Sunday, November 25, 2007
It's Official! :D
I've been waiting for months to read this book, and finally I could find it in San Bookshop, almost 1.50 SGD cheaper compared to what Times had to offer (it's almost a daylight robbery, really :D).
Review will probbaly be added later in my other blog.Heather Wells is really the cutest private eye you're fortunate enough to read about.
Humm...probably I always have a soft spot for private investigator. :P (that Cartwright, not Heather Wells :P)
Best,
Adilla
Tuesday, November 20, 2007
Argument
-Oscar Wilde-
And I simply do not wish to argue with anyone. Let alone over simple things.
Period.
Monday, November 19, 2007
Craving
It's the circle of life really, something strange that traps us or shoves and forces us to go to different direction we've planned to go.
Probably I should listen more and talk less?
Oh yeah, and I am still amused and amazed by the ways people use to gain their self-importance. The way you gain your self-importance tells people who you really are. Respects are supposed to be earned, they won't come easily.
Pray tell, what kind of secrets does this universe hold? I know I'll spend my whole life learning and questioning human-related activities.
Best,
Adilla
Sunday, November 18, 2007
Reminiscing
Sometimes we are allowed to look back, so that we know we have lived our lives without regret.
So, allow me to have my moment for a while :).
PS: Happy (belated) Anniversary!
Here are some characters description for your very own reading pleasure:
Disclaimer: these may or may not be accurate. You are the ones to judge! ;)
Fitri: berjiwa dagang, putih, gede, ngilang, demokratis, straightforward, jahil, dewasa, unpredictable
Adilla: filosofis, cute, bijaksana, kdg turun naik,tegas, berwibawa, suka menolong, aware, sudden, introvert, jayus
Rio: polos, suka menolong, sopan, bijaksana, baik, panikan, sweet, shy, imut, mellow, loyal
Fanny: ambisius, galak, setiakawan, blak2an, super rajin, group-loyal, egoist
Gege: kyk anak kecil, berkharisma, bersemangat, kocak, setia kawan juga, agak autis,adventurous, open-minded, friendly, filsuf, responsible
Mia: keibuan, serius, matang, pengertian, suka balon, aktivis, pasrah, pejuang, gugup
Ryan: aneh, cepat kilat, sulit ditebak, lil bit autis, introvert, baik lah..dingin tapi sebenarnya perhatian, kurang ekspresif, unknown, abnormal
Shana: positif, aktif, ramah, gaul,enterpreneur sejati, cantik, busy, invisible, tenang, gembul
Vanya: kayak anak kecil, lembut, multi talented, melankolis, musical, aktif, creative synthesizer, kalem, GJ
Humm...characters begin to form in my mind. I wonder whether it will be easier to create a character from scratch than to combine some characters into one only?
Friday, November 16, 2007
Dicari: INSPIRASI! :D
Wednesday, November 14, 2007
Tarian Hujan
This writing is so...NOT me. But I hope you find it enjoyable. :) Happy reading!
"Jadi, kenapa Anda mau bekerja disini?" Mata itu kembali menatapnya dalam-dalam. Sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika orang di hadapannya....
Virina menelan ludah sebelum menjawab. "Saya merasa ini kesempatan yang baik. Walaupun saya masih tingkat pertama, saya merasa cukup mampu untuk menjadi salah satu tenaga pengajar disini."
Masih tatapan yang sama. Virina menyesali keputusannya melamar pekerjaan untuk menjadi staf pengajar di lembaga pendidikan ini. Seandainya dia tahu....
"Baiklah, Anda diterima, kapan Anda bisa mulai?"
Tatapan mata tak percaya. Tapi Virina bisa melihat kesungguhan di mata laki-laki itu. Dia sedang tidak bergurau.
"Secepatnya." Virina tersenyum dalam hati mendengar kemantapan suaranya. Padahal sungguh, dia masih tak bisa mempercayai nasib baiknya.
"Baik kalau begitu. Silakan temui Rima di bagian administrasi, dia yang akan mengurus semuanya."
Virina mengangguk dan bangkit, memasukkan map-map ke dalam tasnya. Dilihatnya Raka, pewawancaranya tadi sudah menyibukkan diri kembali dengan kertas-kertas yang ada di mejanya.
"Terima kasih Raka."
Raka mengangkat kepalanya. Dan Virina bisa melihat seberkas senyum tipis sempat bertengger beberapa detik di bibirnya sebelum akhirnya menghilang.
*
Virina tahu ia tak akan bisa mengandalkan Mama untuk terus menerus membiayai kuliah dan les bahasanya. Begitu juga untuk memberinya uang saku dan berbagai macam ongkos-ongkos yang ia perlukan. Dari segala macam biaya makan di sekolah, hingga biaya beli buku dan fotokopi. Memang mereka tidak hidup berkekurangan. Tapi setengah tahun lagi adiknya akan masuk SMA, dan Mama sudah bertekad untuk memasukkan Dhany ke SMA favorit di kota mereka, SMA Virina dulu.
