Keterangan: Sukasrana adalah adik Patih Sumantri yang terbunuh oleh kakaknya sendiri, karena ia menolak untuk pulang ke padepokannya. Sukasrana telah membantu Sumantri melaksanakan perintah Arjuna Sasrabahu untuk memindahkan taman, tetapi Sumantri khawatir jika Sukasrana menunjukkan dirinya ke Prabu Arjuna Sasrabahu, karena fisik Sukasrana yang menyerupai raksasa kecil. Karena itulah Sumantri meminta Sukasrana pulang dan menakut-nakutinya dengan panah, yang pada akhirnya terlepas dan mengenai Sukasrana.
Sukasrana
Rasa bersalah atau berdosakah yang ada di mata Kakang saat ini? Tolong berhentilah menangis karena tangisan seorang patih agung sepertimu akan mematikan bunga-bunga dan mengeringkan lautan. Sudah, berhentilah. Tidak ada artinya panah ini memanggang tubuhku yang sudah tersia-sia bahkan sedari aku dilahirkan. Tidak ada.
Mungkin saja begitu aku pergi tak ada yang merawat ayah kita. Akan pulangkah engkau ke pedepokan tempat kita dulu bermain,begitu bebasnya? Kalau saja masa itu bisa terulang. Tak perlulah kau kembali menggendongku saat kita lelah bermain. Tak perlulah kau kembali memandikanku dan menyiapkan makanan untuk kita berdua. Kalau saja…kalau saja kita bisa mengulang saat-saat itu, aku akan menunjukkan padamu bahwa kini aku telah bisa memasak sendiri, memasak pula untuk ayah kita. Kau pasti tersenyum bangga.
Ya, kalau saja tubuh kaku yang kini kulihat bisa bergerak kembali. Aku begitu rindu padamu Kakang Sumantri! Tak dapat kuukur kebahagiaanku saat tersiar kabar bahwa kau telah menjadi patih agung Prabu Arjunasasrabahu, raja agung itu. Kebahagiaan kakang jauh lebih berharga daripada kebahagiaanku.
Kakang, malukah kakang terhadap orang lain karena aku adik Kakang? Kadang aku ingin menyalahkan nasib mengapa aku begitu berbeda. Tapi Ayahanda berkata bahwa menyalahkan nasib sama dengan menyalahkan Gusti Allah ingkang maha kuwoso, benarkan Kakang?
Ayah dahulu akan mengelus kaki buruk rupaku, yang pendek, gemuk dan berbulu, dan mengatakan bahwa kakiku indah, karena aku bisa menggunakannya untuk berjalan, meskipun setiap kali aku berjalan bersama Kakang aku harus berlari karena kaki Kakang jauh lebih panjang dari kakiku. Betapa inginnya aku berlari secepat macan kumbang penghuni hutan dekat padepokan itu, Kakang! Supaya aku tidak pernah lagi kalah darimu setiap saat kita berlomba lari. Tapi walaupun aku kalah, aku tetap bahagia, karena Kakang akan menggendongku yang kelelahan di punggung Kakang yang lebar dan kuat, dan aku akan tertidur sepanjang perjalanan kembali ke padepokan.
Bagaimana kabar danau yang kaubilang bisa memetakan semesta itu, Kakang? Masihkah kejernihan airnya mengalahkan kebeningan matamu, seperti yang kau bilang? Aku tidak setuju, karena aku tidak pernah melihat jawaban-jawaban dari pertanyaanku setiap kali aku berkaca di danau. Tidak seperti setiap aku berkaca di mata Kakang. Karena kejujuran dan kasih sayang Kakanglah yang membuat sepasang kaca itu bersinar sedemikian indahnya.
Setiap kali aku menatap bayanganku di atas danau, aku hanya bisa bergidik. Tapi rasa penasaranku akan semesta yang kaulihat disana membuatku betah berlama-lama menatap bayanganku sendiri. Tapi tak pernah kulihat semesta disana. Dan itu satu-satunya pertanyaanku yang tak pernah kau jawab. Mungkinkah isinya seperti cupu manik astagina yang konon bisa memantulkan bayangan semesta dan seisinya?
