Thursday, December 14, 2006

A Woman of No Importance

Something from A Woman of No Importance, by Wilde:


LADY STUTFIELD. Yes; men persecute us dreadfully, don't they?


MRS. ALLONBY. Persecute us? I wish they did.


LADY HUNSTANTON. My dear!


MRS. ALLONBY. The annoying thing is that the wretches can be perfectly happy without us. That is why I think it is every woman's duty never to leave them alone for a single moment, except during this short breathing space after dinner; without which I believe we poor women would be absolutely worn to shadows.


LADY STUTFIELD. It seems to me that it is we who are always trying to escape from them. Men are so very, very heartless. They know their power and use it.


MRS. ALLONBY. I don't think that we should ever be spoken of asother people's property. All men are married women's property.That is the only true definition of what married women's property really is. But we don't belong to any one.


Funny? True? Nonsense? Whimsical? Exaggerative? You decide! :D

Tuesday, December 05, 2006

Two Separated Souls



TWO SEPARATED SOULS

I’m not a girl that you want me to be

Not as innocent as your thought of me

Many sins that I’ve done for my disguise

Because we’re live in mortality
This world isn’t safe again for me

Disbelieving in every seconds of life


I’ve lost my souls….

They had flown to the sky

Ego is conquered

Longing for you, Paradise…

Paradise….


I just want to hear

Sing the music of the earth

Play the notes of million stars

Melodies of the nature

Ring the chime of galaxies

Waking up all fantasies

A fantasy to be ours

Two separated souls of me….

Life is not a fairy tale that always ends happy ending

I‘m too not a princess with perfect story

Hunches take control of my emotions

Hypnotizing souls in obscurity

This world has lost its heart

People now being inhuman


I’ve lost my souls…

Now, lift me to the sky

Vanity is conquered

Longing for you, Paradise….

Paradise….


written and composed by this Birthday Girl :).


Background informasi: Vanya dan Bettina ini terinspirasi dari lagu di atas, ditambah film berjudul Persona. Film hitam putih, sedikit sulit dicerna karena sangat 'deep', dan lebih menekankan efek sinematografi (lightning, terutama).

Vanya adalah nama Rusia, sementara Bettina adalah nama seorang model Perancis yang sangat terkenal di tahun 50-an. Bettina atau Simone Micheline Bodin ini telah menginspirasi almarhum kakek saya untuk memberi nama anak bungsunya "Bettina", yang juga adalah sebutan lain dari "Elizabeth" di Italia.


Tulisan di bawah ini didedikasikan untuk dua dari perempuan-perempuan terpenting dalam hidup saya. Ibu saya Bettina dan sahabat saya Vanya, yang berulang tahun 28 November lalu. Semoga ini bisa menjadi hadiah yang cukup berkesan. :)





Vanya dan Bettina

Vanya tidak mengerti. Tentu, Bettina sudah seperti bayangan yang mengikutinya. Itulah yang selalu digunakan orang untuk mengumpamakan persahabatan yang erat di antara dua orang. Tapi sungguh, Bettina bukan bayangan Vanya, dan Vanya pun bukan bayangan Bettina.
Bayangan hanya ada di saat gelap, saat cahaya tidak berani masuk dan menyapa gulita yang sedang mengamuk. Dan gulita mengamuk pada cahaya yang masih berani menyelusupkan jemarinya untuk menghibur. Saat itulah bayangan tercipta. Mungkin bayangan adalah kasih sayang cahaya pada gulita, tapi ia tidak setiap saat ada. Sementara Vanya dan Bettina tidak seperti itu.
Ada kalanya mereka berdandan berdua. Vanya akan memiringkan kepalanya ke kanan, sementara Bettina ke kiri. Dan sebaliknya. Memakai pita berwarna sama, berbicara dengan suara manja yang sama. Dan menangis dalam keheningan yang sama.
Kadang Vanya begitu ingin memegang tangan Bettina. Sepertinya Bettina pun begitu. Tapi apa daya, kadang tangan itu seperti tak sampai. Dan bibir Vanya kering dengan kata-kata yang ingin disampaikan ke Bettina. Tapi hanya sedikit yang keluar. Mungkin kata-kata telah menggagalkan Vanya. Mungkin.
Musik adalah bahasa Vanya. Ia bisa berlari, menari, berdansa, cemberut, dan menangis dalam musiknya. Tidak ada yang sungguh-sungguh tahu betapa tuts-tuts piano hitam putih itu bisa berbicara begitu banyak. Bisa berteriak, bercanda, dan kadang, hanya kadang-kadang tertawa. Vanya tidak membiarkan piano tertawa terlalu sering. Tertawa membutakan mata. Dan mata yang buta tidak pernah bisa mendengarkan hati.
Vanya rindu bermain-main di luar. Yah, mungkin tidak ada salahnya sesekali ia mengenal bahwa bunga tidak hanya bernama mawar, yang selalu diletakkan ibu di jambangan. Mungkin ia bisa menyadari bahwa air, seperti hati manusia, tak selalu jernih. Ia bisa hitam, coklat, kelabu, mungkin merah seperti darah. Vanya tak tahu itu semua.
Mungkin Vanya ingin melukis di pasir pantai. Lukisan yang digores oleh tarian ombak dan dikeringkan deru angin. Lukisan yang tak pernah membosankan dan terlihat sama dalam waktu satu jam. Lukisan kehidupan.
Tapi Bettina pasti tak mau. Dunia Bettina adalah ruangannya. Manusia melelahkan bagi Bettina, mereka menghisap sari-sari kehidupannya seperti akar yang menghisap air dari tanah tanpa belas kasihan. Hening adalah sahabat Bettina, yang mengajaknya berlari di padang edelweiss dan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri.
Vanya pun membujuk Bettina. Memberikan coklat kesukaannya. Menunjukkan buku-buku cerita indah bersampul keras. Meminjamkan gaunnya yang terindah. Bettina menggeleng. Vanya menyerah. Tapi mereka bertukar pelukan.
Orang-orang akan menggeleng melihat keakraban mereka berdua. Terharu sekaligus menyayangkan. Bukankah Vanya begitu hidup dan ceria? Begitu indah dan dikagumi bagai boneka? Dan bukankah Bettina adalah gaung dari gema Vanya? Yang hanya bisa terdengar jika Vanya lebih dulu bersuara. Yang hanya bergerak, jika Vanya lebih dulu bergerak.
Vanya tidak tahu, siapakah yang seharusnya iri. Bettinakah yang seharusnya iri pada dirinya? Atau Vanyakah yang harus iri pada Bettina? Benar, Vanya memiliki semuanya. Teman-teman, kekaguman dan perhatian orang-orang, dan dunia yang gemerlapan. Tapi itu semua akan dengan mudah direbut darinya. Begitu ada boneka lain yang menjadi mainan baru orang-orang di sekitarnya, mereka akan pergi. Menghilang. Dan Vanya akan ditinggalkan. Sendirian.
Dunia Bettina adalah miliknya sendiri. Ia tidak perlu berpura-pura bahagia hanya untuk membuat orang tertawa. Bettina tidak membutuhkan piala untuk membuktikan bahwa dirinya hebat. Tidak membutuhkan buku rapor, untuk menyatakan bahwa ia cerdas. Bettina berbicara untuk dirinya sendiri. Hanya untuk dirinya sendiri.
Bettina tidak memerlukan pujian dari orang untuk merasa yakin bahwa dirinya cantik. Tidak merasa perlu menambahkan sesuatu hanya agar terlihat berkilau. Cahaya Bettina adalah kegelapannya, kekuatannya adalah kerapuhannya. Semua begitu sederhana bagi Bettina.
Sesederhana tatapan seorang anak kecil pada ibunya, sesederhana alasan mengapa Tuhan menciptakan manusia yang tak mungkin menghabiskan masa hidupnya hanya untuk berdzikir. Begitu sederhana, pedih, namun tetap sempurna.
Dan begitulah. Awan yang dilihat Vanya dan Bettina berarak ke arah barat, ditiup dan dihempaskan angin, dihentak hujan. Tapi ia tetap lembut dalam tangisnya. Mungkin awan dalam hujan itu adalah Bettina. Dan halilintar yang tak sabar menyertainya adalah Vanya.
Kadang Bettina berharap, ya hanya bisa berharap. Bahwa ia tidak menangis saat orang lain menangis karena empatinya yang terlalu besar. Bahwa ia tidak perlu merelakan segalanya untuk Vanya. Bahwa ia bisa mencari perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan bertingkah seperti Vanya. Bahwa ia bisa sesekali meminta, tanpa harus memberi dahulu sebelumnya.
Mungkin ada makhluk dengan takdir memberi dan hanya menerima sedikit. Dan selalu mengambil tanpa pernah memberi. Mungkin, mungkin juga kedua orang itu bisa berdiri berdampingan, saling bergandengan. Atau dengan punggung berhimpitan. Saling menakar diri masing-masing. Hingga lenyap kehilangan.
Mungkin ada kalanya kedua jiwa itu bergerak berlawanan, seperti Vanya dan Bettina. Seperti dua mata angin topan yang ketika bertemu tidak menjadi kuat, tetapi hanya menjadi saling melemahkan. Mungkin sebaiknya mata angin itu berpisah saja, dan mulai membuat kekacauan di tempat yang berbeda. Atau mereka bisa saling menabrakkan diri, ketika kebosanan melanda. Mungkin.
Betapa kompleksnya peran manusia yang diperankan oleh Vanya dan Bettina. Karena hidup bukan hanya terdiri dari memberi dan menerima. Karena hidup adalah intrik musim panas dan mimpi di siang hari bolong. Ia juga hujan gerimis yang semu tetapi menghadirkan pelangi. Bettina sudah lelah. Tapi Vanya tidak sadar bahwa dialognya serak, aktingnya tak lagi natural. Ia terlalu sibuk berimprovisasi hingga lupa untuk siapa ia seharusnya berakting.
Kisah tentang dua jiwa yang terpisah. Yang disatukan kebetulan yang menyakitkan. Yang hidup dengan dunia cermin, terbalik satu sama lain, tetapi tetap saja serupa. Suatu saat cermin itu pecah, meninggalkan Vanya dan Bettina dalam kebingungan yang nyata. Sekali ini saja, Bettina ingin sekali menarik Vanya ke dunia cermin. Ingin sekali.

Wednesday, November 29, 2006

A way of happening, a mouth

For poetry makes nothing happen: it survives
In the valley of its making where executives
Would never want to tamper, flows on south
From ranches of isolation and the busy griefs,
Raw towns that we believe and die in; it survives,
A way of happening, a mouth.
(In Memory of W. B. Yeats
by
W. H. Auden)

RATAPAN SEORANG KORBAN PHK KEPADA ANAKNYA
Hari ini aku tak bekerja
Kuajak anakku bicara
Terdiam, terkantuk ia dalam buaian
Tak membantah, tak juga mengiakan

Hari ini Bapak tak bekerja, Nak
Dan kami semua berteriak-teriak
Di depan gedung tinggi, minta keadilan
Minta hak kami, tak lebih dan tak kurang

Ah, cepatlah besar, Nak, bayi dalam buaian
Walau Bapak tak ingin kau kenal kekejaman
Di pundakmu ingin kami letakkan
Beban berat yang tak sanggup kuperjuangkan

Cepatlah besar, Nak, bantu Bapak
Agar tulang Bapak tak lagi rapuh,
dimakan mesin gemuruh
Agar kulit Bapak tak lagi gosong,
terpanggang omong kosong

Kalau kau besar, Nak, jangan seperti Bapak
Yang hanya bisa menangis melihat ketidakadilan
Ilmu terbentang luas di hadapan
Capailah, renggut dan amalkan
Agar kau mampu, Nak, maju dan tundukkan
Segala rintangan, capai impian.