Virina membuka pintu perlahan. Ia tak bisa mencegah tangannya untuk meraih gagang pintu kamar kerja Mama. Tempat Mama menghabiskan berjam-jam waktunya untuk menulis artikel yang nanti akan dikirimkannya ke koran-koran. Tempat ia dan Mama dulu biasa membaca naskah-naskah Mama yang belum selesai ditulis, suatu aktivitas yang sangat disukai Virina semenjak ia kecil. Dan juga tempat Mama melarikan diri dari kesedihannya, setelah Papa meninggal....
"Virina, kamu sudah pulang?" Suara Mama terdengar letih. Virina tahu pasti semalam Mama begadang menyelesaikan artikel yang sudah dekat deadlinenya.
"Sudah Ma. Dan ada berita bagus juga untuk Mama." Virina tersenyum, menekan perasaan sedihnya melihat ada lingkaran gelap di bawah mata Mama.
"Oh ya, apa itu?"
"Virina diterima sebagai staf pengajar paruh waktu di bimbingan belajar SMA Virina dulu, Ma. Tidak besar sih gajinya, tapi lumayanlah. Sekarang untuk uang jajan Virina tidak perlu minta Mama lagi."
Mata Mama membesar, dan untuk beberapa saat ia tidak berkata-kata. Virina menanti dengan cemas. Tidak biasanya Mama berlaku seperti ini. Biasanya Mama selalu berlaku spontan, dan sangat terbuka.
"Ma....ada apa? Mama nggak marah, kan?" Virina bertanya takut-takut. Sungguh, melihat reaksi Mama seperti ini Virina tidak bisa menghilangkan keraguan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ada apa?
"Mama tidak marah, Sayang. Hanya saja...kamu yakin kamu mau bekerja? Bagaimana kuliahmu?" Suara Mama terdengar bergetar.
"Tidak akan terganggu, Ma. Virina hanya akan mengajar di akhir pekan, dan mungkin nanti juga akan ada murid-murid yang bersedia diberi les privat. Jika memang begitu keadaannya, Virina pasti akan menerima jadwal les yang tidak berbenturan dengan kuliah."
Mama menghela nafas. "Syukurlah kalau begitu. Mama hanya merasa bersalah karena...membuat kamu merasa harus bekerja di saat kamu tentunya masih punya banyak hal lain yang ingin kamu lakukan.
"Virina merasa senang bekerja. Bukankah dulu Papa pernah bilang kalau bekerja memberi arti dalam hidup kita, Ma?" Pertanyaan itu lebih merupakan pertanyaan retoris. Virina bisa melihat wajah Mama sedikit mendung ketika mendengar nama Papa, tetapi bibirnya tersenyum.
"Alhamdulillah. Mama benar-benar senang kalau itu sesuai dengan apa yang Virina inginkan."
Tanpa bersuara Virina menghampiri Mama dan memeluk perempuan separuh baya itu. Kata-kata sudah tak lagi diperlukan.
*
"Virina, nanti kamu jadi pembimbing kelas A, ya?" Mbak Renita menghampirinya sambil membawa tumpukan jadwal, tampak ceria dan bersinar seperti biasanya. Virina menyukai mantan seniornya yang selalu murah senyum ini.
"Oh, beres, Mbak. Ada peraturan khusus yang mesti diperhatikan?"
Mbak Renita mengerutkan kening sejenak. "Mestinya sih nggak, tapi Raka bilang dia mau ketemu kamu sebelum kamu masuk kelas dan memperkenalkan diri."
"Oh, dimana?"
"Di kantornya. Mungkin ada yang penting." Mbak Renita memberinya seulas senyum sebelum mendatangi meja-meja lain di sekretariat yang cukup ramai siang itu.
Virina melirik jam tangannya. Dua puluh menit sebelum waktunya masuk ke kelas. Muda-mudahan saja Raka tidak lama. Sedikit khawatir Virina menyandang tasnya dan mengetuk pintu ruang kerja Raka, sebelum akhirnya terdengar jawaban "masuk" yang diucapkan dengan suara berat lelaki itu.
"Duduklah." Raka bahkan tidak mengangkat kepala dari berks-berkas yang ada di hadapannya.
Tanpa bersuara Virina duduk, dan setelah beberapa detik tidak ada kata-kata yang diucapkan, Virina memberanikan diri membuka mulutnya untuk bertanya duluan. "Kata Mbak Reni Anda tadi memanggil saya?"
Dalam hati Virina ingin tertawa. Sungguh, ia tak pernah bersikap seformal ini sebelumnya. Apalagi terhadap orang yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di atasnya.
