Thursday, March 16, 2006
Poem 8
Ini pada Waktu
Padamu yang begitu mencintai waktu
Datanglah ke laut lepas
Dan kita bicara bahasa bintang
yang tak terbantahkan hingga Beruang Besar menghilang
Seperti ini hutan yang hijau meleleh
Musim-musim tenggelam
Ada yang tak henti memaki air hingga pucat
Bisa terdengarkah dzikir dari terompet kerang dan parau ilalang?
Jauh gaung macapat dibacakan terjerat
Ingin ditemukan sebuah batu yang menari pada kodrat
Kembali,kembali, kisah Bima dari laut lepas, cepat mendarat
Mungkin saja senja terakhir sudah dekat!
Dan tinggal,sekarat
Tuesday, March 07, 2006
Short Story 3
Destarata
Destarata berjalan-jalan di taman Kadileleng pagi itu. Mentari masih tersenyum tipis, belum berani mengumbar tawa lebarnya. Kaki berbalut alas kaki kebesaran itu melangkah mantap. Ia terlalu hafal setiap sudut taman itu untuk bisa terjatuh ke dalam kolam bening yang memantulkan gerak manja pepohonan dan nyanyi bunga melambai-lambai. Benar, ia melintasinya dengan mata tertutup. Karena memang itulah yang bisa ia lakukan. Melintasinya dengan mata tertutup.
Destarata tidak tahu seperti apa bunga itu. Ia merabanya, mencoba mencicipinya dengan sensor halus di ujung jemarinya sedari remaja. Tapi jenis-jenis bunga begitu banyak, begitu sulit dilukiskan. Itulah yang dulu dikatakan saudara-saudaranya saat mereka masih senang bermain-main di taman ini. Pandu biasa membawakan bunga-bunga ke hadapannya, sementara Widura dengan setia menyebutkan namanya saat ia mengelus bunga-bunga itu.
Destarata selalu menemui kesulitan menghafalkan nama bunga. Tidak seperti saat ia memegang dedaunan, atau mengelus kuda-kuda istana mereka. Tidak. Ia tidak pernah bisa mengingat bentuk bunga-bunga itu dengan jemarinya. Tidak juga bisa mengingat wangi yang tercium dari bunga-bunga itu.
Mungkin karena dahulu ia sadar akan terus hidup dalam kegelapan dan kesunyian yang syahdu tanpa kehadiran sebuah bungapun sebagai lilin penerang dunianya. Destarata ternyata salah. Ia telah memetik bunganya sendiri. Putri Palasajenar bernama Gendari yang dipilihnya kala itu. Tidak, putri itu adalah hadiah Pandu untuknya. Pandu yang malang, yang memiliki segalanya tapi harus mengakhiri hidupnya dalam waktu singkat. Destarata menghela nafas. Sejenak melangkah menuju bangku panjang megah di taman itu. Bukan, ia tidak lelah karena berjalan. Mengenang masa lalu selalu menguras habis tenaganya. Ia tidak tahu mengapa ia selalu terperangkap dalam segala kesedihan yang memerangkap dan melelahkan saat ia terkenang masa lalunya.
Apakah yang bisa disesali? Mengapa dunia berharap terlalu banyak pada orang buta seperti dirinya? Haruskah ia menjadi ayah dari 99 putra yang kelak harus dimusnahkan dari muka bumi? Destarata tidak tahu apakah ia harus mengutuki hari dimana ia menikahi Gendari. Apakah takdir akan berubah jika ia membujang seumur hidupnya? Akankah dunia berharap banyak dari dirinya?
Ia tidak haus kekuasaan. Baginya kekuasaan adalah bau anyir darah, perasaan dingin seperti tertampar angin pagi yang tak pernah menyenangkan. Kekuasaan juga adalah nada suara Gendari yang dingin dan kata-katanya yang menyakitkan saat ia sedang marah. Kekuasaan adalah siksaan.
Destarata bahagia tanpa kekuasaan. Satu-satunya kekuasaan yang ia miliki adalah atas ilmu-ilmunya. Ia menguasai banyak ilmu. Entahlah, ilmu itu akan berguna atau tidak. Widura selalu mendesaknya mempelajari berbagai macam hal, yang ia sendiri tidak tahu apa gunanya. Tapi memang tidak ada kebahagiaan yang melebihi kesenangannya mempelajari sesuatu, mendengar Widura membacakan buku untuknya seperti membacakan dongeng sebelum tidur. Betapa ia melahap semuanya dengan kelaparan ilmu yang mencengangkan.
