Ini bukan sekedar cinta, ini adalah emosi yang sanggup menyebabkan gurun tandus menumbuhkan pepohonan di oasisnya, sebuah ungkapan yang menyebabkan biola yang tak berdawai mampu bernyanyi dengan caranya sendiri. Semoga.

Hanya sebuah catatan kecil, rambling dari otak yang mulai lelah. Mohon dimaklumi jika terkesan meloncat. Kadang tangan dan benak ini tak sanggup bersahabat. :)



Sunday, May 06, 2007

Dentang Nadi


Tak ada hari yang kulewatkan tanpa mendengar kini. Bahkan desahan nafas orang yang berdiri di dekatku di bis. Bahkan dentingan jarum di keheningan malam. Atau sentuhan abu rokok di sisi asbak. Semuanya musik bagiku. Kadang kala aku berhalusinasi, sehingga senyuman wanita di depanku ini pun terdengar bersuara bagiku, menyanyikan lagu abadi pengantar tidur.

Bergaungkah kau dalam stalaktit dan stalagmit gua itu? Hidup kita telah melanglang jauh, seperti butiran busa yang tertiup angin, suatu saat akan pecah karena tak mampu melawan tekanan. Kau memberi nama bagi puisi, menghiasinya dengan lidahmu. Dan puisi pun beku karena takut kata-katanya membeku di ujung jemari.

Musik adalah bahasanya sendiri, yang tak memerlukan tata bahasa dan murni, sejuk serta membasahi. Di ujung jemari manusia Tuhan telah menyiapkan bahasa tertinggi, hingga kata-kata pun tak perlu lagi. Lemahlah kita tanpa gaung itu, tanpa gema yang meresap melalui setiap membran jagat raya. Dan tuts-tuts ini? Merekalah saksi bagi terciptanya bahasa itu,

Lalu apa yang disebut lagu pun muncul, seperti semburat matahari di antara pelukan laut. Ia bukan lagi deretan seragam not-not yang berbunyi, melesat seperti peluru ditembakkan oleh goresan pelatuk. Ia bukan lagi gumaman sumbang yang didengungkan orang di kamar mandi. Ia adalah karya, bunyi hati yang bukan lagi hanya sebutir pasir dari jutaan pasir yang berserak di pantai. Karena lagu itu adalah kau. Dan juga aku.

Apakah yang terjadi ketika aku duduk di depan piano ini, dan aku di sisiku dengan pena, mencoba menerka apa yang pernah melintas di benak manusia dan merangkainya seperti kumpulan mawar merah yang dulu rajin kubawakan untukmu? Kita bersatu, sayang. Bukan hanya kulit-kulit yang bersentuhan atau dua mata yang memandang dan tibat-tiba saling mengerti. Ini adalah persatuan takdir dan doa, yang dulu sering saling bertempur di langit, tetapi kembali berpelukan dan berdamai.

Lalu bagaimana aku akan melakukan ini semua kini? Lihatlah, bahkan dinding itu pun bernyanyi lagu yang dulu pernah kita ciptakan bersama! Ingatkah kau? Hari itu hujan turun deras sekali, dan aku amat gelisah, hingga jemariku tak sanggup berhent bergerak. Moonlight Sonata pun kumainkan, dan kau bersenandung, menggumamkan kata-kata yang pernah kautulis di buku harianmu beberapa hari yang lalu.

Terciptalah lagu itu, Sayang. Kita mendengarkannya melalui beberapa malam, merasakannya bukan hanya dengan telinga, tapi dengan segenap indera yang semuanya terbangun dan turut bersenandung. Lalu kita berdoa, berharap lagu itu akan membawa kebahagiaan bagi mereka yang mendengar, membawa senyum dalam tiap notasinya, menyeret duka dalam setiap liriknya, dan menggetarkan pada tiap biramanya.

Apa yang bisa kulakukan kini? Saat setiap benda di ruangan ini menyebutkan namamu pada bibir-bibir mereka yang tak terlihat, dan mendesakku untuk mengajak mereka bernyanyi dalam pertunjukan kita. Mungkinkah aku akan bisa berdiri di depan mereka semua, menyatukan suara dari deritan kursi dan dentingan sendok, hingga suara gemericik air keran ini? Mereka tak akan paham lagu-lagu kita, Sayang. Tak akan pernah mengerti bahwa menyanyi tak sekedar berupa menghafal lirik dan menarik nafas. Tak akan pernah.

Ingatkah kau akan penyanyi-penyanyi itu? Yang berharap mereka bisa meraup setiap keping dengan menyanyikan lagu kita. Atau mendesahkan kata-kata dalam lagu itu, yang dengan beraninya mereka sebut menyanyi. Menyesalkah kau bahwa kita pernah menjadi bagian dari mereka? Telahkah kita menjadi bagian dari mesin uang bernama ketenaran yang dahulu telah kau tinggalkan jauh-jauh di belakangmu?
Hidup kita adalah panggung ini. Dimana ratusan bahkan ribuan penonton datang hanya untuk mendengarku mengetukkan jemari ke tuts-tuts piano ini. Tepuk tangan itu begitu indah terdengar Sayang, tapi tak ada yang lebih indah daripada menyebutkan nama kita di akhir lagu, dan untuk selanjutnya menatap matamu dan tiba-tiba mengerti, mengapa aku harus berada di panggung ini.