"Ya, ada beberapa yang harus dijelaskan kepada setiap staf baru." Akhirnya Raka mengangkat kepalanya. "Terutama mengenai hubungan dan etika antara pengajar dan pelajar."
"Ya, misalnya?" Virina tahu ia tak semestinya menyela pembicaraan Raka, tetapi rasa penasarannya membuat ia lupa.
"Hubungan yang melebihi pengajar dan pelajar tidak diperbolehkan dalam bimbingan ini. Jika nanti ketahuan, pengajar yang bersangkutan akan dikeluarkan. Kemudian pengajar juga diharapkan bersikap profesional dengan pelajar, mengenakan pakaian yang sopan dan tidak mengenakan perhiasan berlebihan." Suara Raka terdengar dingin.
"Saya mengerti." Virina menjawab kaku. "Ada lagi yang ingin Anda sampaikan?"
Raka terlihat berpikir sejenak. "Tidak ada. Selamat mengajar."
"Terima kasih." Virina bangkit tanpa menoleh lagi. Ketika ia mencapai pintu, suara Raka tiba-tiba terdengar lagi. " Tolong jangan salah paham, ini demi kebaikan Anda."
"Saya mengerti." Virina menutup pintu di belakangnya. Setelah pintu tertutup barulah ia bisa menghela nafas, melampiaskan kekesalannya.
*
"Jadi, bagaimana hari pertamamu mengajar?"
Virina menjepit gagang telepon di antara leher dan bahunya, sementara kedua tangannya sibuk menjelajahi isi kulkas.
"Menyenangkan kok El. Lagipula namanya anak baru, aku baru memperkenalkan diri, masuk kelas, senyum kanan-kiri, terus mengobrol dengan mereka. Yah, aku baru diberi kepercayaan mengajar setelah minimal setengah tahun jadi pembimbing kelas." Virina menjauhkan gagang telepon sesaat untuk meneguk jus jeruk dari gelasnya.
Di seberang sana Ella tertawa. "Ada kemungkinan salah satu anak didikmu tertarik?"
Virina balas tertawa. "Hus! Aku nggak doyan daun muda. Buatku daun muda cuma cocok untuk lalapan."
"Hahaha, atau salah satu staf pengajar misalnya? Kamu masih 19 Vir. Anak-anak yang kamu ajar paling beda setahun atau dua tahun saja." Ella belum menyerah.
"Aduh El, aku tuh udah diperingatin dari awal sama pimpinan disana, kalau nggak boleh ada hubungan sama anak-anak di kelasku." Virina mengernyit ketika memori itu kembali mampir di benaknya. Wajah Raka muncul lagi disana. Menyebalkan.
Ella tertawa lagi. " Ya udah, nanti jadi makan siang bareng di kampus kan? Jangan lupa telepon kalau udah sampai."
"Beres, Boss!"
*
"Mau makan es krim di Plaza Duta nanti?" Ella memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Mmm..." Virina melirik sepintas ke dompetnya. Di dalamnya masih terdapat sehelai lima puluh ribuan, uang yang didapatnya dari hasil menjadi pembimbing kelas. Tidak banyak memang, tapi entah kenapa Virina merasa sayang sekali untuk membelanjakannya.
"Aku yang traktir." Ella tersenyum menenangkan.
"Makasih El." Virina menyambar tasnya dan dengan tersenyum mengikuti Ella meninggalkan kantin.
*
"Mau duduk dimana?"
Virina mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai es krim itu. Cukup banyak meja kosong yang tersedia, tetapi pandangannya langsung tertumbuk pada sebuah meja di dekat jendela. "Disitu aja!"
"Chocolate sundae." Ella menjawab tanpa benar-benar melirik ke menu yang dibawakan pelayan ke meja mereka.
Virina memesan banana split favoritnya. Pelayan itu segera berlalu setelah mencatat pesanan mereka berdua.
"Lalu, ada cerita apalagi di tempat mengajarmu?" Ella membuka percakapan.
"Nggak ada. Kan semua sudah kuceritakan padamu." Virina melempar pandangannya keluar jendela, khawatir Ella akan bisa melihat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Beneran?"
"Iya, kenapa sih memangnya?"
"Nggak apa-apa sih. Tadinya kukira kamu senang sekali mendapat pekerjaan ini."
"Aku senang. Bisa bantu Mama, dapat uang jajan sendiri. Dapat lebih banyak teman." Virina menjawab singkat.
"Lalu, apa pendapat Mamamu?"
Virina menghela nafas. "Awalnya Mama agak terkejut. Yang sebenarnya wajar. Aku memang tidak memberitahunya sebelum aku diterima. Tapi setelah kuyakinkan Mama memberi izin."
"Syukurlah kalau begitu."
