Size 12 is not fat, Size 14 is not fat, either (both are the titles of Meg Cabot's novels)
Taken from here. Well, now if they could also lower the price of Mango, that would be cool :D.
Spain resizes clothes for women
Spain is to change its clothing sizes for women. This is part of a Government decision to prevent eating disorders in young girls and women. This report from Pascal Harter:
It's a source of frustration for customers and shop assistants alike that in Spain women tend to go into the changing rooms with an armful of different sizes never knowing which one will fit this time or whether any will fit at all.
But by 2008 those days could be over. Spain's biggest fashion retailers have bowed to Government pressure to standardise their sizes and reflect the real size of Spain's growing population. For the first time ever the National Consumer Institute will measure Spanish females -- more than eight thousand of them to be exact -- between the ages of twelve and seventy. Spanish fashion houses will then try to fit them, rather than the other way round.
They've also agreed to decorate their shop windows with slightly bigger manikins. The Ministry of Health described the current ones as unreal dolls of alien dimensions which it sees as directly encouraging eating disorders such as anorexia. The move is likely to affect women and girls all over the world as international brands such as Mango and Zara have signed up to the agreement.
Pascal Harter, BBC, Barcelona
Wednesday, January 31, 2007
Sunday, January 21, 2007
A Hero in You :)
Sincerest gratitude goes to Nyo and Puff :). Dan last but definitely not least, Larissa yang udah ngecekin dan komen. Thanks banget, Kak :).
Konsep Hero dan Anti-hero dalam Nasionalisme
“Manusia terbaik di Indonesia adalah seorang penjahat.”
Bagi penggemar film, terutama film Indonesia, tentu kalimat di atas tidak asing lagi. Ya, karena kalimat itu adalah sebuah “slogan” dari film 9 Naga, yang sempat menimbulkan permasalahan, karena jelas, bunyinya cukup mengundang kontroversi. Sebagian berpendapat, slogan itu akan menimbulkan kesan yang sangat buruk terhadap masyarakat Indonesia. Bayangkan saja! Bahkan manusia terbaiknya saja seorang penjahat, bagaimana dengan yang lain?
Pahlawan dan nasionalisme adalah dua hal yang sangat erat berkaitan. Tapi mengapa definisi nasionalisme terkesan begitu kabur dan abstrak? Pertanyaan yang paling mendasar dan selalu lahir bagi nasionalisme adalah definisi dari nasionalisme itu sendiri. Apakah menggunakan dan membeli produk dalam negeri adalah nasionalisme? Ataukah menonton dan menikmati tayangan produksi dalam negeri (yang sayangnya, merupakan hasil adaptasi berlebihan dan daur ulang dari berbagai drama luar, terutama Asia Timur)? Atau serentetan hal lain yang berbau ‘kepahlawanan’?
Di dalam setiap manusia ada seorang pahlawan yang menunggu saatnya beraksi. Dengan konsep seperti ini, rasanya tugas kita bukanlah mengisi kemerdekaan, seperti apa yang sering diajarkan selama kita masih berada di sekolah dasar. Semua dari kita adalah pahlawan, yang sedang berusaha menemukan kembali arti menjadi seorang manusia Indonesia, warga negara Indonesia.
Menjadi pahlawan adalah tetap bisa mengangkat kepala dan tersenyum ketika seorang pengajar menyebutkan betapa kondisi ekonomi semakin diperparah dengan bencana yang tak kunjung habis. Menjadi pahlawan adalah kepedulian. Menjadi pahlawan adalah berbagi senyuman, rasa kesatuan yang tak tersaingi. Menjadi pahlawan adalah kebanggaan. Menjadi pahlawan pada hakikatnya adalah menemukan pahlawan dalam diri masing-masing.
Masih tentang kebanggaan, seberapa banggakah kita dengan predikat bangsa Indonesia? Sebagian besar dari kita pernah mengalami masa-masa dimana menghafal beberapa pasal dari UUD 1945 adalah keharusan. Keharusan karena pasal-pasal itu nantinya akan diujiankan, ditanyakan bunyinya, dan harus ditulis setepat-tepatnya di atas kertas ujian.
Entah kenapa dari sejumlah pasal itu, tidak ada yang menjelaskan, mengapa kita harus bangga menjadi bangsa Indonesia. Apakah karena kebanggaan itu ssesuatu yang sedemikian abstrak dan sulit dideskripsikan? Saya tidak tahu. Bahkan setelah dewasa pun, sulit untuk menyadari, bahwa kecintaan memang seharusnya tumbuh pada bumi tempat kita dilahirkan, segala sesuatu yang tumbuh di atasnya, dan air yang kita minum.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Menghargai diri sendiri dengan berusaha sebaik mungkin, menanyakan lagi pada diri sendiri, apakah di saat (mungkin) segala sesuatu yang bisa dibanggakan telah lenyap, bisakah kita tetap bangga akan asal usul kita?
