Sunday, May 06, 2007

Dentang Nadi


Tak ada hari yang kulewatkan tanpa mendengar kini. Bahkan desahan nafas orang yang berdiri di dekatku di bis. Bahkan dentingan jarum di keheningan malam. Atau sentuhan abu rokok di sisi asbak. Semuanya musik bagiku. Kadang kala aku berhalusinasi, sehingga senyuman wanita di depanku ini pun terdengar bersuara bagiku, menyanyikan lagu abadi pengantar tidur.

Bergaungkah kau dalam stalaktit dan stalagmit gua itu? Hidup kita telah melanglang jauh, seperti butiran busa yang tertiup angin, suatu saat akan pecah karena tak mampu melawan tekanan. Kau memberi nama bagi puisi, menghiasinya dengan lidahmu. Dan puisi pun beku karena takut kata-katanya membeku di ujung jemari.

Musik adalah bahasanya sendiri, yang tak memerlukan tata bahasa dan murni, sejuk serta membasahi. Di ujung jemari manusia Tuhan telah menyiapkan bahasa tertinggi, hingga kata-kata pun tak perlu lagi. Lemahlah kita tanpa gaung itu, tanpa gema yang meresap melalui setiap membran jagat raya. Dan tuts-tuts ini? Merekalah saksi bagi terciptanya bahasa itu,

Lalu apa yang disebut lagu pun muncul, seperti semburat matahari di antara pelukan laut. Ia bukan lagi deretan seragam not-not yang berbunyi, melesat seperti peluru ditembakkan oleh goresan pelatuk. Ia bukan lagi gumaman sumbang yang didengungkan orang di kamar mandi. Ia adalah karya, bunyi hati yang bukan lagi hanya sebutir pasir dari jutaan pasir yang berserak di pantai. Karena lagu itu adalah kau. Dan juga aku.

Apakah yang terjadi ketika aku duduk di depan piano ini, dan aku di sisiku dengan pena, mencoba menerka apa yang pernah melintas di benak manusia dan merangkainya seperti kumpulan mawar merah yang dulu rajin kubawakan untukmu? Kita bersatu, sayang. Bukan hanya kulit-kulit yang bersentuhan atau dua mata yang memandang dan tibat-tiba saling mengerti. Ini adalah persatuan takdir dan doa, yang dulu sering saling bertempur di langit, tetapi kembali berpelukan dan berdamai.

Lalu bagaimana aku akan melakukan ini semua kini? Lihatlah, bahkan dinding itu pun bernyanyi lagu yang dulu pernah kita ciptakan bersama! Ingatkah kau? Hari itu hujan turun deras sekali, dan aku amat gelisah, hingga jemariku tak sanggup berhent bergerak. Moonlight Sonata pun kumainkan, dan kau bersenandung, menggumamkan kata-kata yang pernah kautulis di buku harianmu beberapa hari yang lalu.

Terciptalah lagu itu, Sayang. Kita mendengarkannya melalui beberapa malam, merasakannya bukan hanya dengan telinga, tapi dengan segenap indera yang semuanya terbangun dan turut bersenandung. Lalu kita berdoa, berharap lagu itu akan membawa kebahagiaan bagi mereka yang mendengar, membawa senyum dalam tiap notasinya, menyeret duka dalam setiap liriknya, dan menggetarkan pada tiap biramanya.

Apa yang bisa kulakukan kini? Saat setiap benda di ruangan ini menyebutkan namamu pada bibir-bibir mereka yang tak terlihat, dan mendesakku untuk mengajak mereka bernyanyi dalam pertunjukan kita. Mungkinkah aku akan bisa berdiri di depan mereka semua, menyatukan suara dari deritan kursi dan dentingan sendok, hingga suara gemericik air keran ini? Mereka tak akan paham lagu-lagu kita, Sayang. Tak akan pernah mengerti bahwa menyanyi tak sekedar berupa menghafal lirik dan menarik nafas. Tak akan pernah.

Ingatkah kau akan penyanyi-penyanyi itu? Yang berharap mereka bisa meraup setiap keping dengan menyanyikan lagu kita. Atau mendesahkan kata-kata dalam lagu itu, yang dengan beraninya mereka sebut menyanyi. Menyesalkah kau bahwa kita pernah menjadi bagian dari mereka? Telahkah kita menjadi bagian dari mesin uang bernama ketenaran yang dahulu telah kau tinggalkan jauh-jauh di belakangmu?
Hidup kita adalah panggung ini. Dimana ratusan bahkan ribuan penonton datang hanya untuk mendengarku mengetukkan jemari ke tuts-tuts piano ini. Tepuk tangan itu begitu indah terdengar Sayang, tapi tak ada yang lebih indah daripada menyebutkan nama kita di akhir lagu, dan untuk selanjutnya menatap matamu dan tiba-tiba mengerti, mengapa aku harus berada di panggung ini.