Jika kau bangun esok dari peraduan
Panjatkanlah doamu yang tulus, wahai anakku, bayi dalam buaian
Agar`aku masih sempat melihat mentari yang membias pancarkan
Sisa-sisa semangatku yang terwariskan Karena aku tahu: aku bakal ditangkap keesokan!

Best,
Adilla

Friday, November 24, 2006

Thank You Kejora :)




Assalamualaikum,

poor me (drowned in self-pity mode) for being ill only few days before the second exam. But Alhamdulillah, the antibiotic helped me to recover( you do expect that from a special antibiotic pill which costs more than a dozen strip of Decolgen each. Thanks to my antibiotic-allergic body, not to mention painkiller-allergic body, so on and so forth :P), even though until today I still have the "oh-the-sexy-voice-that-I-always-dream-to-have-as-my-normal-voice".

Well, anyway, this is supossed to be a sincere gratitude expression. For a few days I had been so lazy to drag my fat bottom to even go to canteen and buy food. So, I fed myself with a healthy dose of the amazing instant noodle which enough to feed a batalion of hungry armies.

Hum.Enough of the rambling. I just want to thank Kejora, my beloved neighbour for her offer of buying some food from canteen A, just right before I decided to go to bed and disown my stomach, pretending it wasn't a part of my body. :P

Sooo....my food finally arrived, and really, I wasn't feeling guilty at all eating 400-calories food (even more!!) in the middle of the nite. McDonald's had never tasted so good. :D

Thank you Kejora and my other neighbour, which had been so kind to deliver the food right before my room's door! ;)

Best,
Adilla

Thursday, November 23, 2006

End of Exam Resolution ;)


Gwendolen to Cecily: Well, to speak with perfect candour, Cecily, I wish that you were fully forty-two, and more than usually plain for your age. Ernest has a strong upright nature. He is the very soul of truth and honour. Disloyalty would be as impossible to him as deception. But even men of the noblest possible moral character are extremely susceptible to the influence of the physical charms of others. Modern, no less than Ancient History, supplies us with many most painful examples of what I refer to. If it were not so, indeed, History would be quite unreadable. (The Importance of Being Earnest)

Assalamualaikum,




yup, the title says it all. Anyway, so gonna watch the BBC adaptation for Pride and Prejudice for the second time. This time, I'll make sure that I'm not going to skip any scene, despite the time constraint :P.




Funnily enough, I'm quite sure that I will prefer this BBC adaptation (not so much eye candy here, mind you), to the 2005 version starred by Keira Knightley. Found myself agreed with what Mia (as in Princess' Diary) once mentioned in the book, particularly inside the list of Women Who Are Too Pretty To Exist, that Keira Knightley was simply too pretty to be Elizabeth Bennet! Yup, Elizabeth Bennet is supposed to be smart but she does not need to look pretty (though I'm sure that beauty and brain are best friends). Yup, so much for the 3Bs :P.




Oh, and there's Colin Firth in this version, whose existence makes up for the lack of eye-candy-for-hungry-eyes and where-are-the-handsome-royal-guys-who-are-supposed-to-be-in-this-kind-of movie unanswered question.




Now I can see why Helen Fielding was so inspired by him, and wrote the Bridget Jones' diary. So easy. Once you are attracted to a character in a movie, write a novel based loosely on the characters and storyline, and voila! You become a millionaire. Maybe I should try this sometimes. Definitely safe to try at home. :P




Oh, and maybe I'll watch The Importance of Being Earnest (again? Been thinking of getting my own DVD). Yup, if you are a girl, you may (for the lack of a better word) drool over Colin Firth in this movie, and if you are a guy, well....maybe to a certain extent, you may wish to drool over Reese Witherspoon :P.




Best,


Adilla




Friday, November 17, 2006

Another Personality Test :P

Here is my favorite personality test. Think it's the best, cause it's so complete and best describes each personality.
Taken from here.

The Portrait of the Counselor Idealist (iNFj)


The Counselor Idealists are abstract in thought and speech, cooperative in reaching their goals, and directive and introverted in their interpersonal roles. Counselors focus on human potentials, think in terms of ethical values, and come easily to decisions. The small number of this type (little more than 2 percent) is regrettable, since Counselors have an unusually strong desire to contribute to the welfare of others and genuinely enjoy helping their companions. Although Counsleors tend to be private, sensitive people, and are not generally visible leaders, they nevertheless work quite intensely with those close to them, quietly exerting their influence behind the scenes with their families, friends, and colleagues. This type has great depth of personality; they are themselves complicated, and can understand and deal with complex issues and people.

Counselors can be hard to get to know. They have an unusually rich inner life, but they are reserved and tend not to share their reactions except with those they trust. With their loved ones, certainly, Counselors are not reluctant to express their feelings, their face lighting up with the positive emotions, but darkening like a thunderhead with the negative. Indeed, because of their strong ability to take into themselves the feelings of others, Counselors can be hurt rather easily by those around them, which, perhaps, is one reason why they tend to be private people, mutely withdrawing from human contact. At the same time, friends who have known a Counselor for years may find sides emerging which come as a surprise. Not that they are inconsistent; Counselors value their integrity a great deal, but they have intricately woven, mysterious personalities which sometimes puzzle even them.

Counselors have strong empathic abilities and can become aware of another's emotions or intentions -- good or evil -- even before that person is conscious of them. This "mind-reading" can take the form of feeling the hidden distress or illnesses of others to an extent which is difficult for other types to comprehend. Even Counselors can seldom tell how they came to penetrate others' feelings so keenly. Furthermore, the Counselor is most likely of all the types to demonstrate an ability to understand psychic phenomena and to have visions of human events, past, present, or future. What is known as ESP may well be exceptional intuitive ability-in both its forms, projection and introjection. Such supernormal intuition is found frequently in the Counselor, and can extend to people, things, and often events, taking the form of visions, episodes of foreknowledge, premonitions, auditory and visual images of things to come, as well as uncanny communications with certain individuals at a distance.

Wednesday, November 08, 2006

Soul Seeker

Bener nggak sih? Minta pendapat ya temen-temen... :). Thanks in advance

You Are a Seeker Soul

You are on a quest for knowledge and life challenges.You love to be curious and ask a ton of questions.Since you know so much, you make for an interesting conversationalist.Mentally alert, you can outwit almost anyone (and have fun doing it!).
Very introspective, you can be silently critical of others.And your quiet nature makes it difficult for people to get to know you.You see yourself as a philosopher, and you take everything philosophically.Your main talent is expressing and communicating ideas.
Souls you are most compatible with: Hunter Soul and Visionary Soul
What Kind of Soul Are You?

Tuesday, November 07, 2006

Moments of Being

Like this book :). Looking forward to read Virginia Woolf's Diary, there are 5 volumes of the diaries! Having read 'A Writer's Diary', I believe the unabridged version will be much more interesting :D.

Best,
Adilla

Monday, November 06, 2006

Mata yang Tak Pernah jatuh Cinta (teenage version :P)


MATA YANG TAK PERNAH JATUH CINTA

Raya memicingkan matanya ketika memasuki toko alat lukisan yang cukup besar itu. Hal yang hampir selalu ia lakukan setiap kali ia datang ke toko ini. Pak Roni, seorang lelaki paruh baya yang periang, memang memasang banyak sekali lampu di tokonya. Raya mencari-cari lelaki itu ke sekeliling ruangan. Matanya tertumbuk pada sebuah sosok yang sedang asyik melukis di sudut ruangan.
“Sore Pak Roni.” Raya menyapa sopan. Pak Roni menghentikan kegiatan yang ditekuninya dan membalas salam. “Sore Raya. Catmu habis ya?” Lelaki itu mengelapkan tangannya yang belepotan cat ke sehelai lap dan mendekati Raya, masih dengan senyum khasnya yang tersungging lebar.
“Saya mau beli kuas.” Raya menjelaskan pada Pak Roni jenis kuas yang ia butuhkan. Lelaki itu mengangguk-angguk dan bergegas ke etalase, mencarikan kuas yang Raya maksud.
“Sedang melukis apa, Pak? Raya memberanikan diri bertanya. Lukisan yang sedang Pak Roni kerjakan memang beraliran abstrak, dan Raya nyaris tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang jenis itu. Ia hanya bisa melukis realis.
“Penari Bali.” Pak Roni mengulurkan kuas yang sudah terbungkus rapi ke tangan Raya. “Almarhum istri Bapak sangat tertarik dengan kebudayaan Bali, dan pernah Bapak berjanji untuk melukiskan penari Bali untuknya. Tapi…” Suara Pak Roni menghilang. Raya menunduk. Ia jadi tak enak hati menanyakan hal itu pada Pak Roni.
“Maaf…saya tidak bermaksud membangkitkan kenangan buruk Bapak tentang hal itu. Saya permisi dulu, Pak…”
“Jangan pergi Raya. Justru Bapak yang ingin minta maaf. Malah membuat perasaan kamu tak enak dengan cerita Bapak ini.” Pak Roni memaksakan seulas senyum di bibirnya. “Sebenarnya Bapak punya tantangan buat kamu.” Mata lelaki separuh baya itu berbinar sedikit.
Raya mengangkat alis tanda tak mengerti. Pak Roni menunjuk sebuah kursi di dekat mereka, menyuruh Raya duduk, ia sendiri berjalan menuju ke belakang toko, dan kembali dengan sebuah buku sketsa di tangannya.
“Kamu lihat buku sketsa ini?”
Raya mencondongkan badan, mengamati lembar demi lembar halaman buku sketsa yang sedang dibuka Pak Roni.
“Semuanya…penari Bali.” Raya bergumam pelan.
“Ya, semuanya penari Bali.” Pak Roni mengangguk dan mengulurkan buku itu ke tangan Raya.
“Bapak ingin kamu memiliki buku ini.”
Raya menatap mata lelaki setengah baya itu, berusaha menjabarkan isi hati bertelaga teduh yang saat ini sama sekali tak terbaca oleh Raya.
“Ambillah buku ini Raya, Bapak ingin kamu memilikinya. Dan lukislah,lukislah penari Bali dengan mata yang tengah jatuh cinta.”
Raya menerima buku itu, bibirnya bergerak untuk mengatakan sesuatu, sesuatu yang lebih dari sekedar ucapan terima kasih, tetapi gelengan kepala Pak Roni menghentikannya.
“ Datanglah kemari dan tunjukkan ke Bapak lukisan yang sudah jadi itu.”
Raya hanya bisa mengangguk.Hanya bisa mengangguk.