Right or wrong is my country. .
Peribahasa ini banyak digunakan oleh para pahlawan, yang semata-mata membela tanah air, karena itulah tempat dimana dia berasal. Jika ada suatu kesalahan, yang bersalah adalah masyarakatnya, bangsanya, bukan negaranya.
Adakah yang salah dengan Indonesia dan nasionalismenya? Mungkinkah negara yang dilahirkan oleh para pemikir besar, cendekiawan, dan nasionalis itu telah lelah dan jemu berdiri? Mungkinkah negara dimana pemuda-pemudinya pernah bersumpah untuk bersatu ini sudah tak sanggup lagi mempertahankan ikatannya?
Saya tidak menganggap luas wilayah Indonesia adalah suatu penghalang untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal ini kepentingan adalah kuncinya, karena begitu banyak kepentingan yang berbeda telah menjadi penghalang untuk bergerak ke arah yang sama. Begitu banyak perbedaan kepentingan telah menghilangkan warna abu-abu di antara putih dan hitam, sehingga yang ada adalah hero dan anti-hero, pahlawan dan bukan pahlawan (bisa dikatakan “penjahat”?).
Omne solum viro patria est. Every soil is a homeland for a hero.
Sebuah peribahasa latin yang menyejukkan, dan kembali mengingatkan kita, bahwa sangatlah “mudah” untuk menjadi seorang pahlawan. Tidaklah perlu mengangkat senjata seperti yang terjadi di masa silam. Menjadi pahlawan adalah belajar mendefinisikan pahlawan itu sendiri pada awalnya, dan percayalah, memulainya jauh lebih sulit daripada meneruskan.
Konsep Hero dan Anti-hero dalam Nasionalisme
“Manusia terbaik di Indonesia adalah seorang penjahat.”
Bagi penggemar film, terutama film Indonesia, tentu kalimat di atas tidak asing lagi. Ya, karena kalimat itu adalah sebuah “slogan” dari film 9 Naga, yang sempat menimbulkan permasalahan, karena jelas, bunyinya cukup mengundang kontroversi. Sebagian berpendapat, slogan itu akan menimbulkan kesan yang sangat buruk terhadap masyarakat Indonesia. Bayangkan saja! Bahkan manusia terbaiknya saja seorang penjahat, bagaimana dengan yang lain?
Pahlawan dan nasionalisme adalah dua hal yang sangat erat berkaitan. Tapi mengapa definisi nasionalisme terkesan begitu kabur dan abstrak? Pertanyaan yang paling mendasar dan selalu lahir bagi nasionalisme adalah definisi dari nasionalisme itu sendiri. Apakah menggunakan dan membeli produk dalam negeri adalah nasionalisme? Ataukah menonton dan menikmati tayangan produksi dalam negeri (yang sayangnya, merupakan hasil adaptasi berlebihan dan daur ulang dari berbagai drama luar, terutama Asia Timur)? Atau serentetan hal lain yang berbau ‘kepahlawanan’?
Di dalam setiap manusia ada seorang pahlawan yang menunggu saatnya beraksi. Dengan konsep seperti ini, rasanya tugas kita bukanlah mengisi kemerdekaan, seperti apa yang sering diajarkan selama kita masih berada di sekolah dasar. Semua dari kita adalah pahlawan, yang sedang berusaha menemukan kembali arti menjadi seorang manusia Indonesia, warga negara Indonesia.
Menjadi pahlawan adalah tetap bisa mengangkat kepala dan tersenyum ketika seorang pengajar menyebutkan betapa kondisi ekonomi semakin diperparah dengan bencana yang tak kunjung habis. Menjadi pahlawan adalah kepedulian. Menjadi pahlawan adalah berbagi senyuman, rasa kesatuan yang tak tersaingi. Menjadi pahlawan adalah kebanggaan. Menjadi pahlawan pada hakikatnya adalah menemukan pahlawan dalam diri masing-masing.
Masih tentang kebanggaan, seberapa banggakah kita dengan predikat bangsa Indonesia? Sebagian besar dari kita pernah mengalami masa-masa dimana menghafal beberapa pasal dari UUD 1945 adalah keharusan. Keharusan karena pasal-pasal itu nantinya akan diujiankan, ditanyakan bunyinya, dan harus ditulis setepat-tepatnya di atas kertas ujian.