Destarata bangkit dari duduknya. Ia sudah tidak berminat melanjutkan lamunan. Dilangkahkannya kaki tua itu sepenuh hati menuju kolam ikan. Destarata bisa mendengar gemericik air dan kebahagiaan yang meluap dari makhluk hidup di sekitarnya. Kebahagiaan sederhana yang ia tahu takkan pernah bisa ia capai. Destarata mendesah sedih. Hidup terlalu penuh rasa untuk mengijinkannya mencicipi rasa bahagia itu.
Duryudana sudah keterlaluan. Bentakan-bentakan anaknya kembali terngiang. Destarata dahulu begitu bahagia memiliki seratus anak, jumlah yang ia sendiri pun tidak tahu darimana datangnya. Kebahagiaan Gendari tak terkira. Destarata ingat hari-hari itu, ketika ia bisa mendengar Gendari tersenyum, mendengar langkah-langkah dan tawanya yang ceria. Kerepotan mengurus bayi pun takkan terasa. Emban-emban setia selalu siap mengabdi, mengurus segalanya.
Cinta Destarata sedemikian besar, meluap tanpa disadarinya. Gendari mulai merajuk manja, meminta ini itu demi anak-anaknya. Destarata hanya mengangguk. Kebahagiaan putra-putra yang hanya bisa ia dengar tangisnya itu adalah yang utama.
Permintaan Gendari semakin lama semakin bertambah. Destarata tidak peduli seberapa banyak pakaian dan perhiasan indah yang ia minta untuk anak-anaknya maupun untuk dirinya sendiri.Tak terhitung seberapa banyak alat permainan dari emas yang diberikan untuk anak-anaknya. Tak terhitung. Gendari tak pernah puas. Anak-anaknya tak pernah puas.
Waktu kan menjawab. Dan semuanya terjadi begitu saja. Destarata sangat mencintai almarhum Pandu sehingga ia sama sekali tidak keberatan dengan tanggung jawab menanggung kehidupan janda dan anak-anak Pandu. Lagipula Widura selalu siap sedia mengulurkan bantuan. Anak-anak Pandu tumbuh besar tanpa ayah, mencicipi kehidupan yang teduh dan sederhana sebagai seorang bangsawan. Tidak, mereka tidak kekurangan. Hanya Kunti tidak pernah meminta lebih dari apa yang Destarata berikan. Walaupun tahta Hastinapura adalah hak suaminya, walaupun mungkin anak-anaknya berhak meminta dua kali jatah para putra Destarata.
Dan rasa iri itu timbul. Entahlah. Sejak dahulu Destarata selalu merasa iri pada Pandu, rasa iri yang tak pernah sedikitpun melunturkan kasih sayangnya pada adiknya. Tidak. Destarata bisa merasakan cinta dan rasa hormat Pandu melalui setiap pori-pori kulitnya. Tidak ada alasan baginya untuk membenci Pandu.
Tapi rasa iri ini jauh lebih berbahaya, jauh lebih menyakitkan, dan jauh lebih merusak seperti kekuatan air dam pada dasarnya. Terlihat begitu tenang, tetapi siap menjebol kapan saja. Destarata tidak tahu kapan rasa iri itu muncul. Apakah rasa iri itu meniup-niup dan terbang dibawa angin nakal dan menelusup serta membakar hati anak-anaknya?
Mengerikan!
Tidak ada tingkah laku Pandawa, putra-putra Pandu yang benar di mata mereka. Duryudana selalu dengan lagak sok kuasanya memerintah adik-adiknya mengganggu sepupu mereka, dan kembali dengan rengekan pada ibunya setiap kekalahan menghampiri mereka dalam setiap permainan. Gendari tidak pernah banyak bicara, tapi Destarata bisa merasakan betapa hawa panas kebencian menyala di sekeliling tubuh wanita itu setiap kali Duryudana atau adik-adiknya mengadu. Dan betapa Destarata mendengar bibir wanita itu merapal sumpah serapah berkepanjangan. Kemenangan adalah nama Gendari yang sesungguhnya. Kemenangan yang harus anak-anaknya capai untuk membalas semua kekalahan yang ia alami dalam hidup.
Bagi Gendari, menikah dengan Destarata adalah kekalahannya pada dunia yang terbesar. Menjadi permaisuri raja agung, dengan segala kebutuhan terpenuhi, tapi rasa takut akan kehilangan segalanya memenuhi setiap detik hidupnya. Betapa tahta dan kekuasaan Destarata sangatlah rapuh! Setiap detik hidupnya, Gendari memikirkan bagaimana ia bisa mempertahankan kekuasaan itu. Pemimpin Hastinapura bukan Destarata, pemimpin Hastinapura adalah Gendari. Suara rakyat adalah suara Gendari, suara rengekan, rayuan, bahkan bentakan dan kemarahannya.