Aku terlahir buruk rupa, Kakang. Tak sekalipun Kakang dan Ayahanda memperlakukan aku sekalipun aku sangat berbeda. Tapi, pantaskah manusia diperlakukan berbeda hanya karena penampilan mereka berbeda? Aku belajar dari Ayahanda, beribadah bersama-sama, dan akupun belajar ilmu kesaktian dari beliau. Banggakah kau padaku, Kakang?
Jagat ini sepertinya terlalu tua untuk memuaskan hatiku. Tak pernah, tak pernah kepuasan melecutku hingga ke ujung-ujung nadi. Setiap kali matahari berpamitan untuk tertidur, betapa ingin aku berlari, mencegah dan menangkapnya hingga ia akan berjanji untuk pergi tidur lebih larut keesokan hari, sehingga kita bisa terus bermain dan menjelajah.
Masih ingatkah kau akan sarang semut yang kita temukan di bawah pohon waktu itu? Betapa takjub dan terkesannya aku, karena betapa lubang kecil itu menyimpan ribuan nyawa yang jantungnya berdetak seirama, sibuk bekerja, tapi tanpa pernah lupa memuja penciptanya. Alangkah! Bagaimana Tuhan kita bisa mengingat semua makhluknya dan membagi rezeki-Nya untuk mereka? Aku tak pernah habis pikir. Kau hanya tersenyum dan mengajakku merapal doa, dan mensyukuri apa yang telah kita dapatkan hari itu. Pengalaman, pengalaman, pengalaman.
Aku bertanya tentang perang, Kakang. Tentang panah yang kaumiliki. Tentang tapa-tapa yang engkau jalani. Seperti apakah mematikan panca indera itu? Seperti apakah berdiam diri, menahan haus dan lapar, tanpa ada yang menemani? Bagaimana kau bisa bertahan tidak menyapa rembulan sekali saja dalam tiga puluh hari tapamu? Tak rindukah kau pada aku dan Ayahanda?
Untuk apakah senjata-senjata itu Kakang? Panah-panah itu, akan kau gunakan untuk apa? Janganlah ada tubuh tak berdosa terpanggang olehnya lagi seperti tubuhku, Kakang. Jangan. Karena darah mereka, darah mereka yang membasahi bumi akan berwarna merah, dan membuat kesedihanku tak terkirakan. Berjanjilah padaku untuk tidak menggunakannya lagi. Aku mohon.
Aku begitu larut dalam kesedihan saat Kakang tak ada. Ayahanda menenangkanku, mengatakan bahwa Kakang akan jauh lebih bahagia jika Kakang pergi. Bahagiakah Kakang? Sungguh-sungguh bahagiakah?
Maafkan aku yang menyangsikan kebahagiaan Kakang, tapi sungguh, bagiku Kakang hanya akan bahagia jika kita dan Ayahanda berkumpul bersama. Bukankah darah selalu dan akan selalu lebih kental dari air? Aku hanya segumpal daging dan darah yang tak pernah sanggup dipisahkan dari darah dan daging yang sama di tubuhmu. Maka akupun pergi menyusulmu, Kakang. Aku minta maaf. Sungguh.
Seperti menemukan harta karun di ujung pelangi saat melihatmu, Kakang. Apalagi kau begitu bahagia dalam baju kebesaranmu itu. Patih agung dari seorang raja agung! Apalagi yang bisa aku harapkan dan doakan untukmu? Dan kau begitu bertanggung jawab melaksanakan tugasmu, apapun yang dititahkan Prabu Arjuna Sasrabahu. Alangkah percayanya Kanjeng Prabu pada dirimu, Kakang! Dan betapa bahagianya aku saat kau meminta bantuanku. Hanya saat ini aku bisa begitu berarti bagimu. Kau tak akan pernah tahu betapa besar kebahagiaanku karena aku bisa membantumu sekali ini saja.
