Saturday, October 06, 2007
Episode Kalibata
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
Chairil Anwar-Prajurit Jaga Malam
Pemandangan yang sama ditemui sejauh mata memandang. Kesepian yang syahdu, seperti menunggu seseorang yang akan datang sewaktu-waktu. Ya, kubur-kubur itu berjajar rapi, sepintas terlihat seragam dalam segalanya. Bila dilihat lebih dekat, ada beberapa yang tampak begitu terawat walaupun ahli kubur di dalamnya telah berpulang lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Ada juga yang ditumbuhi tanaman-tanaman ilalang, sedikit terbengkalai. Ada yang terlihat tak tersentuh sama sekali. Beberapa permukaannya masih terliputi bunga-bunga segar yang ditaburkan peziarah.
Peziarah-peziarah yang datang menanyakan lokasi kuburan tertentu pada pengurus-pengurus pemakaman itu. Dengan fasih para penjaga taman makam itu menunjukkan makam-makam tertentu milik sanak saudara mereka yang telah berpulang. Wajah-wajah sendu yang hadir saat berdoa itu cepat terhapus ketika telah saatnya meninggalkan tempat. Memang, tidak ada seorang pun yang menyukai tempat ini. Hanya waktulah yang nanti akan menyeret satu demi satu para peziarah nanti jika telah tiba waktunya.
Mengharukan sekaligus mengenaskan memang, ketika manusia lahir, kelahirannya disambut dengan sukacita dan mungkin perayaan dalam lingkungan keluarganya. Kemudian mengalami masa kana-kanak yang tak mengenal rasa susah, masa remaja yang mengombang-ambing seperti kapal yang tak bisa berlabuh tapi juga tak sanggup berlayar. Kedewasaan yang semakin menuntut dengan tanggung jawab yang tak terelakkan. Masa senja yang menggerogoti tulang belulang dan daging serta darah, tetapi tetap indah bagi mereka yang penuh hikmah. Ketika telah berkalang tanah, kadang mereka tersia-siakan, karena nama yang ditinggalkan mulai lekang oleh waktu.
Mungkin perjalanan seperti ini harus dilakukan setidaknya beberapa bulan sekali. Betapa ia mengajarkan manusia akan tempat kembalinya nanti, setidaknya mengundang bulu kuduk untuk berdiri. Kesunyian itu begitu wajar, tapi kadang menyesakkan. Mengingatkan pada yang hidup akan rapuhnya kehidupan itu, seperti sehelai kapas yang siap diterbangkan angin kemana saja, untuk selanjutnya menghilang dan tergantikan.
Mereka, pahlawan-pahlawan Kalibata, hanya sebagian kecil dalam suatu episode sejarah manusia yang kental dengan warna-warna berbeda. Banyak yang bahkan harus dikuburkan tanpa identitas lain kecuali makhluk penciptanya karena gugur dalam suatu peristiwa yang sulit dipertanggungjawabkan kejadiannya. Mereka, bagian dari manusia yang telah melewati paginya, menjemput senjanya dan merengkuh tenggelamnya matahari sebelum menutup mata.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil Anwar-Derai-derai Cemara
Hidup tidak selalu berarti kekalahan ataupun kemenangan. Ia adalah sebuah perlombaan sakral, yang keikutsertaan dan akhirnya telah ditandatangani sebelum setiap pesertanya hadir dan mulai berlomba. Kelahiran dan kematian, hanyalah kedipan dunia, suatu bagian dari proses alami semesta yang kehilangan kemudaannya sering dengan menuanya zaman.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar-Aku
Mari bersama-sama menanamkan jejak kebaikan dalam episode kehidupan kita masing-masing. Ya, sedikit saja tanda pada almanak, bahwa kita pernah ada, sebelum rebah diri di gurat nirwana.* Insya Allah :).
*Diambil dari puisi Milad
Dedicated to almarhum Yahya Abbas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment