Saturday, January 13, 2007

Remah Cuaca

As requested.... :)

Remah Cuaca

Seperti biasanya hari ini kita akan memandang langit, dan menerka-nerka, apakah awan itu stratus, kumolunimbus, atau sederetan nama lain yang sukar kueja. Lalu dilanjutkan dengan tawa riang bersama-sama, seolah hidup kita hanyalah sebuah gelembung busa yang mengapung di bak mandi, lincah dan bahagia. Mengambang tak tentu arah, sesekali menepi untuk beristirahat, memetakan noda-noda pada pinggiran bak.


Tentunya ada yang istimewa. Karena hari ini seakan gamelan Lokananta itu berbunyi sendiri, bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Kita menemukan dua buah awan dengan bentuk yang menarik. Kau melihatnya seperti meriam yang meneteskan bom dari ujungnya, aku melihatnya seperti pelepah pisang yang lemah karena nyaris mati tersengat kemarau.
Berbeda mungkin. Kemiringan empat puluh lima derajat, diukur busur penggaris seharga lima ratus rupiah yang dulu sering kaupatahkan melenakanku hingga lelap. Kau mencerocos, menceritakan bentuk awan dan apa yang akan kau lakukan bila kau benar-benar ada disana, merengkuh dan membuatnya menjadi adonan.Adonan mimpi yang sedang kupanggang.


Mimpi.Kata itu mengawang lebih tinggi dari apapun yang bisa terjangkau daya pikir kita. Bukankah mimpi adalah sentuhan tangan Sang Pencipta yang mengejawantah? Ia berdetak sepanjang umur manusia berdetak, sepanjang harap masih terajut rapi dengan benang-benang keemasan berwarna matahari.


Matahari. Bahkan saat lampu besar itu menusukku perlahan dengan sinarnya, aku masih tak mampu terbangun, Rumput ini mengelusku hingga aku tidur dengan nyenyaknya, menyanyikan lagu nina bobo sepanjang malam. Tak peduli aku sudah tertidur bahkan ketika mereka baru saja membuka mulut. Bahkan embun yang menyapaku pun tak kuhiraukan, bahkan gelak tawa mereka tak terdengar olehku.


Bagaimana ini semua bisa terjadi? Dan waktu berhenti, menapakimu dengan kaki-kakinya yang kuat dan cepat. Hingga kau pun terjungkal beberapa langkah, dan terlupa bahwa masih begitu banyak bukit yang harus kau daki. Jiwamu lesu dan lelah, tergantung di lembah nadi yang kering tanpa oasis. Benar begitukah?


Oasis. Kesendirian yang mengeringkan. Mungkin saja ia diperlukan, karena gurun pun butuh tangisan kini. Ya, surga kecil yang tak terpencil, tempat menerawang awan yang menari dan larut dalam tangisan hujan. Tempat cairan semesta bersatu, seperti tak ada sekat pemisah yang kejam menyala di antaranya. Seperti kawah dan laharnya.Membuncah. Cairan semesta itu.


Semesta. Menyanyikah ia bersama awan-awan yang kita lihat setiap harinya? Aneh, betapa kata semesta kian hari kian menyempit, hingga mungkin suatu saat ia hanya akan berupa lubang semut yang pernah kita lihat kemarin. Sesak, sungguh sesak. Masih adakah tempat untuk kita bernafas kelak di semesta yang kian menyempit dan menyala perlahan seperti api yang memakan kayu bakar di perapian?


Api. Mungkin kita seperti api dan air. Tidak, tidak berlawanan satu sama lain,tetapi nyalaku bisa kaulenyapkan dengan sejukmu. Dan tinggallah sisa-sisa asap membumbung ke angkasa, membumbui kehidupan yang senyap dan hampa. Asap itu membentuk kisah, berlari dari satu cerobong ke cerobong lainnya. Kadang asap menyebarkan berita buruk yang menyesakkan. Tapi ia begitu lincah dan bahagia. Bahagia.


Bahagia. Apa sebenarnya arti bahagia itu? Bagaimana cara Pencipta kita membahagiakan makhluknya hingga ke ujung nadi dan menerbangkannya seperti serabut dandelion yang mencari habitat baru? Bagiku bahagia adalah urusan Tuhan, karena ia menyergap dan membuangmu tanpa kausadari. Ia ada di depan matamu, tapi kau tak pernah melihatnya. Ia seperti harapan, hanya lebih halus dan tidak kejam.


Kekejaman, Seperti tawa keringmu saat kau melihat predator memangsa mangsanya. Tapi bagi kita bangsa kita adalah yang terkejam, sungguh di atas makhluk Tuhan lainnya. Bagaimana seribu topeng bisa terpasang pada satu wajah yang sama sungguh mengundang pertanyaan. Dan tiba-tiba kelelahan datang, bersatu dengan kesedihan dan kengerian Lalu pembicaraan tentang kekejaman terhenti. Nafas pun membeku dalam keheningan.


Nafas. Mungkin tak kita sadari betapa berharganya setiap hembusan yang kita tuangkan di jendela saat udara dingin untuk menjadi lukisan-lukisan jemari. Ya, betapa lukisan jemari itu kemudian kita jungkirkan kembali dengan hembusan nafas yang memburu, sehingga ia hanya tinggal kenangan, seperti masa kecil yang terbuang di ujung jalan.


Jalan. Ini misteri terbesar dalam hidupku. Siapa pulakah yang telah menciptakan pepatah kasih ibu sepanjang jalan? Pasti ia telah bertemu dengan ibuku, bukankah begitu? Jika ada sebutan Wanita Cinta, pastilah ia pemenangnya. Dalam tubuhku mengalir darahnya, air susunya, liur dan getah, dan sari-sarinya. Cintanya memanggangku seperti setetes air yang memanggang pasir dengan sejuknya. Sungguh.


Pasir, seperti waktu yang menyusup ke celah-celah jariku, pada akhirnya hanya tinggal sesuatu yang hanya akan kautemukan di tepi pantai kesepian. Terhempas, terapung, dan sendirian. Mencoba menakar waktu dalam gelembung balon.Dan akhirnya gagal. Karena keabstrakan waktu. Keabstrakan waktu.


Waktukah yang pernah tak sengaja membunuh senja waktu itu? Aku ingat begitu hari masih muda, dan waktu bersumpah bahwa ia tengah mengasah pisaunya tajam-tajam, karena senja berkhianat. Ia berkhianat dan meninggalkan waktu, pergi tertidur lebih dahulu. Masih ingatkahkah bahwa sumpah waktu begitu mengguncangkan kala itu? Seperti Al-Zalzalah dibacakan di telingaku, terlompat isi dunia, berserak tak tersisa.


Guncangan. Guncangan seperti apa yang akan membuat gunung-gunung penyangga langit kita seperti bulu-bulu diserakkan.Jika saja kegagahan bumi hanya seperti seutas kemilau, sehelai bulu pengembara, pastilah kita hanya atom-atom yang bertabrakan.


Mungkin benar kita ini remah cuaca. Terserak sia-sia seperti mutiara di sudut laut, berkilau tetapi terbuang. Entahlah, seperti tuanya dunia ini, tak pernah mampu kita menjawab pertanyaan, bahkan setelah duduk menekur berlama-lama. Entahlah, entahlah.

2 comments:

Anonymous said...

Postingannya lagi dalem nih...bikin sekalian merenung...

Adilla said...

Hehehe, iya ya Mbak Pritha? Itu sebenernya cerpen yang diselesein dengan buru-buru, mudah2an aja suka :D. Makasih dah comment yah...