Malam itu Raya tidak bisa tidur. Mata yang tak pernah jatuh cinta? Setidaknya mata yang tak lagi jatuh cinta milik Pak Roni. Tapi…kalau yang dimaksud cinta laki-laki kepada seorang perempuan, Raya pun belum pernah merasakannya. Bagaimana cara melukis sepasang mata yang penuh cinta jika pelukisnya saja tidak tahu bagaimana mata yang jatuh cinta itu?
Sulit. Ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, Semula Raya menyangka ia akan cukup mampu untuk memenuhi permintaan Pak Roni. Raya sudah cukup sering melukis dengan aliran naturalis, dan semuanya, tanpa menggunakan model sungguhan. Apa…apa semua karya yang telah ia hasilkan dulu tidak berjiwa? Karena mereka tidak bermodel dan hanya menggunakan imajinasinya semata?
Raya bangkit dari tempat tidurnya dan kembali membolak-balik buku sketsa pemberian Pak Roni. Semakin ia membolak-balik buku itu dan mengamati gambar-gambar di dalamnya, semakin ia mengerti bahwa Pak Roni tidak main-main ketika memberikan pesan itu kepadanya. Raya tahu ia harus melakukan sesuatu. Harus.
*
“Raya!” Gilang menepuk bahu sahabatnya sekilas.
“Ya, Lang, ada apa?” Raya mengangkat kepala sekilas dari buku yang sedang dibacanya.
“Baca buku apa?”
Raya menunjukkan sampul buku yang sedang ia baca, membiarkan Gilang membaca judul yang tertera.
“Ada apa dengan kamu, Ya? Tiap istirahat selalu buku soal lukis melukis dan buku-buku sastra yang tak aku kenal penulisnya yang kamu pegang.”
Raya tersenyum tipis dan meletakkan buku yang sedang ia baca. Rasa penasaran Gilang menggebu-gebu rupanya. Biarlah ia melayani sahabatnya sebelum kembali berkutat dengan bukunya. “Aku punya alasan dibalik semua ini, Lang. Kamu bisa jaga rahasia kalau aku cerita kenapa aku jadi lebih rajin akhir-akhir ini?”
Gilang mengangguk penuh semangat. “Lidahku terjaga, Ray. Ada cerita
“Aku…aku lagi mau ngelukis sesuatu, tapi bingung gimana ngelukisnya.”
Gilang mengangkat alisnya.” Seorang Raya sampai bingung bagaimana cara melukis sesuatu? Apa aku salah dengar?”
“Bukan lukisan biasa, ini lukisan penari Bali titipan salah seorang orang yang aku hormati.”
Mengalirlah cerita itu dari mulut Raya. Tentang Pak Roni, tentang lukisan penari Bali yang diinginkan istri Pak Roni dan…tentang mata yang tak pernah jatuh cinta. Gilang sampai sangat terpukau mendengar semua cerita itu. Mulutnya yang biasanya tak pernah diam hanya ternganga.
“Jadi,intinya kamu sedang mencari model?”
Raya mengangguk.
“Bagaimana kalau Renata?”
“Renata?” Mata Raya bergerak ke arah gadis pendiam teman sekelas mereka, yang duduk tak jauh dari mereka.
Gilang mengangguk.”Renata Abdullah.”
“Kenapa Renata?” Raya tak mampu menyembunyikan keheranannya.
“Renata menyukai kamu dari dulu, Ya!”
Alis mata Raya terangkat tinggi.
“Kamu ingin melukis penari yang matanya jatuh cinta, kan? Renata adalah model yang paling pas!”
Raya masih terbelalak. “Kamu serius, Lang?”
Gilang mengangkat dua jarinya tak sabar. “Aku serius! Kamu bisa temui dia di perpus setelah jam pulang nanti. Biasanya dia disana.” Gilang melirik gadis itu sembunyi-sembunyi dan merendahkan suaranya.
Raya masih menggelengkan kepalanya. Gilang memang ajaib!
*
Dan disinilah Raya, menemukan dirinya, berdiri di perpustakaan dengan linglung, matanya mencari-cari sosok Renata. Dilihatnya gadis itu sedang berjinjit mengambil sebuah buku dari rak yang tinggi. Entah kenapa kaki Raya tiba-tiba tergerak untuk membantunya.
“Oh, terima kasih, Ray.” Renata menatap penolongnya, terlihat sangat terkejut.
“Sama-sama.” Raya membalas senyuman gadis itu. Apa benar Renata menyukaiku?
Suasana hening sejenak, Raya mulai gelisah, ia tidak tahu bagaimana harus memulai percakapa dengan Renata.
“Masih suka melukis, Ray?”
Mata Raya membelalak sedikit. Kesempatan baik mungkin, meminta Renata menjadi modelnya sementara mereka memperbincangkan tentang lukis melukis.
“Aku…sedang mencari model untuk lukisan baruku.”
Mata Renata bersinar.”Oh,ya? Lukisan apa?”
“Penari Bali.”
Renata berdecak kagum. “Pasti nanti hasilnya indah, seperti lukisan-lukisan kamu sebelumnya….”
“Kamu mau jadi modelku?” Raya nyaris memaki dirinya sendiri yang tidak mampu berbasa-basi.
Mata itu membelalak lagi. “Kamu serius?”
Raya mengangguk, walaupun ia sedikit bingung melihat keantusiasan Renata. “Iya, mmm…kalau kamu bersedia. Di rumahku mungkin…”
“Aku mau.” Renata menjawab singkat. Raya menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. Renata bersedia? Kalau begitu…mungkin akan lebih mudah melukis pesanan Pak Roni.
“Kalau begitu….nanti aku hubungi kamu lagi Tapi, mungkin akan cukup memakan waktu melukisnya.”
“Tidak masalah buatku. Baru pernah ada yang minta aku jadi model lukisan.” Mata Renata berkilauan bahagia. Raya seperti terhipnotis. Ia cuma bisa mengangguk.
“Sampai ketemu.”
“Sampai ketemu.”Renata tersenyum. Manis sekali. Raya kembali bingung. Benarkah ini Renata yang biasanya?
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Raya teringat sesuatu.
“Renata?”
“Ya?”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Raya berdiri disana, takjub beberapa saat sebelum akhirnya punggung Renata menghilang kembali di balik rak-rak buku nan tinggi, Benarkah mata yang baru dilihatnya tadi adalah mata yang jatuh cinta?
*
Renata benar-benar datang hari itu. Padahal Raya hampir saja menjitak Gilang yang bawel karena sahabatnya itu sudah dengan ributnya berteriak-teriak kegirangan karena tahu Renata sudah mengiyakan ajakan Raya untuk menjadi modelnya, yang semula ia pikir hanya basa-basi semata. Tapi itulah yang terjadi. Renata benar-benar datang.
“Terima kasih sudah mau datang.” Raya menyilakan Renata duduk di ruang tamu rumahnya dengan sedikit kikuk. Sungguh,ia tidak tahu bagaimana caranya bersikap di hadapan gadis ini, karena mereka jelas-jelas bukan teman dekat.
“Kapan mulainya, Ray?”
“Kamu mau duduk-duduk minum dulu? Atau lagi buru-buru, ya?”
“Oh, tidak.” Renata menjawab, sedikit terlalu cepat.
“Silakan minum dulu, nanti kita ke studioku.”
“Studio? Kamu punya studio lukis sendiri?” Mata itu membelalak lagi. Raya tertegun sejenak, dan tiba-tiba ia menyadari bahwa sejak beberapa hari yang lalu ia selalu mengamati mata Renata. Benar, mata itu begitu hidup. Kacamata yang dikenakan gadis itu tidak bisa menyembunyikan vitalitas yang terpancar dari dalamnya.
“Almarhum ayahku dulu membuatkan studio kecil untukku. Sederhana saja, cuma sebuah kamar kecil yang tak terpakai.”
Renata menghabiskan minumannya dan mengikuti Raya menuju studio lukis itu. Kecil dan sederhana, seperti yang digambarkan Raya. Tapi di dalamnya penuh harta berharga. Setidaknya bagi Raya.
Jadilah seharian itu Raya melukis. Mata Renata begitu hidup, begitu bercahaya. Begitu pula mata penari yang dilukis Raya. Mungkinkah ini mata yang tengah jatuh cinta yang sedang ia lukis. Raya tidak tahu pasti.
Jemari Raya bergerak menyapukan kuasnya. Sesekali matanya bertumbukan dengan mata Renata. Benarkah mata Renata terlihat semakin bersinar seiring dengan goresan kuas di kanvas itu? Raya menggelengkan kepala dan memejamkan matanya, berharap itu hanyalah khayalan yang akan segera hilang. Tapi…
“Ada apa, Ray?” Suara Renata terdengar khawatir.
Raya meletakkan kuasnya sejenak dan memaksakan seulas senyum. “Tidak ada apa-apa Ren. “
Ia kembali menggoreskan kuasnya, seiring dengan letupan-letupan kecil di hati yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini…
*
Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?
Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan

Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit
Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?
Angin Merah Jambu, namamukah digemakan dasar samudera?
Ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?
Raya masih menyimpan puisi itu di laci mejanya. Sungguh, tulisan tangan rapi di atas sehelai kertas itu membuatnya tak sanggup membuangnya. Apalagi isinya. Puisi karya Renata. Puisi yang Renata tulis saat ia menjadi model Raya untuk kedua kalinya. Saat Renata mengatakan betapa ia menyukai angin yang berhembus dan berwarna merah jambu, meliputi hati yang bersyukur.
Renata bukanlah Renata yang dahulu ia kenal. Bukan Renata yang pendiam, kutu buku, dan sedikit pemalu. Renata yang ia kenal sekarang adalah Renata dengan mata seindah kilauan Spica di langit. Mata yang baru ia sadari keberadaannya.
Raya menghela nafas, memasukkan kembali puisi itu ke dalam saku celananya. Entah untuk keberapa kalinya dalam seminggu ini ia membaca puisi itu. Seminggu setelah Renata tak lagi menebar senyum manisnya saat ia memasuki studio mungil Raya. Seminggu setelah suara dan tawa renyahnya tak terdengar lagi. Seminggu setelah….lukisan penari Bali itu jadi.
Raya melangkahkan kaki menuju toko Pak Roni.Lukisan itu sudah terbingkai sederhana, dibungkus hati-hati sekali oleh Raya. Pak Roni sedang duduk di sudut tokonya, melukis sketsa dengan kesungguhan luar biasa. Bibir lelaki itu mengembang membentuk senyum melihat Raya.
“Bagaimana, Raya? Sudah bisakah kamu melukis mata yang sedang jatuh cinta?”
“Mata yang Bapak lihat sekarang adalah mata yang tengah jatuh cinta.” Raya menjawab tenang, sembari tangannya mengulurkan lukisan yang terbungkus rapi ke tangan Pak Roni. Lelaki itu membuka bungkusan tersebut dan mengamati lukisan di dalamnya, titik-titik embun mengambang di pelupuk matanya. “Saya jatuh cinta pada lukisanmu, Raya.” Kali ini, giliran Raya yang kehabisan kata-kata.
Tak jauh dari sana, Renata tengah membuka bungkusan lain. Lukisan penari Bali yang sama, dengan ia sebagai modelnya. Renata sungguh bahagia. Tapi apa yang tertulis di secarik kertas yang tertempel di lukisan itulah yang membuat cahaya di matanya lebih terang dari cahaya Orion.
Untuk mata yang penuh cinta, terima kasih karena telah membuat mataku menjadi mata yang tengah jatuh cinta.-Raya-







Sunday, October 29, 2006

Forgiveness

Just forgive your enemies. Nothing annoys them so much. -Oscar Wilde

Assalamualaikum wr.wb
Biarpun sedikit terlambat...

Selamat Idul Fitri 1427 Hijriah
Minal Aidzin wal Faidzin
Mohon maaf lahir dan batin...

Semoga apa yang telah kita kerjakan selama satu bulan, terefleksikan kembali di 11 bulan sisanya.
Sekali lagi, mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahan.

Best,
Adilla

Monday, October 02, 2006

Sisyphus

Rambling...rambling...

Dulu pernah baca cerita tentang Sisyphus ini, dari buku mitologi Yunani terbitan Grafitti kalo gak salah. Jadi ceritanya dia dihukum sama dewa seumur hidup, dorong-dorong batu ke puncak gunung, tapi setiap hampir sampe di puncak, batu itu jatuh ke bawah lagi. Dan dia pun mesti kembali ke bawah dan ngedorong batu itu ke atas lagi. Terus menerus. Karena masih kecil, yang kepikiran waktu itu cuma: kasihan banget ya orang ini, masa dihukumnya nggak banget gitu loh, gak kebayang deh harus dorong-dorong batu terus seumur hidup. Astagfirullah.

Dan tadi...ada lecture tentang drama, "Waiting for Godot". Intinya Albert Camus ngejadiin mitologi Sisyphus ini sebagai contoh teater absurd. Yup, that's it. An absurd man, a man that is conscious of the futility of life.

Murphy bilang kalo " If we don't know that life is aimless, it's perfectly fine." Yes, as long as you don't know that your life is aimless, pointless, etc, it is FINE!. So, what is LIFE, anyway?