Entah kenapa dari sejumlah pasal itu, tidak ada yang menjelaskan, mengapa kita harus bangga menjadi bangsa Indonesia. Apakah karena kebanggaan itu ssesuatu yang sedemikian abstrak dan sulit dideskripsikan? Saya tidak tahu. Bahkan setelah dewasa pun, sulit untuk menyadari, bahwa kecintaan memang seharusnya tumbuh pada bumi tempat kita dilahirkan, segala sesuatu yang tumbuh di atasnya, dan air yang kita minum.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Menghargai diri sendiri dengan berusaha sebaik mungkin, menanyakan lagi pada diri sendiri, apakah di saat (mungkin) segala sesuatu yang bisa dibanggakan telah lenyap, bisakah kita tetap bangga akan asal usul kita?
Right or wrong is my country. .
Peribahasa ini banyak digunakan oleh para pahlawan, yang semata-mata membela tanah air, karena itulah tempat dimana dia berasal. Jika ada suatu kesalahan, yang bersalah adalah masyarakatnya, bangsanya, bukan negaranya.
Adakah yang salah dengan Indonesia dan nasionalismenya? Mungkinkah negara yang dilahirkan oleh para pemikir besar, cendekiawan, dan nasionalis itu telah lelah dan jemu berdiri? Mungkinkah negara dimana pemuda-pemudinya pernah bersumpah untuk bersatu ini sudah tak sanggup lagi mempertahankan ikatannya?
Saya tidak menganggap luas wilayah Indonesia adalah suatu penghalang untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal ini kepentingan adalah kuncinya, karena begitu banyak kepentingan yang berbeda telah menjadi penghalang untuk bergerak ke arah yang sama. Begitu banyak perbedaan kepentingan telah menghilangkan warna abu-abu di antara putih dan hitam, sehingga yang ada adalah hero dan anti-hero, pahlawan dan bukan pahlawan (bisa dikatakan “penjahat”?).
Omne solum viro patria est. Every soil is a homeland for a hero.
Sebuah peribahasa latin yang menyejukkan, dan kembali mengingatkan kita, bahwa sangatlah “mudah” untuk menjadi seorang pahlawan. Tidaklah perlu mengangkat senjata seperti yang terjadi di masa silam. Menjadi pahlawan adalah belajar mendefinisikan pahlawan itu sendiri pada awalnya, dan percayalah, memulainya jauh lebih sulit daripada meneruskan.
Wednesday, January 17, 2007
It's Just the Weight of the World...
Lagu ini bagus :).Thanks banget Nyo, atas rekomendasinya :D.
You Are Loved (Don't Give Up)
Don't give up
It's just the weight of the world
When your heart's heavy
I, I will lift it for you
Don't give up
Because you want to be heard
If silence keeps you
I,I will break it for you
Everybody wants to be understood
Well I can hear you
Everybody wants to be loved
Don't give up
Because you are loved
Don't give up
It's just the hurt that you hide
When you're lost inside
I,I'll be there to find you
Don't give up
Because you want to burn bright
If darkness blinds you
I,I will shine to guide you
Everybody wants to be understood
Well I can hear you
Everybody needs to be loved
Don't give up
Because...you are loved
Don't give up
It's just the weight of the world
Don't give up
Everyone needs to be loved
You are loved
You Are Loved (Don't Give Up)
Don't give up
It's just the weight of the world
When your heart's heavy
I, I will lift it for you
Don't give up
Because you want to be heard
If silence keeps you
I,I will break it for you
Everybody wants to be understood
Well I can hear you
Everybody wants to be loved
Don't give up
Because you are loved
Don't give up
It's just the hurt that you hide
When you're lost inside
I,I'll be there to find you
Don't give up
Because you want to burn bright
If darkness blinds you
I,I will shine to guide you
Everybody wants to be understood
Well I can hear you
Everybody needs to be loved
Don't give up
Because...you are loved
Don't give up
It's just the weight of the world
Don't give up
Everyone needs to be loved
You are loved
Saturday, January 13, 2007
Remah Cuaca
As requested.... :)
Remah Cuaca
Seperti biasanya hari ini kita akan memandang langit, dan menerka-nerka, apakah awan itu stratus, kumolunimbus, atau sederetan nama lain yang sukar kueja. Lalu dilanjutkan dengan tawa riang bersama-sama, seolah hidup kita hanyalah sebuah gelembung busa yang mengapung di bak mandi, lincah dan bahagia. Mengambang tak tentu arah, sesekali menepi untuk beristirahat, memetakan noda-noda pada pinggiran bak.
Tentunya ada yang istimewa. Karena hari ini seakan gamelan Lokananta itu berbunyi sendiri, bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Kita menemukan dua buah awan dengan bentuk yang menarik. Kau melihatnya seperti meriam yang meneteskan bom dari ujungnya, aku melihatnya seperti pelepah pisang yang lemah karena nyaris mati tersengat kemarau.