Kadang di sela-sela waktu yang kita habiskan untuk menerka-nerka, merekam dan merenung di sisi piano ini, kau bertanya tentang penciptaan. Tentang awan-awan yang begitu damai berarak di langit, dan tak pernah sekalipun merasa terganggu oleh tangisan hujan, kegalakan matahari ataupun hardikan halilintar. Inginkah kau menjadi seperti itu? Tak tergoyahkan atas apapun yang terjadi, dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang. Inginkah kau?

Tapi tanpa tepukan tangan itu pun pasti kita bisa hidup di panggung ini. Benarkah? Kita hanya dua insan, yang sama-sama memasuki panggung ini dari panggung belakang, memulai pertunjukan, berlutut dan menerima tepukan tangan penuh basa-basi yang monoton. Itukah pertunjukan yang kita inginkan?

Betapa bosannya Pencipta kita tentunya, ketika ciptaan-ciptaannya yang seharusnya hanya berakting, menari, menyanyi untuknya tiba-tiba kehilangan arah. Nyanyian mereka terdengar sumbang, dialog mereka kosong dan tak bermakna, dan tarian mereka kehilangan koreografi. Bukankah sebenarnya semuanya kita tujukan pada-Nya pada akhirnya? Dan semua yang bukan karena-Nya akan berakhir sia-sia, begitulah selalu yang kau ceritakan waktu itu.

Apakah ada yang salah denganku kini? Begitu mudah benakku merekam segala notasi biarpun itu hanya berupa coretan di buku musikku. Tapi tak seraut wajahpun yang kutemui kini bisa kuingat, kecuali bahwa mereka secara diam-diam menyanyikan lagu kita. Kemarin aku melalui sebuah gedung yang tengah dibangun, dan benturan palu serta suara mesin-mesin itu menyanyikan lagu kita, bergema mesra di kepalaku. Mungkin aku sudah gila. Sudah gila.

Aku telah berusaha sepanjang malam kini. Menulis dan menekan tuts-tuts piano itu dengan kekosongan memenuhi jiwaku, dan segelas kafein cair ini merasuk ke syaraf-syaraf dan menyentakkan mereka hingga terus terjaga. Tak pernah rasanya aku berusaha sekeras ini. Benakku terus mengatakan, dua hari lagi, dua hari lagi dan semuanya akan usai.

Lagu itu akhirnya jadi. Dan malam ini adalah puncaknya, dimana aku dan kau akan bersatu lagi di panggung. Dengarlah tepuk tangan itu akan terdengar lagi. Kali ini bukanlah hanya hentakan dari dua tangan yang bertemu dan menghasilkan bunyi, tapi benar-benar detak kekaguman, picuan adrenalin yang menghasilkan debaran kegembiraan dan kepuasan.

Ini bukanlah requiem perngantar kematianmu. Tapi mungkin ini lagu perpisahanku dengan panggung yang telah sangat kita kenal ini. Begitupun aku masih rindu suasana itu, masih ingin merasakan gegap gempita ini, ataupun wangi malam yang berbaur dalam gedung dengan kapasitas ribuan orang yang dulu terasa mengurung, tapi kini hanyalah rumah kedua yang ingin kita kunjungi setiap saat.

Aku telah menghentakkan notasi terakhirku, Sayang. Dan dengarlah, dengarlah dengan segenap inderamu! Tirai kembali tertutup, membiarkanku dengan nafas memburu, masih tak sadarkan diri dari ekstasi yang tadi membelenggu. Kini aku punya dua pilihan. Mewujudkan requiem ini menjadi kenyataan, pengantarku menuju tidur abadi, ataupun terus melanglang di atas dunia ini, dan melihatmu tersenyum di atas sana. Aku bersumpah padamu mulai detik ini untuk memilih yang kedua. Maka jadilah saksi akan lahirnya karya-karya lain, Sayang. Jadilah saksi untukku yang hidup bagi dua nyawa di panggung ini, nyawamu dan nyawaku.

2 comments:

Anonymous said...

whoaa... really nice! suka banget... ada piano...not...panggung...nyanyian.. musik.. ah, indahnya.. =D
terusin lagi dunx.. (eh, ud abis ya?)

Adilla said...

Hehehe..iya Van, akhirnya cuma segitu doang. :D Glad you like it, Sis! :)