Mungkin gak sih kita pernah (dan masih, mungkin?) menjalani kehidupan ala si Sisyphus ini?Repeating mindless activity? A life is but a life without a passion. If we do this, it means that we are torturing ourselves beyond our limit.., without even realizing it! Tapi mungkin yang lebih tragis adalah kita sadar sepenuhnya bahwa kita "menyiksa" diri sendiri, but we are powerless to do anything that may allow us to run from such a fate. We may be powerless, but being powerless is definitely "acceptable", but being rebellious is "unacceptable". What we believe in is what defines ourselves, since a man without beliefs and religions doesn't know who he is. Even the greatest poet can't articulate what's in his/her heart properly, let alone knows about himself/herself.

Oh iya, ini ada quote yang bagus banget dari "A Myth of Sisyphus", by Albert Camus:

Lengkapnya silakan baca di sini:

If this myth is tragic, that is because its hero is conscious. Where would his torture be, indeed, if at every step the hope of succeeding upheld him? The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious. Sisyphus, proletarian of the gods, powerless and rebellious, knows the whole extent of his wretched condition: it is what he thinks of during his descent. The lucidity that was to constitute his torture at the same time crowns his victory. There is no fate that cannot be surmounted by scorn.

And another one:

One does not discover the absurd without attempting to write a manual of happiness. "What! by such narrow ways--?" There is but one world, however. Happiness and the absurd are two sons of the same earth. They are inseparable. It would be a mistake to say that happiness necessarily springs from the absurd discovery. It happens as well that the feeling of the absurd springs from happiness. "I conclude that all is well," says Oedipus, and that remark is sacred. It echoes in the wild and limited universe of man. It teaches that all is not, has not been, exhausted. It drives out of this world a god who had come into it with dissatisfaction and a preference for futile sufferings. It makes of fate a human matter, which must be settled among men.

Tuesday, September 26, 2006

The Spider and The Fly

Suka banget sama puisi ini. Diambil dari sini.


The Spider And The Fly
by Mary Howitt
"Will you walk into my parlour?" said the Spider to the Fly, "
'Tis the prettiest little parlour that ever you did spy;
The way into my parlour is up a winding stair,
And I have many curious things to show you when you are there."
"Oh no, no," said the Fly,
"to ask me is in vain;
For who goes up your winding stair can ne'er come down again."
"I'm sure you must be weary, dear, with soaring up so high;
Will you rest upon my little bed?" said the Spider to the Fly.
"There are pretty curtains drawn around, the sheets are fine and thin;
And if you like to rest awhile, I'll snugly tuck you in!"
"Oh no, no," said the little Fly,
"for I've often heard it said They never, never wake again, who sleep upon your bed!"
Said the cunning Spider to the Fly, "Dear friend, what can I do
To prove that warm affection I've always felt for you?
I have within my pantry, good store of all that's nice;
I'm sure you're very welcome - will you please take a slice?"
"Oh no, no," said the little Fly, "kind sir, that cannot be,
I've heard what's in your pantry, and I do not wish to see!"
"Sweet creature," said the Spider, "you're witty and you're wise;
How handsome are your gauzy wings, how brilliant are your eyes!
I have a little looking-glass upon my parlour shelf;
If you step in one moment, dear, you shall behold yourself."
"I thank you, gentle sir," she said,
"for what you're pleased to say; And bidding good morning now, I'll call another day."
The Spider turned him round about, and went into his den,
For well he knew the silly Fly would soon come back again;
So he wove a subtle web in a little corner sly, And set his table ready to dine upon the Fly.
Then he came out to his door again, and merrily did sing, "Come hither, hither, pretty Fly, with the pearl and silver wing;
Your robes are green and purple, there's a crest upon your head;
Your eyes are like the diamond bright, but mine are as dull as lead."
Alas, alas! how very soon this silly little Fly,
Hearing his wily, flattering words, came slowly flitting by;
With buzzing wings she hung aloft, Then near and nearer drew, -
Thinking only of her brilliant eyes, and green and purple hue;
Thinking only of her crested head - poor foolish thing! At last,
Up jumped the cunning Spider, and fiercely held her fast.
He dragged her up his winding stair, into his dismal den
Within his little parlour - but she ne'er came out again!
And now, dear little children, who may this story read,
To idle, silly, flattering words, I pray you ne'er heed;
Unto an evil counsellor close heart, and ear, and eye,
And take a lesson from this tale of the Spider and the Fly.

The Name is Draco...




Dari sebuah fanfic di fanfiction.net

"He is named after the dragon, a sea serpent existing even before the sea and sky had been divided from each other….
Monsters of primeval darkness and chaos, dragons can only be overcome by the powers of sunlight before the creation of the world can take place—before a new beginning can occur.”

“True to his name, he has been living in darkness and chaos all of his life. He was swallowed up by the expectations, the disappointments, and the bitterness. Everything about him was out of control, hence his constant struggle…to obtain… and maintain control; but he failed...because of the light....”

Monday, September 25, 2006

Mata yang Tak Pernah jatuh Cinta

Nggak tau apaan :P.

Tidak ada yang tahu kenapa mata itu tak pernah jatuh cinta. Mungkin ada saatnya sepasang mata itu melirik, melotot, mendelik, atau hanya menutup pasrah. Tapi mereka tak pernah jatuh cinta. Bahkan ketika helaian daun terakhir yang tersisa di pohon akasia mengiba-iba menanyakan mengapa mata itu tak pernah jatuh cinta, mata itu tak mampu menjawab.
Mata itu selalu mengembara, seperti ingin menelusuri perjalanan Kubilai Khan yang menghunus pedang yang setara berharganya dengan nyawa baginya. Mereka menemukan ketenangan pada genangan air yang berdzikir begitu rezeki telah usai melompat-lompat dari langit.Kadang mereka menyempatkan diri dan berbincang dengan batu-batu kecil yang kokoh bersila di pinggirjalan. Kadang mereka menunduk sebentar, mengamati jalanan yang terhampar di bawah, seperti karpet tak berujung.
Kenapa manusia menyamakan panjangnya jalan dengan cinta kasih orang tua?
Bukankah jalan itu pada akhirnya berbelok, dan tak selamanya lurus tak bergejolak? Bukankah sering jalan itu tandus, tak beraspal dan tak rata serta rindu akan percikan hujan karena kepulan debunya?
Mata yang jatuh cinta tahu ia takkan pernah bisa meniru kasih sayang di mata kedua orang tua, yang malangnya diumpamakan dengan panjangnya jalan. Mata yang jatuh cinta rindu melanglang buana, mencari tatapan lain yang begitu ingin ia tiru, tatapan mata lain yang begitu penuh cinta. Tapi tidak ada yang lebih indah dari tatapan mata kedua orang tua pada anaknya, yang masih merupakan benih kehidupan.
Mata yang tak pernah jatuh cinta begitu iri. Iri pada kehidupan dan kebahagiaan sederhana yang menjadikan mata-mata lain begitu bersinar. Iri pada mata-mata lain yang merasakan cinta Pencipta mereka bahkan hanya dari hembusan angin yang menyapa di sore hari. Iri pada ikan-ikan yang berenang, yang mata penuh cinta mereka mencegah air di sekelilingnya untuk membeku bahkan saat udara sedang bermuram durja.
Mata yang tak pernah jatuh cinta selalu sendirian. Kadang ia merasa seperti Mathew Arnold dan “Dover Beach”-nya, penyair yang menatap kejauhan selat Inggris dan meratapi nasib dunia setelah guncangan religius terjadi. Mata yang tak pernah jatuh cinta bisa mengerti bagaimana perasaan mata sang penyair, resah dan tak pasti. Mungkin ada saat dimana penyair itu berharap bumi menelannya bulat-bulat, tanpa ada niatan untuk memuntahkannya lagi.
Ini seperti rayuan pulau kelapa. Mata yang tak pernah jatuh cinta mengembara ke pasir-pasir pantai yang bernyanyi riang bersama ombak, berayun kesana kemari, menguliti laut dan bercanda dengan kerang-kerang yang sedang berjemur. Mata yang jatuh cinta bisa merasakan cinta raja siang yang sedang bercengkrama lembut bersama camar-camar. Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin ikut bernyanyi bersama mereka,tapi kerongkongannya tengah kering dan suaranya sumbang. Mata yang tak pernah jatuh cinta mendesah kecewa.
Mata yang jatuh cinta mempertanyakan lagi kenapa ia tak pernah jatuh cinta. Mungkin saja ia takut cintanya hanya bernasib seperti cinta manusia yang hanya bersinar sepanjang usia kecantikannya. Mungkin ia takut cintanya akan berujung pada kebencian dan kekecewaan. Mungkin karena…
Mata yang tak pernah jatuh cinta begitu menyukai kedalaman mata pada kucing-kucing yang tersipu saat ia menatap mereka. Pantasnyalah hewan ini adalah hewan kesayangan Rasulullah! Merekakah yang telah menginspirasi Soseki Natsume mengorek kedalaman jiwa manusia, merobek segala topeng mereka dengan sekali hentak?
Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin seseorang menuliskan kisahnya, menuliskan kisahnya dan membuatnya jatuh cinta. Menuliskan kisahnya dan membacakannya di gulita, menyalakan pelita. Menuliskan kisahnya dan membisikkannya perlahan, mengulum kata-kata itu dan mengucapkannya pada hati yang kesepian.
Mata yang tak pernah jatuh cinta tahu ia tak pernah bisa selamanya mengembara. Ia ingin menyelusup ke tangan penari, merasakan wirama, wiraga, wirasa yang menyatu pada tubuh mereka. Merasakan kehalusan gerak dan jiwa mereka yang seakan berpisah dari tubuh saat mereka menari. Atau ikut menyanyikan macapat kinanthi, suara mereka lembut menggaung, seperti sayatan pisau yang tengah mengupas buah, mengiris tanpa menyakitinya.
Seperti itulah, Mata yang tak pernah jatuh cinta bertanya apa yang akan terjadi apabila ia menua, dan ia belum pernah jatuh cinta? Menua, apakah menua itu? Menjadi keriput dan lelahkah ia nanti saat ia menua? Tersia-siakah ia saat ia menua dan lanjut usia?
Mengapa jarang sekali ada mata yang mampu mencapai kecantikan sejati saat ia mencapai usianya?
Mata yang jatuh cinta selalu menganggap mata yang penuh dengan pengalaman hidup dan cinta kasih selalu bercahaya dan begitu cantik. Begitu cantiknya hingga mereka bahkan terlihat begitu bersih dan tanpa dosa bagi mata yang tak penah jatuh cinta. Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin menyudahi petualangannya. Ia sudah mendaki beberapa gunung, menyelami beberapa samudra, bahkan mengelana di gurun-gurun. Tapi ia belum pernah jatuh cinta. Mengapa cinta terasa begitu sederhana, tapi begitu mahal dan tak tertelan oleh lidah dan mulutnya?
Bisakah mata yang tak pernah jatuh cinta merasakan cinta yang tersia-sia dari pepohonan yang hangus terbakar di hutan-hutan karena kejahilan manusia? Betapa pepohonan itu menangis karena cintanya tak lagi mampu menaungi sesama penghuni rimba yang bernaung di bawahnya. Betapa pepohonan itu menangis karena tak lagi bisa merasakan cinta tulus dari sang akar yang tak pernah menonjolkan dirinya ke permukaan bumi. Selalu memberi tanpa pernah meminta kembali.
Mungkin mata yang tak pernah jatuh cinta akan jatuh cinta ketika ia mencari ke delapan penjuru angin, seperti Bima yang mencari tentang kebenaran sejati hingga ke dalam lautan luas. Tapi bahkan angin pun menggeleng ketika mata yang tak pernah jatuh cinta bertanya. Ia telah terlalu lelah meniup awan-awan bandel yang manja. Angin juga ingin bermain dan meniup-niup perahu layar nelayan hingga mereka bisa menyapa ikan dan mengajak ikan-ikan itu pulang ke rumah.
Mata yang tak pernah jatuh cinta mulai putus asa. Ia ingin pergi saja seperti seorang pengelana di dalam guanya, menyatukan panca indera demi menghadap Pencinta yang amat dicintainya. Tak menghindahkan desahan dedaunan yang ingin menggoda. Juga haus dan lapar yang menggigit perut dan kerongkongannya. Sanggupkah mata yang tak pernah jatuh cinta berbuat seperti sang pertapa?
Mata yang tak pernah jatuh cinta kembali mengulang rekaman kisah pewayangan yang sering didongengkan ibunya dahulu. Tentang Dananjaya yang tetap teguh bertapa walaupun bidadari-bidadari mengganggunya dengan segala cara. Menggoyahkannya seperti sebuah batu di pinggir jurang terjal. Dananjaya yang telah mati panca inderanya selama ia bertapa. Itukah cinta? Jika Dananjaya sekali saja membuka mata, tentunya ia akan menyadari kedatangan Batara Guru yang menyamar membangunkannya dari tidur panjang.
Kedatangan dewa yang telah dibutakan oleh cintanya sendiri ketika sumirat datang dan mengaburkan pandangan. Cinta yang terkaburkan oleh hasutan tunggangannya sendiri hingga kutukan pun terlontarkan pada seseorang yang pernah ia sebut cinta.
Mata yang tak pernah jatuh cinta tak tahu apakah ia harus mengandalkan segala panca inderanya atau tidak untuk bisa jatuh cinta. Lelahkah jatuh cinta itu? Terasa seperti kehabisan darahkah mencintai itu? Bagaimana seseorang sanggup bertahan ketika cintanya tidak terbalas? Benarkah mencintai harus selalu berbalas? Mata yang tak pernah jatuh cinta tidak tahu bagaimana ia akan mencari jawaban atas segala pertanyaan itu.
Ia tahu Shakespeare begitu lihai meramu kisah cinta tragis yang tak putus-putusnya dibisikkan zaman ke telinga-telinga manusia yang menelan bulat-bulat kisah itu, meneteskan air mata ketika mengetahui akhir dari seluruh kisah itu, tetapi dengan tragisnya membuang kebahagiaan mereka sendiri dengan mengulang kisah yang sama.
Pantaskah seseorang mengakhiri hidup orang lain dan bertindak bagai Tuhan dengan mengambil nyawanya sendiri untuk sesuatu yang disebut cinta? Mata yang tak pernah jatuh cinta tak pernah mengerti. Tak pernah bisa mengerti. Apakah yang indah dari kehancuran satu makhluk Sang Pencipta yang lain demi kejayaan yang lain? Tak bisakah pengorbanan tidak berbumbukan darah? Ini bukanlah kisah heroik, sebuah elegi pagi hari yang dipersembahkan mentari kepada mata yang tak pernah jatuh cinta. Ia tak akan pernah tertarik.
Benarkah yang terekam oleh kisah-kisah Ramayana dan Bharatayudha adalah cinta? Sedhumuk batuk senyari bhumi, hak milik harus diperjuangkan,kata para pujangga itu membenarkan tindakan para pelakunya. Akan tetap hidupkah para legenda-legenda itu jika perang tak berkobar? Akan tak tersia-siakah air mata janda-janda yang ditinggalkan dan anak-anak yang dalam sedetik menjadi yatim tak berdaya?
Cintakah itu yang mengalir dari bantuan-bantuan pangan seperti hujan deras pada negara-negara yang tertimpa musibah? Uluran tangan itu, senyum itu, rangkulan hangat itu. Terbayarkah cinta semacam itu oleh mereka yang dicintai? Dan benarkah energi yang tengah mengalir dari rimbun air terjun mengucur deras itu juga cinta? Begitu pulakah tsunami penghancur dan pematah hati, pemisah manusia dari orang-orang yang dicintainya?
Mata yang tak pernah jatuh cinta ingin terus melanglang buana, bagai pasir dicurahkan dari bejana waktu, mengais dan meringis, memaparkan gelak dan bergerak berontak. Mungkin ia akan berakhir mengenaskan, terkapar tanpa ada yang mengenali dirinya lagi, mungkin pula ia akan berjaya dan jatuh cinta. Mungkin. Mata yang jatuh cinta kali ini hanya ingin menyapa angin merah jambu kesayangannya. Angin merah jambu yang membawa seutas kemilau di lehernya kemanapun ia berlari, meloncat, berjalan.