Berbeda mungkin. Kemiringan empat puluh lima derajat, diukur busur penggaris seharga lima ratus rupiah yang dulu sering kaupatahkan melenakanku hingga lelap. Kau mencerocos, menceritakan bentuk awan dan apa yang akan kau lakukan bila kau benar-benar ada disana, merengkuh dan membuatnya menjadi adonan.Adonan mimpi yang sedang kupanggang.
Mimpi.Kata itu mengawang lebih tinggi dari apapun yang bisa terjangkau daya pikir kita. Bukankah mimpi adalah sentuhan tangan Sang Pencipta yang mengejawantah? Ia berdetak sepanjang umur manusia berdetak, sepanjang harap masih terajut rapi dengan benang-benang keemasan berwarna matahari.
Matahari. Bahkan saat lampu besar itu menusukku perlahan dengan sinarnya, aku masih tak mampu terbangun, Rumput ini mengelusku hingga aku tidur dengan nyenyaknya, menyanyikan lagu nina bobo sepanjang malam. Tak peduli aku sudah tertidur bahkan ketika mereka baru saja membuka mulut. Bahkan embun yang menyapaku pun tak kuhiraukan, bahkan gelak tawa mereka tak terdengar olehku.
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Dan waktu berhenti, menapakimu dengan kaki-kakinya yang kuat dan cepat. Hingga kau pun terjungkal beberapa langkah, dan terlupa bahwa masih begitu banyak bukit yang harus kau daki. Jiwamu lesu dan lelah, tergantung di lembah nadi yang kering tanpa oasis. Benar begitukah?
Oasis. Kesendirian yang mengeringkan. Mungkin saja ia diperlukan, karena gurun pun butuh tangisan kini. Ya, surga kecil yang tak terpencil, tempat menerawang awan yang menari dan larut dalam tangisan hujan. Tempat cairan semesta bersatu, seperti tak ada sekat pemisah yang kejam menyala di antaranya. Seperti kawah dan laharnya.Membuncah. Cairan semesta itu.
Semesta. Menyanyikah ia bersama awan-awan yang kita lihat setiap harinya? Aneh, betapa kata semesta kian hari kian menyempit, hingga mungkin suatu saat ia hanya akan berupa lubang semut yang pernah kita lihat kemarin. Sesak, sungguh sesak. Masih adakah tempat untuk kita bernafas kelak di semesta yang kian menyempit dan menyala perlahan seperti api yang memakan kayu bakar di perapian?
Api. Mungkin kita seperti api dan air. Tidak, tidak berlawanan satu sama lain,tetapi nyalaku bisa kaulenyapkan dengan sejukmu. Dan tinggallah sisa-sisa asap membumbung ke angkasa, membumbui kehidupan yang senyap dan hampa. Asap itu membentuk kisah, berlari dari satu cerobong ke cerobong lainnya. Kadang asap menyebarkan berita buruk yang menyesakkan. Tapi ia begitu lincah dan bahagia. Bahagia.
Bahagia. Apa sebenarnya arti bahagia itu? Bagaimana cara Pencipta kita membahagiakan makhluknya hingga ke ujung nadi dan menerbangkannya seperti serabut dandelion yang mencari habitat baru? Bagiku bahagia adalah urusan Tuhan, karena ia menyergap dan membuangmu tanpa kausadari. Ia ada di depan matamu, tapi kau tak pernah melihatnya. Ia seperti harapan, hanya lebih halus dan tidak kejam.
Kekejaman, Seperti tawa keringmu saat kau melihat predator memangsa mangsanya. Tapi bagi kita bangsa kita adalah yang terkejam, sungguh di atas makhluk Tuhan lainnya. Bagaimana seribu topeng bisa terpasang pada satu wajah yang sama sungguh mengundang pertanyaan. Dan tiba-tiba kelelahan datang, bersatu dengan kesedihan dan kengerian Lalu pembicaraan tentang kekejaman terhenti. Nafas pun membeku dalam keheningan.
Nafas. Mungkin tak kita sadari betapa berharganya setiap hembusan yang kita tuangkan di jendela saat udara dingin untuk menjadi lukisan-lukisan jemari. Ya, betapa lukisan jemari itu kemudian kita jungkirkan kembali dengan hembusan nafas yang memburu, sehingga ia hanya tinggal kenangan, seperti masa kecil yang terbuang di ujung jalan.
Jalan. Ini misteri terbesar dalam hidupku. Siapa pulakah yang telah menciptakan pepatah kasih ibu sepanjang jalan? Pasti ia telah bertemu dengan ibuku, bukankah begitu? Jika ada sebutan Wanita Cinta, pastilah ia pemenangnya. Dalam tubuhku mengalir darahnya, air susunya, liur dan getah, dan sari-sarinya. Cintanya memanggangku seperti setetes air yang memanggang pasir dengan sejuknya. Sungguh.
