TIRAMISU
Semuanya selalu sama. Rasa yang begitu lezat, dan adonan yang lumer dan lembut di lidah. Semuanya terbungkus lembut. Dan Raina terbuai.
Selalu sama. Kafe yang sama. Tempat duduk di sudut yang sama. Percakapan yang berbeda. Tapi tumpukan kertas di hadapannya seolah tak perduli. Mereka mencampur semuanya, meramu semuanya. Mencampur segala kata sifat yang ada di dunia ini dan mencampurkannya seperti garam di lautan.
Tua, muda. Kenapa kedua kata sifat itu seolah bukan hanya bertentangan, tetapi juga mencerminkan dua sisi yang berlainan? Mengapa semua orang mengucapkan kata “tua” dengan rasa jijik, takut, dan antisipasi yang berlebihan? Mengapa wajah mereka memucat, seolah tengah melihat sendiri lubang kuburan mereka digali? Tak bisakah kata “tua” dan “muda” diucapkan seolah mengucapkan kata merah dan hijau? Tanpa ada tendensi dan makna terselubung di baliknya?
Dan Raina kembali tersenyum. Menggoyangkan pena di balik kedua jemarinya, mencoba menerka apalagi yang akan ia tulis di helaian kertas di hadapannya. Hidup. Tentu, tidak ada yang lebih bernyawa dan menginspirasi dari hidup itu sendiri. Bahkan lebih dari cinta yang diagung-agungkan banyak orang sebagai sumber inspirasi terbesar. Bukankah cinta itu sendiri adalah hadiah dari kehidupan?
Kening Raina berkerut. Pandangannya kembali terlempar pada sosok-sosok di sekitarnya, yang menghirup kopi atau cairan apapun yang ada di gelas mereka dengan kepuasan tersendiri. Seorang lelaki duduk tepat di hadapannya, pakaiannya sedikit lusuh, tapi raut wajahnya bersinar ketika ia membolak-balik koran di hadapannya. Kebahagiaan itu! Manusia macam apa sekarang, yang bisa begitu bahagia hanya dengan menikmati secangkir kopi, di udara yang membekuka tulang seperti ini?
Manusia yang tahu cara mensyukuri hidup. Raina memutuskan. Dan kembali tertunduk mencoretkan sesuatu di atas kertas. Bibirnya membentuk seutas senyuman. Jikalau aku bisa merekam adegan di hadapanku ini seperti seorang pelukis di hadapan kanvasnya! Raina iri, sangatlah iri karena ia perlu menggoreskan seribu kata sebelum akhirnya mampu menandingi kelancaran bahasa seorang pelukis di hadapan kanvasnya.
Raina begitu iri, sehingga pikirannya kacau saat itu. Dosis kafein yang ia tenggak sebelumnya tak pernah mampu meredakan kekalutan Raina seperti saat ini. Raina meremas kertas di hadapannya keras-keras. Selalu sama, selalu sama. Kejadian ini berulang lagi, hingga ia ingin berteriak begitu keras dan melupakan segalanya. Kecuali rasa tiramisu yang masih menari-nari di lidahnya.
Kenapa adonan di depannya ini bahkan bisa berbicara lebih banyak daripada kertas-kertas naskah ini? Bisa bercerita lebih banyak dari kerutan yang menghiasi wajah seseorang? Bukankah kerutan itu menandakan setiap peristiwa besar dalam kehidupan? Garis kegembiraan yang terbentuk setelah bertahun-tahun menjadi satu kerutan. Lalu ada garis tangis. Garis terkejut. Garis lengkung tanpa arti yang terbentuk karena keheranan. Itu saja. Tapi ia telah kalah berbicara.
Setiap ada di café ini, Raina selalu membandingkan dua hal. Kopi yang pahit dan tiramisu yang manis menggigit. Taplak meja yang bersih dan serbet yang telah kotor. Kakinya yang bersepatu hak tinggi dan pengemis telanjang kaki di luar. Lembaran uang di meja yang pastinya cukup untuk hidup pengemis itu di luar dan recehan di kaleng di hadapan pengemis itu. Tempat orang yang sedikit bermurah hati menafkahkan rezekinya.
Lucu begitu rasa dan aroma yang selama ini diacuhkan banyak orang bisa menjadi alat pengenang masa lalu. Mereka seperti menyekap dan membelenggu seseorang, memkasanya menoleh ke masa lalu yang ingin dikubur dalam-dalam oleh orang yang bersangkutan. Mereka seperti hantu yang berwujud, diam-diam mencengkeram dari belakang.