Angin merah jambu dan seutas kemilaunya.

Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?

Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan

Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit

Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?

Angin Merah Jambu, namamukah digemakan dasar samudera?
Ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
Tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
Dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?

Mata yang tak pernah jatuh cinta masih ingin jatuh cinta. Masih.

Sunday, September 24, 2006

Ramadhan....

Copy paste dari milis Annaba :P *gak kreatif*. Met menjalankan ibadah puasa,mohon maaf atas segala kesalahan :)

The Sermon Given By The Prophet (s) On The Last Friday Of Sha'ban On The Reception Of The Month of Ramadhan
"O People!Indeed ahead of you is the blessed month of Allah.A month of blessing, mercy and forgiveness.A month which with Allah is the best of months.Its days, the best of days; its nights, the best of nights; and its hours, the best of hours.It is the month which invites you to be the guests of Allah and invites you to be one of those near to Him.

Each breath you take glorifies Him; your sleep is worship, your deeds are accepted and your supplications are answered.So, ask Allah, your Lord; to give you a sound body and an enlightened heart so you may be able to fast and recite His book, for only he is unhappy who is devoid of Allah's forgiveness during this great month.

Remember the hunger and thirst of the day of Qiyamah (Judgement) with your hunger and thirst; give alms to the needy and poor, honor your old, show kindness to the young ones, maintain relations with your blood relations; guard your tongues, close your eyes to that which is not permissible for your sight, close your ears to that which is forbidden to hear, show compassion to the orphans of people so compassion may be shown to your orphans.

Repent to Allah for your sins and raise your hands in dua during these times, for they are the best of times and Allah looks towards his creatures with kindness, replying to them during the hours and granting their needs if he is asked...

O People! Indeed your souls are dependant on your deeds, free it with Istighfar (repentance) , lighten its loads by long prostrations; and know that Allah swears by his might: That there is no punishment for the one who prays and prostrates and he shall have no fear of the fire on the day when man stands before the Lord of the worlds.

O People! One who gives Iftaar to a fasting person during this month will be like one who has freed someone and his past sins will be forgiven." Some of the people who were there then asked the Prophet (s): "Not all of us are able to invite those who are fasting?"

The Prophet (s) replied: "Allah gives this reward even if the Iftaar is a drink of water.""One who has good morals (Akhlaq) during this month will be able to pass the 'Siraat'...on the day when feet will slip...One who covers the faults of others will benefit in that Allah will curb His anger on the day of Judgement... As for one who honors an orphan; Allah will honor him on the day of judgement.And for the one who spreads his kindness, Allah will spread His mercy over him on the day of Judgement.As for the one who cuts the ties of relation; Allah will cut His mercy from him...

Who so ever performs a recommended prayer in this month, Allah will keep the fire of Hell away from him...Whoever performs an obligator prayer, Allah will reward him with seventy prayers [worth] in this month.And who so ever prays a lot during this month will have his load lightened on the day of measure.He who recites one verse of the holy Quran will be given the rewards of reciting the whole Qur'an during other months.

O People! Indeed during this month the doors of heaven are open, therefore ask Allah not to close them for you;The doors of hell are closed, so ask Allah to keep them closed for you.During this month Shaytan (Saten) is imprisoned so ask your Lord not to let him have power over you."

Thursday, September 14, 2006

Serigala Tua dan Kendaraan Cahaya



Setiap manusia adalah serigala. Bukan, bukan bagi sesamanya. Ia sendiri adalah serigala, utuh dan satu.
Ada seekor serigala tua yang begitu mencintai kebebasan dan membutuhkan kebebasan itu seperti ia membutuhkan nafas pada detik kehidupannya. Seperti ia membutuhkan hujanan cinta Penciptanya.
Serigala yang gelisah.
Serigala yang ingin berlari sejauh mungkin dari kawanan kelompoknya.
Serigala yang lelah karena lolongannya tak lagi sejalan dengan lolongan kelompoknya.
Serigala yang berbeda.
Serigala yang penasaran dengan rasa embun di pucuk cemara dan ingin menggapainya.
Serigala yang tak pernah bosan melihat pantulan wajahnya di bulan purnama.
Serigala yang sendu.
Serigala yang mengerti bahwa ia takkan pernah bisa terus berlari tanpa terlempar dari pusaran waktu.
Serigala yang mengerti perasaan pertapa di senyap guanya.
Serigala yang menggigit habis kesunyian dan memeluk sunyi itu saat ia tidur.
Serigala tua yang resah.
Serigala yang ingin kendaraan cahayanya, agar kaki tua itu bisa berhenti mengelus bumi saat ia berlari.
Ya, serigala yang ingin berburu lagi, tapi merasa usia menahannya setiap hari.
Serigala tua itu.

Sunday, September 10, 2006

Angin Merah Jambu dan Seutas Kemilaunya

Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?

Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan

Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit
Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?

Angin Merah Jambu
namamukah digemakan dasar samudera?
ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?

Tuesday, September 05, 2006

Delapan Penjuru Angin




Tadinya buat Buku Tahunan...tapi nggak kepake :P.

Delapan Penjuru Angin
Berkaca pada telaga teduh di hati
Yah, pernah ada kata-kata merasuk dan membuat porak-poranda
Pernah ada polah merampas senyum bahagia

Menatap ketegaran di sukma
Yah, ada kata maaf yang tertunda
Ada sesal batin tak terduga

Mendengar irama merdu di bibir
Mungkin ada goresan dalam menghujam
Kadang mega berarak tipis di pelupuk mata
Ada tangis yang tak sempat terdengar
Ada gusar yang tak sampai hati terucap

Tujuh ratus dua puluh hari yang banyak terpangkas
Selami hati masing-masing
Tanggalkan topeng-topeng yang telah membeku
Dan menorehkan satu kenangan di hati kami

Dalam sejarah hidup yang singkat
Telah tersisa ruang untuk delapan lain di hati setiap sembilan
‘Tuk melangkah melintasi 8 penjuru angin
Berguru pada alam semesta yang luas tiada batas

Sunday, September 03, 2006

Episode Langit, Episode Bumi



Dedicated to my Angel of Music (terima kasih Bu Amdai atas dipilihnya puisi ini untuk Antologi Penyair Perempuan 2006) :).Alhamdulillah.