Pasir, seperti waktu yang menyusup ke celah-celah jariku, pada akhirnya hanya tinggal sesuatu yang hanya akan kautemukan di tepi pantai kesepian. Terhempas, terapung, dan sendirian. Mencoba menakar waktu dalam gelembung balon.Dan akhirnya gagal. Karena keabstrakan waktu. Keabstrakan waktu.
Waktukah yang pernah tak sengaja membunuh senja waktu itu? Aku ingat begitu hari masih muda, dan waktu bersumpah bahwa ia tengah mengasah pisaunya tajam-tajam, karena senja berkhianat. Ia berkhianat dan meninggalkan waktu, pergi tertidur lebih dahulu. Masih ingatkahkah bahwa sumpah waktu begitu mengguncangkan kala itu? Seperti Al-Zalzalah dibacakan di telingaku, terlompat isi dunia, berserak tak tersisa.
Guncangan. Guncangan seperti apa yang akan membuat gunung-gunung penyangga langit kita seperti bulu-bulu diserakkan.Jika saja kegagahan bumi hanya seperti seutas kemilau, sehelai bulu pengembara, pastilah kita hanya atom-atom yang bertabrakan.
Mungkin benar kita ini remah cuaca. Terserak sia-sia seperti mutiara di sudut laut, berkilau tetapi terbuang. Entahlah, seperti tuanya dunia ini, tak pernah mampu kita menjawab pertanyaan, bahkan setelah duduk menekur berlama-lama. Entahlah, entahlah.
Remah Cuaca
Seperti biasanya hari ini kita akan memandang langit, dan menerka-nerka, apakah awan itu stratus, kumolunimbus, atau sederetan nama lain yang sukar kueja. Lalu dilanjutkan dengan tawa riang bersama-sama, seolah hidup kita hanyalah sebuah gelembung busa yang mengapung di bak mandi, lincah dan bahagia. Mengambang tak tentu arah, sesekali menepi untuk beristirahat, memetakan noda-noda pada pinggiran bak.
Tentunya ada yang istimewa. Karena hari ini seakan gamelan Lokananta itu berbunyi sendiri, bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Kita menemukan dua buah awan dengan bentuk yang menarik. Kau melihatnya seperti meriam yang meneteskan bom dari ujungnya, aku melihatnya seperti pelepah pisang yang lemah karena nyaris mati tersengat kemarau.
Berbeda mungkin. Kemiringan empat puluh lima derajat, diukur busur penggaris seharga lima ratus rupiah yang dulu sering kaupatahkan melenakanku hingga lelap. Kau mencerocos, menceritakan bentuk awan dan apa yang akan kau lakukan bila kau benar-benar ada disana, merengkuh dan membuatnya menjadi adonan.Adonan mimpi yang sedang kupanggang.
Mimpi.Kata itu mengawang lebih tinggi dari apapun yang bisa terjangkau daya pikir kita. Bukankah mimpi adalah sentuhan tangan Sang Pencipta yang mengejawantah? Ia berdetak sepanjang umur manusia berdetak, sepanjang harap masih terajut rapi dengan benang-benang keemasan berwarna matahari.
Matahari. Bahkan saat lampu besar itu menusukku perlahan dengan sinarnya, aku masih tak mampu terbangun, Rumput ini mengelusku hingga aku tidur dengan nyenyaknya, menyanyikan lagu nina bobo sepanjang malam. Tak peduli aku sudah tertidur bahkan ketika mereka baru saja membuka mulut. Bahkan embun yang menyapaku pun tak kuhiraukan, bahkan gelak tawa mereka tak terdengar olehku.
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Dan waktu berhenti, menapakimu dengan kaki-kakinya yang kuat dan cepat. Hingga kau pun terjungkal beberapa langkah, dan terlupa bahwa masih begitu banyak bukit yang harus kau daki. Jiwamu lesu dan lelah, tergantung di lembah nadi yang kering tanpa oasis. Benar begitukah?
Oasis. Kesendirian yang mengeringkan. Mungkin saja ia diperlukan, karena gurun pun butuh tangisan kini. Ya, surga kecil yang tak terpencil, tempat menerawang awan yang menari dan larut dalam tangisan hujan. Tempat cairan semesta bersatu, seperti tak ada sekat pemisah yang kejam menyala di antaranya. Seperti kawah dan laharnya.Membuncah. Cairan semesta itu.