Kadang di sela-sela waktu yang kita habiskan untuk menerka-nerka, merekam dan merenung di sisi piano ini, kau bertanya tentang penciptaan. Tentang awan-awan yang begitu damai berarak di langit, dan tak pernah sekalipun merasa terganggu oleh tangisan hujan, kegalakan matahari ataupun hardikan halilintar. Inginkah kau menjadi seperti itu? Tak tergoyahkan atas apapun yang terjadi, dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang. Inginkah kau?

Tapi tanpa tepukan tangan itu pun pasti kita bisa hidup di panggung ini. Benarkah? Kita hanya dua insan, yang sama-sama memasuki panggung ini dari panggung belakang, memulai pertunjukan, berlutut dan menerima tepukan tangan penuh basa-basi yang monoton. Itukah pertunjukan yang kita inginkan?

Betapa bosannya Pencipta kita tentunya, ketika ciptaan-ciptaannya yang seharusnya hanya berakting, menari, menyanyi untuknya tiba-tiba kehilangan arah. Nyanyian mereka terdengar sumbang, dialog mereka kosong dan tak bermakna, dan tarian mereka kehilangan koreografi. Bukankah sebenarnya semuanya kita tujukan pada-Nya pada akhirnya? Dan semua yang bukan karena-Nya akan berakhir sia-sia, begitulah selalu yang kau ceritakan waktu itu.

Apakah ada yang salah denganku kini? Begitu mudah benakku merekam segala notasi biarpun itu hanya berupa coretan di buku musikku. Tapi tak seraut wajahpun yang kutemui kini bisa kuingat, kecuali bahwa mereka secara diam-diam menyanyikan lagu kita. Kemarin aku melalui sebuah gedung yang tengah dibangun, dan benturan palu serta suara mesin-mesin itu menyanyikan lagu kita, bergema mesra di kepalaku. Mungkin aku sudah gila. Sudah gila.

Aku telah berusaha sepanjang malam kini. Menulis dan menekan tuts-tuts piano itu dengan kekosongan memenuhi jiwaku, dan segelas kafein cair ini merasuk ke syaraf-syaraf dan menyentakkan mereka hingga terus terjaga. Tak pernah rasanya aku berusaha sekeras ini. Benakku terus mengatakan, dua hari lagi, dua hari lagi dan semuanya akan usai.

Lagu itu akhirnya jadi. Dan malam ini adalah puncaknya, dimana aku dan kau akan bersatu lagi di panggung. Dengarlah tepuk tangan itu akan terdengar lagi. Kali ini bukanlah hanya hentakan dari dua tangan yang bertemu dan menghasilkan bunyi, tapi benar-benar detak kekaguman, picuan adrenalin yang menghasilkan debaran kegembiraan dan kepuasan.

Ini bukanlah requiem perngantar kematianmu. Tapi mungkin ini lagu perpisahanku dengan panggung yang telah sangat kita kenal ini. Begitupun aku masih rindu suasana itu, masih ingin merasakan gegap gempita ini, ataupun wangi malam yang berbaur dalam gedung dengan kapasitas ribuan orang yang dulu terasa mengurung, tapi kini hanyalah rumah kedua yang ingin kita kunjungi setiap saat.

Aku telah menghentakkan notasi terakhirku, Sayang. Dan dengarlah, dengarlah dengan segenap inderamu! Tirai kembali tertutup, membiarkanku dengan nafas memburu, masih tak sadarkan diri dari ekstasi yang tadi membelenggu. Kini aku punya dua pilihan. Mewujudkan requiem ini menjadi kenyataan, pengantarku menuju tidur abadi, ataupun terus melanglang di atas dunia ini, dan melihatmu tersenyum di atas sana. Aku bersumpah padamu mulai detik ini untuk memilih yang kedua. Maka jadilah saksi akan lahirnya karya-karya lain, Sayang. Jadilah saksi untukku yang hidup bagi dua nyawa di panggung ini, nyawamu dan nyawaku.

Tuesday, May 01, 2007

To Deserve or Not To Deserve

A classic question really. but unfathomable nonetheless. Who are we people to judge anyway? True blue that people always want the best for themselves, yet they do almost nothing to gain it.
It's no-free-lunch world after all, what we see is what we get, and yet, we couldn't get it for free. Not anymore.

Now I'm confused. I really want to be more relax and have the much needed I-just-couldn't-care-less attitude. But I can't. And will never have it probably. Sometimes it looks unfair, yes I know, but maybe we can't be too demanding in dealing with life. When it rains, it pours, and it does not mean bad. Not at all.

Prayer is all we need I guess. So sorry I can't be too supportive myself. It's just that I may be too engulfed in my own thoughts. It takes two to tango, and I can't thank you enough, I really can't. You have sacrificed much more and deserve much more than what you already have (and I really do hope you have more than what you have now!). Maybe we have become a burden to you. I'm so sorry. Because Allah gives us what we need instead of what we want. Probably it's not the right time. Yet.

Edited: Mungkin benar kita tidak harus bahagia. Mungkin the Pursuit of Happiness cuma simbol, dan American Dream cuma sesuatu yang didengungkan Fitzgerald dalam the Jazz Age, era yang dia ciptakan sendiri. Selalu ada alasan untuk merasa tidak bahagia, tetapi selalu kurang alasan untuk merasa bahagia. Mungkin itu cuma sekedar konsep, dimana pengejawantahannya ada di hati masing-masing. Bahagia adalah kemampuan bersyukur dan wanting what you have, not having what you want :). I suppose I have much more things in the world that make me happy than things that possibly would make me unhappy. Alhamdulillah :).