Episode Langit, Episode Bumi

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Beristirahatlah
Perdengarkan detak jantungmu pada dunia
Dan kebencianmu pada putus asa
Hingga matahari malu dan merona

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Beristirahatlah
Tunjukkan senyummu pada mereka
Dan melodi jemarimu yang terus melecut angkasa
Hingga malam enggan mengaku dirinya juwita

Van, telah kutebarkan sajak di tempat tidurmu
Berisitirahatlah
Bukankah kita telah berjanji
Aku, kau
Kau, aku
Masing-masing menjadi saksi
Episode langit, episode bumi
Yang kita lakukan tiap hari
Bahwa kita pernah ada
Bahwa kita,
Pernah ada
Pernah
Ada

Untuk Vanya: tetap semangat, itu bukan halangan :)

Saturday, September 02, 2006

My first...so-called teenlit short story :P

Assalamualaikum,
sedikit introduction, kenapa tiba-tiba saya nulis cerita seperti ini? Udah lumayan lama sebenernya, dan Alhamdulillah, atas kebaikan Bapak K.Atmodjo dari Cerita Kita, cerpen ini bisa dimuat di edisi April 2006. The credit goes to the source of my inspiration, gak bisa disebutin disini, but I'm thankful for all those memories that I have, it's better than nothing. And believe it or not, kalau orang bilang hampir semua tulisan itu adalah pengalaman penulisnya, yang ini...cuma sedikit terinspirasi:P. Yah, potongan-potongan ingatan yang masih rapi tersimpan aja :). Enjoy!
LIBURAN KALI INI
Putri mengemasi pakaian ke dalam tasnya dengan gembira.Bibirnya yang mungil sedari tadi asyik bersiul-siul pertanda ia sedang bergembira.Baju, pakaian dalam, handuk, obat-obatan, perlengkapan mandi, alat rias….Ia sibuk merinci apa saja yang akan dibawanya.
”Sudah siap, Put?” Mama muncul dari balik pintu kamar.”Nggak ada yang ketinggalan?” Mama duduk di tempat tidur dan ikut membantu Putri melipat dan memasukkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk liburan kali ini.
“Lho, mana kaus kaki dan selimutmu, Put? Bawa dong, nanti disana kamu kedinginan.” Mama menegurnya setelah memeriksa semua bawaan Putri.
“Oh iya, Ma! Untung Mama ingatkan. Putri hampir lupa.” Putri menepuk keningnya sendiri, lalu bergegas mengambil selimut dan kaus kaki dari lemari.
”Disana kan dingin, nanti kalau alergimu kambuh bagaimana?” Mama mulai mencereweti anak perempuan satu-satunya itu. “Tenang aja, Ma.Putri udah sedia semua yang perlu dibawa, kok.Udah bawa obat alergi juga.”
Putri hari ini akan pergi untuk acara perpisahan kelasnya.Ia sudah tak bisa tidur dari semalam membayangkan asyiknya pergi berjalan-jalan ke luar kota. Apalagi sahabat-sahabatnya juga ikut.Demikian juga Dewa, anak cowok sekelas yang sudah lama ditaksir Putri.
”Put, lo ikut, kan?” Rena sudah sibuk memperingatkan Putri akan acara mereka jauh-jauh hari.”Jadi, dong!” Putri tersenyum.Senang juga ia akhirnya berhasil merayu Mama untuk mengizinkan mengikuti acara perpisahan%LIBURAN KALI INI
Putri mengemasi pakaian ke dalam tasnya dengan gembira.Bibirnya yang mungil sedari tadi asyik bersiul-siul pertanda ia sedang bergembira.Baju, pakaian dalam, handuk, obat-obatan, perlengkapan mandi, alat rias….Ia sibuk merinci apa saja yang akan dibawanya.
”Sudah siap, Put?” Mama muncul dari balik pintu kamar.”Nggak ada yang ketinggalan?” Mama duduk di tempat tidur dan ikut membantu Putri melipat dan memasukkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk liburan kali ini.
“Lho, mana kaus kaki dan selimutmu, Put? Bawa dong, nanti disana kamu kedinginan.” Mama menegurnya setelah memeriksa semua bawaan Putri.
“Oh iya, Ma! Untung Mama ingatkan. Putri hampir lupa.” Putri menepuk keningnya sendiri, lalu bergegas mengambil selimut dan kaus kaki dari lemari.
”Disana kan dingin, nanti kalau alergimu kambuh bagaimana?” Mama mulai mencereweti anak perempuan satu-satunya itu. “Tenang aja, Ma.Putri udah sedia semua yang perlu dibawa, kok.Udah bawa obat alergi juga.”
Putri hari ini akan pergi untuk acara perpisahan kelasnya.Ia sudah tak bisa tidur dari semalam membayangkan asyiknya pergi berjalan-jalan ke luar kota. Apalagi sahabat-sahabatnya juga ikut.Demikian juga Dewa, anak cowok sekelas yang sudah lama ditaksir Putri.
”Put, lo ikut, kan?” Rena sudah sibuk memperingatkan Putri akan acara mereka jauh-jauh hari.”Jadi, dong!” Putri tersenyum.Senang juga ia akhirnya berhasil merayu Mama untuk mengizinkan mengikuti acara perpisahan kali ini.Maklum, Putri anak perempuan satu-satunya yang selalu dikhawatirkan Mamanya.Kepergian Putri kali ini juga lantaran ia berhasil membujuk Mama dengan rayuan mautnya, kalau tidak, sudah pasti Putri tidak akan bisa ikut acara perpisahan kelas kali ini.
“Pak Karno udah dateng, Ma?” Putri menanyakan sopir keluarga mereka itu. “Udah, tinggal nunggu kamu aja.Sarapan dulu, yuk! Mama udah bikin nasi goreng.” Putri mengikuti mamanya ke dapur.Bau nasi goreng buatan Mama yang lezat sudah menyambutnya begitu ia menarik kursi untuk makan.
“Hai Put!” Rena menyapanya tatkala Putri sudah sampai di gerbang sekolah.”Hai Ren.” Putri melambaikan tangan dan tersenyum sekilas, matanya sibuk mencari-cari, melempar pandangan ke kerumunan anak cowok yang sedang duduk-duduk di depan kelas-kelas.”Cari siapa, Put?” Rena mengikuti pandangan gadis itu dengan penasaran.
“Cari Dewa.Udah dateng belum dia?” Putri berkata dengan setengah berbisik.”Belum, biasalah Dewa, tukang ngaret.” Rena berkomentar cuek.”Mendingan ke kelas dulu, yuk, foto-foto sebentar mumpung lo udah dandan begini.” Rena menggiring sahabatnya menuju kelas yang sudah ramai.
“Ren, lo nggak bilang kalo Nina ikut?”Suara Putri meninggi ketika melihat seorang gadis cantik berambut panjang yang sedang duduk-duduk di depan kelas. “Kenapa gue harus bilang?” “Aduh, lo nggak tahu aja kalo gue nggak suka sama dia!” Putri menatap diam-diam gadis langsing berambut panjang yang cantik itu.Memang Nina seorang gadis yang agak sombong dan judes, sering meremehkan orang lain.Bukan itu saja sebenarnya.Nina juga saingan berat Putri dalam memperebutkan Dewa.
“Put, biarpun dia saingan elo ngerebutin Dewa, bukan berarti dia nggak boleh ikut, dong?” Widya yang sedari tadi diam ikut berkomentar.Gadis pendiam itu memang tidak suka ribut-ribut.“Gue nggak bilang begitu, cuma gue nggak suka kalo dia ikut.” Putri menggigit bibirnya dengan kesal.Matanya menatap Nina yang sedang berjalan mendekat kearah mereka.
“Hai Put.Gue sangka lo nggak ikut? Bukannya nyokap lo nggak ngebolehin elo pergi?” Nina tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. “Oh, sayang dugaan elo salah, Nin.
Nyokap gue ngebolehin gue pergi, kok.” Putri berusaha menjawab dengan santai.”Oh, gue kira nyokap lo masih memperlakukan lo kayak anak umur lima tahun yang belum bisa ngapa-ngapain.Bukannya biasanya gitu?” Nina menyindir tajam.Widya cepat-cepat meraih tangan Putri yang terkepal dan membimbing gadis itu menjauhi Nina.
“Wid, lepasin gue.” Putri menarik tangannya dari genggaman Widya.”Gue lepasin asal lo janji lo nggak bakalan berantem sama Nina.” “Gue janji.Lagian nggak ada untungnya gue berantem sama dia.Bikin malu aja.” Putri menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaannya.”Tapi dia emang keterlaluan, Wid.Dia nggak bisa seenaknya ngomong begitu ke gue!” “Sabar, Put. Pasti dia dapet balasannya nanti.”
”Put, daripada disini terus dan lo panas ngeliat kelakuan Nina, mendingan kita ke bis, yuk, beresin barang-barang sama ngelihat tempat duduk.” Rena berusaha mengalihkan perhatian.”Ayo deh, Ren.” Putri membiarkan gadis itu menarik tangannya.
Mereka bertiga menuju bus wisata yang sudah terparkir di halaman sekolah dan memilih tempat duduk.”Ren, gue di samping elo, ya?” Rena berpaling pada Putri yang meletakkan tasnya pada bangku di deretan kanan.”Boleh, asal lo tahan aja.” “Tahan apa?” “Gue pasti tidur kalo di mobil, dan elo mesti tahan berisik kalo gue mendengkur.” Rena tersenyum jahil. “Tenang aja, Ren, gue bawa walkman buat nutupin kuping gue, kok.” Putri menimpuk bahu sahabatnya dengan syal yang ia bawa sambil tertawa.Ia tahu Rena cuma bergurau.
“Huahm…” “Ssst…bangun, Ren! Udah nyampe!” Dengan gerakan kasar Putri mengguncang bahu Rena yang masih pulas tertidur.”Aduh, ada apa sih Put?” Rena membuka matanya separuh.”Udah waktunya makan?” “Kita kan makan di vila! Udah nyampe, nih.Entar lo nggak kebagian makanan, lho.” Putri bersiap-siap meninggalkan Rena di bis yang mulai sepi, memaksa gadis itu membuka matanya.”Iya, gue bangun! Duh, galak bener sih elo, Put? Udah kayak nyokap gue di rumah.” Putri tertawa.
Berdua mereka membawa tas berisi pakaian yang cukup berat ke vila itu.”Put, gak nyesel gue kesini, pemandangannya bagus banget.” Rena mengedarkan pandangannya, melihat sekeliling vila.Memang indah, gunung yang tampak kebiruan dari kejauhan, bangunan vila yang sederhana namun anggun, dengan halaman luas ditumbuhi rumut-rumput rapi teratur.
Putri berhenti sejenak, melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku sepanjang perjalanan tadi.Ia mengeluarkan kamera sakunya dan langsung membidik dengan cekatan, mengambil beberapa foto. ”Iya, Ren.Untung gue bawa kamera, bisa dapet banyak foto bagus, nih.”
“Sebenernya lo bawa kamera buat motret Dewa, kan? Ngaku aja, Put.” Rena memonyongkan bibirnya, mulai kambuh keisengannya.”Iya, tapi gue nggak tahu dia mau atau nggak.” “Masa difoto aja nggak mau, sih? Sombong banget tu anak!” Rena membelalakkan matanya tak percaya.”Bukan masalah sombong atau nggak, coba kalo lo liat tadi di bis, dia akrab banget sama Nina.” “Dia kan cowok yang baik, Put.Emang biasa terlalu ramah ke cewek, jadi orang sering salah paham.Dan lo tahu sendiri Nina kayak apa.” Rena mengutarakan pendapatnya.
“Hoi! Pada ngobrol aja! Udah dapet kamar, belum?” Iqbal sang ketua kelas menegur mereka berdua dengan sewot. Maklum, ia memang bertanggung jawab atas pembagian kamar mereka. “Boleh nggak gue lihat daftarnya, Bal?” Iqbal mengulurkan lembaran kertas yang dipegangnya.Putri mengamati daftar itu sejenak.”Gue di ruang dua aja, deh.” “Ruang dua udah penuh, tuh.Kalau mau di ruang tiga aja.” Iqbal menelusuri daftar itu sekali lagi dengan jemarinya, mencoba memeriksa.
”Masa, Bal? Nggak ada tempat buat kami?” Rena yang sedari tadi diam ikut bicara. “Kayaknya nggak, tuh, tapi coba tanya aja yang lain dulu, mungkin ada yang mau tukeran.Tapi kayaknya nggak bisa, deh.Udah fixed tempatnya.” Iqbal berpaling ke arah lain.”Ayo, ayo, siapa yang belum dapet kamar? Buruan ke gue!”
“Yah, Ren, gimana nih?” Putri bertanya dengan gelisah.”Gue sih nggak apa-apa, Put.Emang kenapa?” “Lo lihat, dong, tadi tuh Nina juga di ruang tiga!” Rena menggigit bibirnya.”Ya udahlah Put.Mau gimana lagi? Nggak apa-apalah, cuma sekamar doang.”
Putri cemberut.Ah, kenapa liburan yang sudah ditunggu-tunggunya jadi runyam begini? Tahu begitu lebih baik ia tidak usah ikut!
Pesta jagung bakar dimulai malam itu.Anto yang jago bermain gitar langsung didaulat menyumbangkan sebuah lagu.Putri ikut bernyanyi.Kekesalannya akibat kejadian siang tadi sudah mulai berkurang.”Suara kamu bagus, Put.” Sebuah suara yang sudah dikenalnya tiba-tiba terdengar sangat dekat di telinga Putri Ia mendongak dan tiba-tiba saja nyanyian Putri langsung terhenti begitu melihat sosok Dewa yang tinggi tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
“Eh, Dew.Ngagetin aja.nggak, suaraku biasa aja, kok.Kamu nggak ikut nyanyi?” Putri menggeser duduknya sedikit, membiarkan Dewa duduk di sampingnya.”Nggak.Suaraku jelek, nanti mereka pingsan semua.” Dewa tertawa. Putri diam-diam mengamati figur cowok idamannya ini.Hidung yang mancung, alis yang tebal, senyum yang kekanak-kanakan…
“Put, kok nggak ngelanjutin nyanyi? Gue ganggu elo, ya, kalo disini?” Putri tergeragap.”Ah, nggak Dew, nggak apa-apa, kok.” Mereka berdua terdiam.”Anto jago banget main gitarnya, ya?” Putri berusaha membuka percakapan.Anto sudah memetik gitarnya lagi dan memainkan lagu lain.Tanpa terasa Putri menggerak-gerakkan kakinya mengikuti irama lagu itu.”Iya.Kamu suka cowok yang bisa main gitar?” Dewa menatap mata Putri dalam-dalam, membuat bibir gadis itu seperti terkunci dan sulit bicara.
“Nggak harus bisa, sih.Tapi…sebenernya aku pengen ada orang yang nembak aku sambil main gitar, dan nyanyiin love song buatku.” Wajah Putri memerah, ia baru sadar telah bicara terlalu terus terang pada Dewa.”Beneran? Wah, kamu romantis juga, ya?”
Putri tertawa, ketegangannya mencair seketika.Putri dan Dewa mengobrol lagi tanpa menyadari ada sepasang mata yang berkilat-kilat penuh amarah melihat keakraban mereka.
“Lo jangan macem-macem ya Put!” Mata Nina berkilat-kilat penuh amarah saat mereka ada di kamar tidur malam itu. “Macem-macem gimana?” Putri berusaha tetap tenang, walaupun darahnya sudah mendidih melihat tingkah laku Nina. “Jangan berlagak bego, lo! Lo ngobrol apa aja sama Dewa kemarin?” Suara Nina meninggi.”Nggak ngobrol apa-apa, cuma soal musik, kok.”
Nina menghela nafas kesal.”Beneran, lo nggak ngomongin yang lain lagi?” Suara Nina masih penuh kecurigaan, tapi nadanya mulai melunak.”Nggak, kalo lo nggak percaya lo boleh tanya Dewa.” Nina beranjak pergi ketika melihat Widya dan Rena yang berjalan mendekati mereka.Wajahnya yang cantik masih cemberut.
“Ada apa, Put?” Rena mendekati sahabatnya dengan mata terpicing.Ia tahu pasti maksud Nina tadi bukan untuk beramah tamah atau mengobrol dengan Putri.”Biasalah, apa lagi yang bisa bikin Nina kayak gitu?” Putri memakai sandalnya, lalu berdiri dan berjalan di atas halaman rumput yang tertata rapi, membiarkan Widya dan Rena tergesa-gesa bangkit untuk mengikutinya.
“Soal Dewa lagi?” “Iya, Wid, kayaknya dia sewot banget sama gue gara-gara gue ngobrol sama Dewa kemarin malam.” “Gue juga ngeliat elo ngobrol sama Dewa, ngomongin apa aja sih, Put?” Rena bertanya dengan penasaran. Putri mengangkat bahu.”Nggak ngomongin apa-apa, cuma soal musik.” “Biarpun nggak ngobrolin apa-apa itu kan kemajuan, Put?” “Iya sih, tapi nggak ada pengaruhnya, gue yakin dia tetep suka sama Nina.” Putri menunduk, wajahnya sedih.
”Ah, udahlah Put! Nggak ada gunanya elo sedih gitu. Kita makan, yuk! Baru beres-beres buat pulang.”Widya berusaha menghibur sahabatnya.Putri mengangguk dan meneruskan langkah ke muka depan vila.Matanya sempat mencuri pandang ke arah Dewa yang asyik bermain catur di pondok kecil bersama teman-temannya.
“Put, jangan bengong aja, dong.” Rena menyodorkan sekaleng jus jeruk ke Putri.”Mau minum?” “Nggak Ren, makasih. Gue nggak haus.”Rena mengangkat bahu, lalu meminum jus itu sendiri.Putri melemparkan pandangan ke luar jendela, berpura-pura asyik menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan.
Suasana bus itu ramai sekali. Beberapa anak memainkan gitar yang mereka bawa, sebagian bernyanyi, dan ada yang menyumpal kuping dengan walkman atau discman yang dibawa dari rumah. Putri termenung sedari tadi, menyumpal kupingnya dengan walkman, tapi tidak mendengarkan satu lagu pun.Ah, sedih sekali rasanya. Setelah ini ia pasti jarang sekali bertemu dengan Dewa karena mereka tidak sekelas.
“Teman-teman, dengerin nih.Dewa mau nyanyi sebuah lagu, yang dipersembahkan buat pujaan hatinya!” Roni si badut kelas sibuk mengoceh. Dewa yang ada di sampingnya tersenyum-senyum, membiarkan Roni berteriak-teriak.
“Yang pake walkman, pake discman, lepas dulu.Rugi lho kalo nggak dengerin!” Sekali lagi Roni berteriak. Rena menarik lepas earphone dari telinga Putri.”Ada apa, Ren?” Putri mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu.”Lepas dulu walkman lo! Dewa mau nyanyi!” “Ah, masa?” Putri cepat-cepat melepas earphonenya.
Dewa tersenyum.”Lagu ini, gue persembahkan untuk seseorang yang sebenarnya sudah lama gue sayangi, tapi gue nggak tahu dengan cara apa gue bisa menyatakan perasaan gue, dan tiba-tiba, tanpa gue minta dia udah ngasih jawabannya ke gue.” Dewa memetik gitarnya dan mulai bernyanyi, tiba-tiba saja suasana hening.Hanya terdengar suara berat Dewa yang melantunkan lagu cinta favorit Putri.
“Untuk orang yang sangat gue sayangi, Pramudita Saputri.” Dewa menyudahi permainannya dengan satu kalimat itu.Seluruh penumpang bus bertepuk riuh.Wajah Putri langsung memerah. Tiba-tiba saja liburan kali ini terasa begitu berkesan baginya.