Semesta. Menyanyikah ia bersama awan-awan yang kita lihat setiap harinya? Aneh, betapa kata semesta kian hari kian menyempit, hingga mungkin suatu saat ia hanya akan berupa lubang semut yang pernah kita lihat kemarin. Sesak, sungguh sesak. Masih adakah tempat untuk kita bernafas kelak di semesta yang kian menyempit dan menyala perlahan seperti api yang memakan kayu bakar di perapian?
Api. Mungkin kita seperti api dan air. Tidak, tidak berlawanan satu sama lain,tetapi nyalaku bisa kaulenyapkan dengan sejukmu. Dan tinggallah sisa-sisa asap membumbung ke angkasa, membumbui kehidupan yang senyap dan hampa. Asap itu membentuk kisah, berlari dari satu cerobong ke cerobong lainnya. Kadang asap menyebarkan berita buruk yang menyesakkan. Tapi ia begitu lincah dan bahagia. Bahagia.
Bahagia. Apa sebenarnya arti bahagia itu? Bagaimana cara Pencipta kita membahagiakan makhluknya hingga ke ujung nadi dan menerbangkannya seperti serabut dandelion yang mencari habitat baru? Bagiku bahagia adalah urusan Tuhan, karena ia menyergap dan membuangmu tanpa kausadari. Ia ada di depan matamu, tapi kau tak pernah melihatnya. Ia seperti harapan, hanya lebih halus dan tidak kejam.
Kekejaman, Seperti tawa keringmu saat kau melihat predator memangsa mangsanya. Tapi bagi kita bangsa kita adalah yang terkejam, sungguh di atas makhluk Tuhan lainnya. Bagaimana seribu topeng bisa terpasang pada satu wajah yang sama sungguh mengundang pertanyaan. Dan tiba-tiba kelelahan datang, bersatu dengan kesedihan dan kengerian Lalu pembicaraan tentang kekejaman terhenti. Nafas pun membeku dalam keheningan.
Nafas. Mungkin tak kita sadari betapa berharganya setiap hembusan yang kita tuangkan di jendela saat udara dingin untuk menjadi lukisan-lukisan jemari. Ya, betapa lukisan jemari itu kemudian kita jungkirkan kembali dengan hembusan nafas yang memburu, sehingga ia hanya tinggal kenangan, seperti masa kecil yang terbuang di ujung jalan.
Jalan. Ini misteri terbesar dalam hidupku. Siapa pulakah yang telah menciptakan pepatah kasih ibu sepanjang jalan? Pasti ia telah bertemu dengan ibuku, bukankah begitu? Jika ada sebutan Wanita Cinta, pastilah ia pemenangnya. Dalam tubuhku mengalir darahnya, air susunya, liur dan getah, dan sari-sarinya. Cintanya memanggangku seperti setetes air yang memanggang pasir dengan sejuknya. Sungguh.
Pasir, seperti waktu yang menyusup ke celah-celah jariku, pada akhirnya hanya tinggal sesuatu yang hanya akan kautemukan di tepi pantai kesepian. Terhempas, terapung, dan sendirian. Mencoba menakar waktu dalam gelembung balon.Dan akhirnya gagal. Karena keabstrakan waktu. Keabstrakan waktu.
Waktukah yang pernah tak sengaja membunuh senja waktu itu? Aku ingat begitu hari masih muda, dan waktu bersumpah bahwa ia tengah mengasah pisaunya tajam-tajam, karena senja berkhianat. Ia berkhianat dan meninggalkan waktu, pergi tertidur lebih dahulu. Masih ingatkahkah bahwa sumpah waktu begitu mengguncangkan kala itu? Seperti Al-Zalzalah dibacakan di telingaku, terlompat isi dunia, berserak tak tersisa.
Guncangan. Guncangan seperti apa yang akan membuat gunung-gunung penyangga langit kita seperti bulu-bulu diserakkan.Jika saja kegagahan bumi hanya seperti seutas kemilau, sehelai bulu pengembara, pastilah kita hanya atom-atom yang bertabrakan.
Mungkin benar kita ini remah cuaca. Terserak sia-sia seperti mutiara di sudut laut, berkilau tetapi terbuang. Entahlah, seperti tuanya dunia ini, tak pernah mampu kita menjawab pertanyaan, bahkan setelah duduk menekur berlama-lama. Entahlah, entahlah.
Tuesday, January 09, 2007
Saturday, January 06, 2007
:)
Found this from here. Satirically funny, and sadly, a little bit TOO TRUE.
And all you have to do is to practice what you preach....