Raina menghirup kopinya. Entah syaraf-syaraf apa yang dihidupkan oleh kopi ini ketika ia tersentakkan dan dipaksa bangun untuk merangkai jaring-jaring kehidupan di atas kertasnya. Raina tidak melukis. Ia merangkai dan memutus jaring-jaring kehidupan, membingkai dan menempelkan di tempat yang dirasa cocok.
Raina merasa bisa menjadi Tuhan dalam dunianya sendiri dengan menulis. Ia menuliskan nasibnya dalam versi lain, dengan boneka-boneka takdir tanpa daya yang akan menurut segala kehendaknya. Ia menjungkirkan fakta, membolak-balikkan kenyataan dan mengguncangnya sekaligus. Lalu ada tiramisu. Kue yang rasanya bagai ambrosia, minuman para dewa.
Raina mungkin perwujudan dari Prometheus, yang dihukum karena melanggar kekuasaannya sendiri. Prometheus yang terjebak dalam keabsurdan hidup, dalam ketragisan heroik. Apakah semua pahlawan yang tragis sebenarnya bodoh? Mungkin akan ada saatnya sebuah literatur Jawa akan mengatakan bahwa Kurawa sebenarnya pintar karena mereka mampu mengatur strategi untuk merebut sesuatu dan menjadikan hal itu milik mereka, dan bukannya nrimo tanpa perlawanan!
Ketragisan heroik dan hukum rimba yang setali tiga uang. Siapa yang bilang hukum rimba yang diterapkan di pergaulan manusia itu hanya ada di kota-kota besar, atau bahkan lebih spesifiknya, di Ibu Kota? Raina tersenyum sinis. Hukum rimba sudah ada saat manusia pertama kali diciptakan! Hukum rimba telah ada saat Qabil membunuh Habil. Saat jerapah berleher pendek tak mampu beradaptasi dan harus punah karena tak mampu menjangkau daun di pepohonan yang tinggi.
Mungkin pengemis di luar itu adalah hasil dari hukum rimba, seleksi alam tak kenal batas yang membuatnya tak kenal akan rasa manis dan lembut tiramisu ini. Mungkin rasa matahari dan hujan lebih meresap ke dalam tulang-tulangnya, sehingga senyuman kepuasan dan terima kasih itu bahkan terlihat lebih indah daripada senyuman lelaki setengah baya di hadapan Raina yang sedari tadi mengaduk-ngaduk kopi pekat dalam cangkirnya dengan ekspresi wajah orang yang bisa melihat dunia dan seisinya dengan cupu manik Astagina.
Raina ingin berlari keluar dan meminta pengemis itu bertutur, mungkin memintanya mencicipi sesuap tiramisu ini dan mendengar tawanya. Mungkin tawa pengemis itu akan terdengar merdu dan jernih seperti mata air yang telah menembus peradaban, yang bergema membius hutan-hutan dengan gemericikannya.
Raina ingin berbicara tentang patriotisme, tentang nasionalisme, tentang merah dan putih, tentang darah dan tulang, tentang tanah dan air dalam buku-bukunya. Ia ingin mengejawantahkan tawa pengemis yang tak kunjung terdengar, mendeskripsikan rasa tiramisu, menurunkan hujan di gurun yang selebat hujan di pegunungan. Kata-kata saja tak cukup. Kata-kata kadang menggagalkan Raina, menyeret ekspresi-ekspresi di sekelilingnya hingga ke titik terendah dan bukan melambungkannya ke titik zenith.
Inspirasi dan bukan sekedar sesuap nasi. Suatu pilihan yang sulit. Segala sesuatu yang bertabrakan kadang bisa berakibat seperti asteroid yang menimbulkan hujan meteor, meskipun dengan hasil tak seindah hujan meteor. Raina sudah memanfaatkan kesepuluh jarinya untuk mendapat apa yang ia inginkan sejauh yang ia ingat. Jika tidak, air mata adalah senjata pamungkasnya. Pada dasarnya manusia mungkin tidak pernah benar-benar tumbuh dari saat mereka bayi. Kepolosan tangisan bayi bahkan telah digugurkan oleh satu jenis tangisan lain dengan tujuan sama, mendapatkan apa yang diinginkan.
Masih adegan yang sama. Raina, tiramisu dan kopi. Bahkan juga adegan yang sama masih terulang, ketika sebuah suara yang memanggilnya untuk mengajak pulang kembali memutus hari itu, memutus kembali adegan-adegan yang tengah berkejaran.Adegan berisi Raina, tiramisu, dan kopi.