Destarata masih terpaku, membiarkan angin membantunya mengingat dan memutar semua kejadian yang ia cicipi dengan ketajaman 4 indranya. Bale sigala-gala, perebutan Drupadi, perebutan segenap putri-putri lain yang akhirnya menjadi istri-istri Pandawa. Bisakah ia menyalahkan putra-putranya? Cukupkah kekalahan membuat dendam itu membusuk dan tak sanggup lagi terpendam lama?
Dan Bharatayudha sebentar lagi berkobar. Tubuh Destarata bergetar setiap kali nama itu disebut! Bukankah itu adalah rahasia umum? Ketika semua cinta menjadi kebencian dan kebencian menjadi cinta yang melahirkan aliansi? Berapakah korban dari pihaknya? Akankah telinganya sanggup mendengar rintihan wanita yang menjadi janda karena perang dan tangisan anak-anak yang menjadi yatim?
Akankah ia sanggup mendengar kutukan-kutukan para dewa yang ditujukan pada anak-anaknya menggema di sepanjang Kurusetra dan terus membelah bumi hingga semua penghuni dunia tahu?
Dan ia, bertingkah seperti pelaku pencatat sejarah, akan duduk di istana yang begitu sunyi. Para dayang akan sibuk melayani, meyakinkan bahwa ia tidak kekurangan suatu apapun. Sementara matanya akan sangat gelisah karena tidak bisa menyaksikan kesedihan dan air mata yang mengalir di pipi dayang-dayang yang akan kehilangan suami dan anak-anak mereka! Inilah saat dimana Destarata menyesali kekurangannya.
Apa yang dunia harapkan dari seorang lelaki pencatat sejarah yang tak sanggup menyaksikan sejarah? Apalagi sejarah yang akan menorehkan segurat garis gelap nan dalam dalam catatan hidupnya sendiri? Apakah dunia memang ingin membutakan sejarah itu? Atau ingin membunuhnya perlahan-lahan karena kesedihan dan penyesalan?
Destarata menengadah, merasakan angin menerpa wajahnya perlahan-lahan, menghiburnya. Tidak ada setetes air matapun yang boleh jatuh di pipi seorang raja agung karena itu adalah kesedihan bumi. Bunga-bunga akan layu dan langit akan menangis tak berkesudahan. Dan bencana akan terjadi, cepat atau lambat.
Destarata kembali mengorek segala ingatan yang terpatri di benaknya dalam bentuk suara, bentuk, dan aroma tertentu. Apakah ia masih ingat seperti apakah darah itu? Pandu pernah jatuh dan terluka saat berkuda hingga kakinya berdarah. Destarata tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang diderita Pandu mengirim getaran sakit yang sama kepadanya. Ia bisa merasakan bagaimana Pandu meringis, menahan sakit dan mencoba bangkit perlahan.
Tapi tidak ada sakit yang ditahan dalam peperangan. Dalam peperangan hanya ada menang dan hidup, kalah dan mati. Rasa sakit hanyalah milik mereka yang ditinggalkan. Rasa sakit hanyalah milik mereka yang kehilangan. Dan mereka yang mendapat kemenangan, sudah mendapat ganti dari segala pertaruhan yang mereka berikan sebelumnya. Kemenangan! Sebuah kata yang sanggup meletupkan semangat, membuncahkan angan, dan menyulut tenaga seribu kuda dalam manusia.
Tapi tangis itu…Destarata percaya, kebalikan dari cinta adalah rasa takut, bukan kebencian. Rasa takut akan kehilangan tahta dan segala kenikmatan duniawilah yang membuat Gendari lupa diri. Rasa takut akan dikalahkanlah yang membuat Duryudana gelap mata dan mencelakakan para Pandawa.
Betapa indahnya jiwa yang tenang, yang bahagia dan bebas dari rasa takut dan sisa-sisa kebencian yang meradang. Betapa…Destarata mengusap kedua belah matanya yang terpejam. Kenangan itu datang lagi…Begitu mencekam, membuatnya ingin membutakan seluruh inderanya dan kembali, menghadap Pencipta yang telah begitu bermurah hati pada dirinya yang hina.
Tapi lelaki pencatat sejarah seperti dirinya tak pernah boleh menyerah. Tak pernah boleh…Hingga sejarah tak lagi berputar. Ia tetap hidup. Hidup dari mulut ke mulut orang yang bercerita, hidup dari kisah yang didongengkan dan dibisikkan perlahan-lahan. Hidup…Dan begitulah ia terus hidup.
Subscribe to:
Posts (Atom)