Basa Basi Tidak Sopan (Ria Coats - Amerika)
Menanggapi artikel basa basi yang ngga sopan. Saya juga punya pengalaman unik mengenai komentar bangsa Indonesia terhadap diri saya. Kebetulan sejak kecil saya terlahir dengan tubuh besar (bongsor) yang bila dibanding wanita Indonesia lainnya. Seperti angka sepuluh. Sejak kecil saya sudah kenyang dihina, dicela, dan dikomentari macam macam, baik dari teman teman saya di Al-Azhar dulu sampai teman saya di SMA 70, sanak keluarga, abang abang becak, bajaj, ojek, pedagang kaki lima, dan teman kerja sekalipun.
Hinaannya bermacam macam. Dari si gendut, si gembrot, si gajah bengkak, si jumbo jet, si adiknya doel (doel sinetron), sampai komentar: kurusin dong, diet dong, nanti ngga laku lho, nanti ngga ada laki laki yang mau kawin sama kamu, sampai saat mencari kerja, ada bebebrapa human resource atau direkturnya menolak saya karena bentuk tubuh saya. Salah satu company yang langsung menolak saya adalah NEC. Saya di interview dan di test, semua lulus. Pada saat interview terakhir, ketemu sama bos besar, orang Jepang. Setelah interview saya disuruh menunggu di luar, dan HR masuk ke dalam. Mereka membahas hasil interview saya, kemudian HR datang kembali dan langsung berbicara saya bahwa the big boss tidak berkenan kepada saya karena ukuran tubuh saya. Sayang di Indonesia sexual harassment or race harassment belum dijunjung tinggi di Indonesia.
Nah, sampai akhirnya saya hengkang ke Amerika. Saya menemukan kesejukan di telinga. Tidak ada satupun bule bule di sini berkomentar macam macam tentang keadaan fisik saya. Malah, saya termasuk petite and slim disini, karena di Midwest ini kebetulan wanita wanitanya obese sekali. Dan surga yang lainnya saya bisa menemukan baju ukuran saya dengan mudah sekali. Tidak harus menahan hati dikomentari: tidak ada ukurannya mbak, seperti kalau saya berbelanja di Indonesia.
Tetapi komentar tidak sopan masih saya terima setiap perayaan 17 Agustus di Kansas. Kalau saya bertemu dengan teman sebangsa, pasti mereka akan berkata: ya ampun, kurusin dong, diet dong, apa ngga berat tuh, bisa lari ngga. Makannya apa sih kok bisa gendut begitu ?. Makannya 10 kali sehari ya…dan komentar itu bukan keluar dari teman dekat saya tetapi dari orang Indonesia yang belum pernah saya kenal sebelumnya atau Cuma bertemu setahun sekali. Jawaban saya simple dan beragam. Ah saya ngga mau kurus, nanti yang naksir makin banyak. Gendut saja yang antri banyak kok. Atau saya berkomentar, iya nih, saya makan banyak, iri ya, ngga bisa makan sebanyak saya…. Kebanyakan kalau saya jawab seperti itu mereka langsung diam, mundur, dan bisik bisik di belakang. Who care…!!!.
Mencari kerja pun mudah disini. Tidak ada satupun human resource yang menolak saya karena ukuran tubuh saya. Asal punya skill dan otak. Pasti diterima. Baru baru ini saya pulang ke Indonesia menengok keluarga dengan teman African American saya. Dia bertubuh sangat besar, tinggi 6 feet 2 inch dan berat 300 pound. Lalu saya belanja di pasar mayestik, begitu saya masuk pasar. Pedagang pedagang disana langsung memelototi saya dari ujung kepala ke ujung kaki, malah ada yang berani colak colek dan mencubit tangan saya. Dan berkomentar, ya ampun gendut banget sih mbak, makan apa ?. Langsung saya panggil teman African American saya. Ini lho, saya makan ini orang, bentar lagi habis beli bumbu di pasar, saya mau masak nih orang. Langsung deh mereka diam seribu bahasa. Teman saya si Brandy langsung bertanya ada apa. Setelah saya jelaskan langsung dia tertawa terbahak bahak.
Then she said” lucky, I don’t understand what you people said about this ridiculous things. If I understand, they can taste my big nice punch”. Owalah Brandy, seandainya kamu tahu, sepanjang jalan kenangan kita di Indonesia, Apa dan baiamana tanggapan bangsaku kepadamu dan kepada saya sendiri, pasti seluruh kosakata perbendaharaan kata kata manis akan keluar dari mulutmu dan pasti liburan kita menjadi tidak menyenangkan dan pasti cerita yang kamu akan bawa ke negeri Pam Sam tentang bangsaku akan menjadi sangat negative.. Untung saja aku tidak mau menterjemahkannya. Because I still love Indonesia no matter what
And all you have to do is to practice what you preach....