Monday, August 21, 2006

Masalah Semesta


Masalah Semesta

Mari kita berbicara di ruangan ini
Tentang caramu membagikan cinta
Rasanya hujan pun ingin ikut mendengar
Menghentikan rintiknya barang sejenak

Waktu telah berhenti berlari
Sekali lagi untuk mengomentari tuturmu yang lugu
Hingga nafas kita terdengar jelas
Mengisi kehampaan yang tertinggal

Manusia pun turut berebut
Menanggalkan telinga-telinga mereka
Menempelkannya di dinding sekitar kita
Berharap menangkap setiap kata


Cepatlah mulai bicara
Paparkan segala rahasia
Masalah terpelik semesta
Bagaimana membagikan cinta?

Pada Sebuah Negeri yang Kami Sebut Cinta


Pada Sebuah Negeri yang Kami Sebut Cinta

Biarkan hujan terus menebas
Menghapus tangis kami yang keras
Dan jadilah saksi bagi air dan tanahmu yang mengamuk ganas
Hingga harap pun terhempas

Betapa ingin kaki terus berpijak di bumimuDengan doa tak terputus
Berpegang teguh pada imaji
Pertiwi masih sanggup bernyanyi

Akankah kembali ada cerita didengungkan tentangmu di suatu masa?
Dan dialog-dialog lautmu yang rindu tawa
Kejayaan dahulu bergaung memias
Sudahkah luluh lantak tak berbekas?

Tapi yakinlah
Guncangan saja takkan pernah cukup keras
Bagi kita manusia-manusia bebas
Melukis puisi, menggurat melodi
Pada sebuah negeri yang terus ingin kami sebut cinta
Yang ingin kami sebut cinta
:Indonesia

Saturday, June 10, 2006

Diam dan Sunyi

Pada diam dan sunyi
Yang lembut merangkai gelap dan dengki
Hujan pagi
Mungkin lemah bergoyang bunga gerigi

Pada jendela
Dan mata yang puasa harap
Derak-derak kayu
Masih adakah sang kaisar waktu?

Pada nafas di kerongkongan
Dan diafragma tertahan
Mungkin tidak, mungkin tidak
Kali ini rumah cuaca mengerang
Kuasa terbuang
Dan entahlah sunyi, mungkin kuhadiahkan petang

Best,
Adilla

Sunday, April 09, 2006

Peri Hujan


Peri Hujan

Ada kuda Troya terbenam dalam lumpur yang menyala
Dan Helena hanya tertawa, karena pedang dan darah adalah euforia tertunda
Pertaruhan langit, pada sebuah kata yang hanya mengawang
Kenapa Athena tak jadi bertandang?

Kalau saja kau tak terlahir dengan kaki itu
Namamu abadikah dalam puri-puri terasing peradaban?
Nyanyian pujaan ini tak terdengar
Adonis Echea menyanyi bayangan lembut danau

Peri hujan tak kenal semua
Bahasa bintang, seperti busur di kaki Kurusetra
Pasir waktu yang tak sempat terhitung
Hingga ia memainkan harpa
Dan kali ini, hujan tak pernah sempat bermakna

Thursday, March 16, 2006

Poem 8


Ini pada Waktu

Padamu yang begitu mencintai waktu
Datanglah ke laut lepas
Dan kita bicara bahasa bintang
yang tak terbantahkan hingga Beruang Besar menghilang

Seperti ini hutan yang hijau meleleh
Musim-musim tenggelam
Ada yang tak henti memaki air hingga pucat
Bisa terdengarkah dzikir dari terompet kerang dan parau ilalang?

Jauh gaung macapat dibacakan terjerat
Ingin ditemukan sebuah batu yang menari pada kodrat
Kembali,kembali, kisah Bima dari laut lepas, cepat mendarat
Mungkin saja senja terakhir sudah dekat!
Dan tinggal,sekarat

Tuesday, March 07, 2006

Short Story 3


Destarata

Destarata berjalan-jalan di taman Kadileleng pagi itu. Mentari masih tersenyum tipis, belum berani mengumbar tawa lebarnya. Kaki berbalut alas kaki kebesaran itu melangkah mantap. Ia terlalu hafal setiap sudut taman itu untuk bisa terjatuh ke dalam kolam bening yang memantulkan gerak manja pepohonan dan nyanyi bunga melambai-lambai. Benar, ia melintasinya dengan mata tertutup. Karena memang itulah yang bisa ia lakukan. Melintasinya dengan mata tertutup.

Destarata tidak tahu seperti apa bunga itu. Ia merabanya, mencoba mencicipinya dengan sensor halus di ujung jemarinya sedari remaja. Tapi jenis-jenis bunga begitu banyak, begitu sulit dilukiskan. Itulah yang dulu dikatakan saudara-saudaranya saat mereka masih senang bermain-main di taman ini. Pandu biasa membawakan bunga-bunga ke hadapannya, sementara Widura dengan setia menyebutkan namanya saat ia mengelus bunga-bunga itu.