Berhentilah menangis Kakang, berhentilah. Aku masih ingin bercerita, masih ingin bercerita walaupun kau sudah tak bisa lagi mendengarku. Izinkan aku bercerita, karena aku ingin menghisap sisa-sisa kebahagiaan dari persaudaraan kita, Kakang. Membiarkan kebahagiaan itu mengawang selamanya di udara, abadi bersama kicauan burung dan hembusan angin, terpatri pada bisikan lembut dedaunan.
Apa yang bisa membuatmu berhenti menangis, Kakang? Aku ingin sekali menceritakan dongeng yang dulu sering dikisahkan Ayahanda setiap kali aku menangis saat menerima ejekan karena wajahku yang buruk rupa ini. Aku ingin membelaimu dengan penuh kasih sayang seperti yang sering kau lakukan setiap kali kita akan pergi tidur. Tapi aku tak sanggup sekarang. Aku tak sanggup.
Kesatria sejati, apakah kesatria sejati itu? Apakah Dharma kesatria itu Kakang? Benarkah membunuh, apapun alasannya adalah juga dharma kesatria? Aku tidak ingin menjadi kesatria jika harus membunuh, Kakang. Dunia ini telah cukup kacau tanpa aku menambah kekacauan di dalamnya lagi. Mari kita pergi ke duniaku yang tenang, yang hanya berisi kita, danau itu, dan juga hutan padepokan.
Waktu seakan berhenti disana, Kakang. Kita takkan pernah menua dan tak pernah tertahan usia untuk melakukan apa yang kita suka. Aku bisa berguling-gulingan, berteriak-teriak dan tertawa lepas seperti yang sering kulakukan dahulu. Kau bisa berlarian, menyelam dan berenang disana. Seperti yang selalu kaulakukan dulu.
Dan kita juga bisa meminta matahari terbit untuk menampakkan senyum lebarnya disana, seperti yang kau suka setiap harinya. Aku lebih menyukainya saat ia telah lelah dan ingin pergi tidur, walaupun itu berarti kita pun harus undur diri dan berisitirahat. Tapi dahulu kau mengatakan bahwa kau lebih suka melihatnya saat masih segar dan hari masih muda, sehingga kau teringat bahwa kita akan memulai hari ini dengan harapan baru yang sama, dan selalu lebih baik dari harapan-harapan lampau.
Penciptaan akan selalu berjalan, seperti perputaran bumi tempat kita berpijak yang tiada hentinya ini. Aku bertanya apalagikah yang akan terjadi selagi aku menutup mata dan menunggu saat pengadilan teradil tiba? Bisakah langit tak lagi biru dan udara tak lagi sejernih ini? Aku takut dan kesepian bila aku sendirian disini, Kakang. Siapakah yang bisa menjamin gunung tak terbalik dan laut tak tumpah nantinya? Bumi gonjang ganjing, langit kelap-kelip…Dunia ini sudah terlalu tua untuk kita, Kakang.
Benarkah wanita dan tahta akan menjadi sumber kekacauan setelah zaman kita berakhir Kakang? Seberapa banyakkah yang harus dipertaruhkan untuk menjelaskan kebenaran dan menyatakan mana hak milik kita yang terebut dan terbengkalai? Kebenaran, apakah kebenaran itu? Haruskah kau mengorbankan hidupmu dan hidup manusia lain untuk sesuatu bernama ‘kebenaran’ yang bahkan tak pernah sanggup kau jelaskan maknanya?
Kesepiankahkah yang kini ada di matamu, Kakang? Aku akan menjemputmu, dan Kakang tak akan pernah kesepian lagi. Kita akan selalu bersama, dan bergandengan tangan menuju pintu langit menghadap Sang Kuasa. Semoga Kakang sanggup menungguku hingga saat itu tiba.
Reinkarnasi itu akan terjadi, seperti sejarah yang tak terelakkan.Jangan pernah menolakku lagi, Kakang. Karena darah dan daging yang dititipkan pada Ayahanda kita seyogyanya adalah satu. Kau akan mengenaliku dari putih darahku, dan aku akan mengenalimu dari putih dan keteguhan hatimu, Kakang. Jangan menangis, sungguh jangan menangis.