Basa Basi Tidak Sopan (Ria Coats - Amerika)
Menanggapi artikel basa basi yang ngga sopan. Saya juga punya pengalaman unik mengenai komentar bangsa Indonesia terhadap diri saya. Kebetulan sejak kecil saya terlahir dengan tubuh besar (bongsor) yang bila dibanding wanita Indonesia lainnya. Seperti angka sepuluh. Sejak kecil saya sudah kenyang dihina, dicela, dan dikomentari macam macam, baik dari teman teman saya di Al-Azhar dulu sampai teman saya di SMA 70, sanak keluarga, abang abang becak, bajaj, ojek, pedagang kaki lima, dan teman kerja sekalipun.
Hinaannya bermacam macam. Dari si gendut, si gembrot, si gajah bengkak, si jumbo jet, si adiknya doel (doel sinetron), sampai komentar: kurusin dong, diet dong, nanti ngga laku lho, nanti ngga ada laki laki yang mau kawin sama kamu, sampai saat mencari kerja, ada bebebrapa human resource atau direkturnya menolak saya karena bentuk tubuh saya. Salah satu company yang langsung menolak saya adalah NEC. Saya di interview dan di test, semua lulus. Pada saat interview terakhir, ketemu sama bos besar, orang Jepang. Setelah interview saya disuruh menunggu di luar, dan HR masuk ke dalam. Mereka membahas hasil interview saya, kemudian HR datang kembali dan langsung berbicara saya bahwa the big boss tidak berkenan kepada saya karena ukuran tubuh saya. Sayang di Indonesia sexual harassment or race harassment belum dijunjung tinggi di Indonesia.
Nah, sampai akhirnya saya hengkang ke Amerika. Saya menemukan kesejukan di telinga. Tidak ada satupun bule bule di sini berkomentar macam macam tentang keadaan fisik saya. Malah, saya termasuk petite and slim disini, karena di Midwest ini kebetulan wanita wanitanya obese sekali. Dan surga yang lainnya saya bisa menemukan baju ukuran saya dengan mudah sekali. Tidak harus menahan hati dikomentari: tidak ada ukurannya mbak, seperti kalau saya berbelanja di Indonesia.
Tetapi komentar tidak sopan masih saya terima setiap perayaan 17 Agustus di Kansas. Kalau saya bertemu dengan teman sebangsa, pasti mereka akan berkata: ya ampun, kurusin dong, diet dong, apa ngga berat tuh, bisa lari ngga. Makannya apa sih kok bisa gendut begitu ?. Makannya 10 kali sehari ya…dan komentar itu bukan keluar dari teman dekat saya tetapi dari orang Indonesia yang belum pernah saya kenal sebelumnya atau Cuma bertemu setahun sekali. Jawaban saya simple dan beragam. Ah saya ngga mau kurus, nanti yang naksir makin banyak. Gendut saja yang antri banyak kok. Atau saya berkomentar, iya nih, saya makan banyak, iri ya, ngga bisa makan sebanyak saya…. Kebanyakan kalau saya jawab seperti itu mereka langsung diam, mundur, dan bisik bisik di belakang. Who care…!!!.
Mencari kerja pun mudah disini. Tidak ada satupun human resource yang menolak saya karena ukuran tubuh saya. Asal punya skill dan otak. Pasti diterima. Baru baru ini saya pulang ke Indonesia menengok keluarga dengan teman African American saya. Dia bertubuh sangat besar, tinggi 6 feet 2 inch dan berat 300 pound. Lalu saya belanja di pasar mayestik, begitu saya masuk pasar. Pedagang pedagang disana langsung memelototi saya dari ujung kepala ke ujung kaki, malah ada yang berani colak colek dan mencubit tangan saya. Dan berkomentar, ya ampun gendut banget sih mbak, makan apa ?. Langsung saya panggil teman African American saya. Ini lho, saya makan ini orang, bentar lagi habis beli bumbu di pasar, saya mau masak nih orang. Langsung deh mereka diam seribu bahasa. Teman saya si Brandy langsung bertanya ada apa. Setelah saya jelaskan langsung dia tertawa terbahak bahak.
Then she said” lucky, I don’t understand what you people said about this ridiculous things. If I understand, they can taste my big nice punch”. Owalah Brandy, seandainya kamu tahu, sepanjang jalan kenangan kita di Indonesia, Apa dan baiamana tanggapan bangsaku kepadamu dan kepada saya sendiri, pasti seluruh kosakata perbendaharaan kata kata manis akan keluar dari mulutmu dan pasti liburan kita menjadi tidak menyenangkan dan pasti cerita yang kamu akan bawa ke negeri Pam Sam tentang bangsaku akan menjadi sangat negative.. Untung saja aku tidak mau menterjemahkannya. Because I still love Indonesia no matter what
Subscribe to:
Posts (Atom)