Destarata selalu menemui kesulitan menghafalkan nama bunga. Tidak seperti saat ia memegang dedaunan, atau mengelus kuda-kuda istana mereka. Tidak. Ia tidak pernah bisa mengingat bentuk bunga-bunga itu dengan jemarinya. Tidak juga bisa mengingat wangi yang tercium dari bunga-bunga itu.

Mungkin karena dahulu ia sadar akan terus hidup dalam kegelapan dan kesunyian yang syahdu tanpa kehadiran sebuah bungapun sebagai lilin penerang dunianya. Destarata ternyata salah. Ia telah memetik bunganya sendiri. Putri Palasajenar bernama Gendari yang dipilihnya kala itu. Tidak, putri itu adalah hadiah Pandu untuknya. Pandu yang malang, yang memiliki segalanya tapi harus mengakhiri hidupnya dalam waktu singkat. Destarata menghela nafas. Sejenak melangkah menuju bangku panjang megah di taman itu. Bukan, ia tidak lelah karena berjalan. Mengenang masa lalu selalu menguras habis tenaganya. Ia tidak tahu mengapa ia selalu terperangkap dalam segala kesedihan yang memerangkap dan melelahkan saat ia terkenang masa lalunya.

Apakah yang bisa disesali? Mengapa dunia berharap terlalu banyak pada orang buta seperti dirinya? Haruskah ia menjadi ayah dari 99 putra yang kelak harus dimusnahkan dari muka bumi? Destarata tidak tahu apakah ia harus mengutuki hari dimana ia menikahi Gendari. Apakah takdir akan berubah jika ia membujang seumur hidupnya? Akankah dunia berharap banyak dari dirinya?

Ia tidak haus kekuasaan. Baginya kekuasaan adalah bau anyir darah, perasaan dingin seperti tertampar angin pagi yang tak pernah menyenangkan. Kekuasaan juga adalah nada suara Gendari yang dingin dan kata-katanya yang menyakitkan saat ia sedang marah. Kekuasaan adalah siksaan.

Destarata bahagia tanpa kekuasaan. Satu-satunya kekuasaan yang ia miliki adalah atas ilmu-ilmunya. Ia menguasai banyak ilmu. Entahlah, ilmu itu akan berguna atau tidak. Widura selalu mendesaknya mempelajari berbagai macam hal, yang ia sendiri tidak tahu apa gunanya. Tapi memang tidak ada kebahagiaan yang melebihi kesenangannya mempelajari sesuatu, mendengar Widura membacakan buku untuknya seperti membacakan dongeng sebelum tidur. Betapa ia melahap semuanya dengan kelaparan ilmu yang mencengangkan.

Destarata bangkit dari duduknya. Ia sudah tidak berminat melanjutkan lamunan. Dilangkahkannya kaki tua itu sepenuh hati menuju kolam ikan. Destarata bisa mendengar gemericik air dan kebahagiaan yang meluap dari makhluk hidup di sekitarnya. Kebahagiaan sederhana yang ia tahu takkan pernah bisa ia capai. Destarata mendesah sedih. Hidup terlalu penuh rasa untuk mengijinkannya mencicipi rasa bahagia itu.

Duryudana sudah keterlaluan. Bentakan-bentakan anaknya kembali terngiang. Destarata dahulu begitu bahagia memiliki seratus anak, jumlah yang ia sendiri pun tidak tahu darimana datangnya. Kebahagiaan Gendari tak terkira. Destarata ingat hari-hari itu, ketika ia bisa mendengar Gendari tersenyum, mendengar langkah-langkah dan tawanya yang ceria. Kerepotan mengurus bayi pun takkan terasa. Emban-emban setia selalu siap mengabdi, mengurus segalanya.

Cinta Destarata sedemikian besar, meluap tanpa disadarinya. Gendari mulai merajuk manja, meminta ini itu demi anak-anaknya. Destarata hanya mengangguk. Kebahagiaan putra-putra yang hanya bisa ia dengar tangisnya itu adalah yang utama.
Permintaan Gendari semakin lama semakin bertambah. Destarata tidak peduli seberapa banyak pakaian dan perhiasan indah yang ia minta untuk anak-anaknya maupun untuk dirinya sendiri.Tak terhitung seberapa banyak alat permainan dari emas yang diberikan untuk anak-anaknya. Tak terhitung. Gendari tak pernah puas. Anak-anaknya tak pernah puas.

Waktu kan menjawab. Dan semuanya terjadi begitu saja. Destarata sangat mencintai almarhum Pandu sehingga ia sama sekali tidak keberatan dengan tanggung jawab menanggung kehidupan janda dan anak-anak Pandu. Lagipula Widura selalu siap sedia mengulurkan bantuan. Anak-anak Pandu tumbuh besar tanpa ayah, mencicipi kehidupan yang teduh dan sederhana sebagai seorang bangsawan. Tidak, mereka tidak kekurangan. Hanya Kunti tidak pernah meminta lebih dari apa yang Destarata berikan. Walaupun tahta Hastinapura adalah hak suaminya, walaupun mungkin anak-anaknya berhak meminta dua kali jatah para putra Destarata.

Dan rasa iri itu timbul. Entahlah. Sejak dahulu Destarata selalu merasa iri pada Pandu, rasa iri yang tak pernah sedikitpun melunturkan kasih sayangnya pada adiknya. Tidak. Destarata bisa merasakan cinta dan rasa hormat Pandu melalui setiap pori-pori kulitnya. Tidak ada alasan baginya untuk membenci Pandu.

Tapi rasa iri ini jauh lebih berbahaya, jauh lebih menyakitkan, dan jauh lebih merusak seperti kekuatan air dam pada dasarnya. Terlihat begitu tenang, tetapi siap menjebol kapan saja. Destarata tidak tahu kapan rasa iri itu muncul. Apakah rasa iri itu meniup-niup dan terbang dibawa angin nakal dan menelusup serta membakar hati anak-anaknya?
Mengerikan!

Tidak ada tingkah laku Pandawa, putra-putra Pandu yang benar di mata mereka. Duryudana selalu dengan lagak sok kuasanya memerintah adik-adiknya mengganggu sepupu mereka, dan kembali dengan rengekan pada ibunya setiap kekalahan menghampiri mereka dalam setiap permainan. Gendari tidak pernah banyak bicara, tapi Destarata bisa merasakan betapa hawa panas kebencian menyala di sekeliling tubuh wanita itu setiap kali Duryudana atau adik-adiknya mengadu. Dan betapa Destarata mendengar bibir wanita itu merapal sumpah serapah berkepanjangan. Kemenangan adalah nama Gendari yang sesungguhnya. Kemenangan yang harus anak-anaknya capai untuk membalas semua kekalahan yang ia alami dalam hidup.

Bagi Gendari, menikah dengan Destarata adalah kekalahannya pada dunia yang terbesar. Menjadi permaisuri raja agung, dengan segala kebutuhan terpenuhi, tapi rasa takut akan kehilangan segalanya memenuhi setiap detik hidupnya. Betapa tahta dan kekuasaan Destarata sangatlah rapuh! Setiap detik hidupnya, Gendari memikirkan bagaimana ia bisa mempertahankan kekuasaan itu. Pemimpin Hastinapura bukan Destarata, pemimpin Hastinapura adalah Gendari. Suara rakyat adalah suara Gendari, suara rengekan, rayuan, bahkan bentakan dan kemarahannya.

Destarata masih terpaku, membiarkan angin membantunya mengingat dan memutar semua kejadian yang ia cicipi dengan ketajaman 4 indranya. Bale sigala-gala, perebutan Drupadi, perebutan segenap putri-putri lain yang akhirnya menjadi istri-istri Pandawa. Bisakah ia menyalahkan putra-putranya? Cukupkah kekalahan membuat dendam itu membusuk dan tak sanggup lagi terpendam lama?

Dan Bharatayudha sebentar lagi berkobar. Tubuh Destarata bergetar setiap kali nama itu disebut! Bukankah itu adalah rahasia umum? Ketika semua cinta menjadi kebencian dan kebencian menjadi cinta yang melahirkan aliansi? Berapakah korban dari pihaknya? Akankah telinganya sanggup mendengar rintihan wanita yang menjadi janda karena perang dan tangisan anak-anak yang menjadi yatim?
Akankah ia sanggup mendengar kutukan-kutukan para dewa yang ditujukan pada anak-anaknya menggema di sepanjang Kurusetra dan terus membelah bumi hingga semua penghuni dunia tahu?

Dan ia, bertingkah seperti pelaku pencatat sejarah, akan duduk di istana yang begitu sunyi. Para dayang akan sibuk melayani, meyakinkan bahwa ia tidak kekurangan suatu apapun. Sementara matanya akan sangat gelisah karena tidak bisa menyaksikan kesedihan dan air mata yang mengalir di pipi dayang-dayang yang akan kehilangan suami dan anak-anak mereka! Inilah saat dimana Destarata menyesali kekurangannya.

Apa yang dunia harapkan dari seorang lelaki pencatat sejarah yang tak sanggup menyaksikan sejarah? Apalagi sejarah yang akan menorehkan segurat garis gelap nan dalam dalam catatan hidupnya sendiri? Apakah dunia memang ingin membutakan sejarah itu? Atau ingin membunuhnya perlahan-lahan karena kesedihan dan penyesalan?

Destarata menengadah, merasakan angin menerpa wajahnya perlahan-lahan, menghiburnya. Tidak ada setetes air matapun yang boleh jatuh di pipi seorang raja agung karena itu adalah kesedihan bumi. Bunga-bunga akan layu dan langit akan menangis tak berkesudahan. Dan bencana akan terjadi, cepat atau lambat.

Destarata kembali mengorek segala ingatan yang terpatri di benaknya dalam bentuk suara, bentuk, dan aroma tertentu. Apakah ia masih ingat seperti apakah darah itu? Pandu pernah jatuh dan terluka saat berkuda hingga kakinya berdarah. Destarata tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang diderita Pandu mengirim getaran sakit yang sama kepadanya. Ia bisa merasakan bagaimana Pandu meringis, menahan sakit dan mencoba bangkit perlahan.

Tapi tidak ada sakit yang ditahan dalam peperangan. Dalam peperangan hanya ada menang dan hidup, kalah dan mati. Rasa sakit hanyalah milik mereka yang ditinggalkan. Rasa sakit hanyalah milik mereka yang kehilangan. Dan mereka yang mendapat kemenangan, sudah mendapat ganti dari segala pertaruhan yang mereka berikan sebelumnya. Kemenangan! Sebuah kata yang sanggup meletupkan semangat, membuncahkan angan, dan menyulut tenaga seribu kuda dalam manusia.

Tapi tangis itu…Destarata percaya, kebalikan dari cinta adalah rasa takut, bukan kebencian. Rasa takut akan kehilangan tahta dan segala kenikmatan duniawilah yang membuat Gendari lupa diri. Rasa takut akan dikalahkanlah yang membuat Duryudana gelap mata dan mencelakakan para Pandawa.

Betapa indahnya jiwa yang tenang, yang bahagia dan bebas dari rasa takut dan sisa-sisa kebencian yang meradang. Betapa…Destarata mengusap kedua belah matanya yang terpejam. Kenangan itu datang lagi…Begitu mencekam, membuatnya ingin membutakan seluruh inderanya dan kembali, menghadap Pencipta yang telah begitu bermurah hati pada dirinya yang hina.

Tapi lelaki pencatat sejarah seperti dirinya tak pernah boleh menyerah. Tak pernah boleh…Hingga sejarah tak lagi berputar. Ia tetap hidup. Hidup dari mulut ke mulut orang yang bercerita, hidup dari kisah yang didongengkan dan dibisikkan perlahan-lahan. Hidup…Dan begitulah ia terus hidup.