Pesanan mereka datang. Tanpa berkata-kata, Virina dan Ella menikmati es krim masing-masing, larut dalam berbagai pikiran yang menghantui benak mereka.
*
Brak!
" Dia bener-bener keterlaluan!" Seiring tasnya yang mendapat nasib buruk terdampar di atas sofa di kamarnya, tubuh Virina terhempas, cukup keras.
"Apa sih salahnya nyapa sedikit, senyum sedikit? Kamu tuh sebenernya kenapa?!" Virina masih mendesis-desis.
Kejadian tadi sore masih cukup segar di benaknya. Ia dan Ella duduk berdua, menikmati es krim sambil bercakap-cakap, ketika seorang laki-laki dan perempuan duduk di meja tak jauh dari mereka. Virina menoleh, terutama karena ia merasa mengenali pemilik suara di dekatnya itu, dan pada akhirnya menyesali keputusannya untuk menoleh karena...
Raka! Dan sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, bibir Virina sudah bergerak membentuk senyuman. Raka sempat menoleh sesaat, menunjukkan ekspresi dingin yang selalu ia tunjukkan pada Virina, dan kembali berbicara kepada gadis di hadapannya. Semua terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh detik, membuat senyum Virina membeku di bibirnya.
"Ada apa Vir?" Ella yang tak sempat melihat kejadian itu heran melihat ekspresi Virina tiba-tiba berubah.
Virina menggeleng, cepat-cepat menghabiskan es krimnya. "Buruan yuk El. Aku mau ke toko buku."
Ella hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mempercepat menghabiskan es krim yang tinggal beberapa suapan. Ia tahu benar Virina bisa kehilangan kesabarannya dan menyeret gadis itu dari tempat ini jika dalam waktu beberapa menit mereka tidak pergi. Dan benarlah, Virina nyaris saja terpeleset ketika meninggalkan kedai es krim itu sambil berlari. Sungguh, sejak detik ini, ia tidak mau lagi melihat manusia bernama Raka!
*
Hujan deras sekali hari itu. Virina mengutuki dirinya sendiri karena tadi menyanggupi menyelesaikan laporan kelas untuk Mbak Fika. Dan kacaunya lagi, ia menghabiskan waktu hampir satu jam mencari beberapa dokumen penting yang diperlukan untuk menyusun laporan itu. Ketika Virina selesai, tempat bimbingan benar-benar sepi. Dan ia lupa membawa payung, ponselnya tertinggal sehingga ia tidak bisa menghubungi Mama. Lengkap!
"belum pulang?"
Suara itu lagi! Virina menghitung sampai sepuluh sebelum akhirnya menjawab perlahan. "Belum."
"Nggak bawa payung?" Lelaki itu terus mengejar dengan pertanyannya.
"Nggak."
"Mau kuantar pulang?"
Kali ini Virina lupa akan tekadnya untuk tidak menggubris Raka lagi karena terkejut. Ia menoleh pada lelaki itu yang tersenyum, senyum yang dulu selalu ia hadiahkan untuk Virina tapi kini tak pernah tampak lagi.
"Ayo, kuantar pulang. Daripada kamu sendirian disini menunggu hujan reda."
"Nggak apa-apa. Aku bisa menunggu." Virina membuang muka. Entah apa yang ada di dalam pikiran laki-laki ini!
"Kalau malam gedung ini berhantu, lho."
Virina menoleh kembali, kali ini dengan mata membelalak. "Beneran?"
Raka mengangkat bahu. "Sepertinya iya, kan gedung ini sudah tua."
"Lalu...lalu..."
"Virina, kamu bukan anak kecil lagi. Ayo ikut, kuantar kamu sekarang."
Dan Virina menemukan dirinya duduk di sebelah kursi pengemudi dalam Suzuki Carry milik Raka malam itu.
*
"Siapa yang mengantar kamu semalam, Rin?" Mama membuka percakapan selagi mereka sarapan. Semalam Mama memang sudah tertidur kelelahan ketika Virina pulang.
"Pimpinan staf di bimbingan belajar tempat Vina bekerja, Ma."
"Baik sekali dia mau mengantar. Siapa namanya?"
"Raka. Dulu dia kakak kelasku waktu SMA."
"Raka? Maksudmu...Raka Aditya?" Gerakan Mama mengoleskan mentega pada rotinya terhenti.
"Iya, kenapa Ma?"
"Kamu...kenal dia?"
"Iya Ma, kan sudah kubilang dia kakak kelasku waktu SMA. Ada apa sih sebenarnya, Ma?"
Mama menghela nafas. "Entahlah Rin. Mama tidak ingin menceritakan ini sebenarnya. Tapi..."
"Ada apa Ma?" Virina semakin penasaran. Tidak biasanya Mama seperti ini.
"Dulu, sebelum menikah dengan Mama, Papamu adalah suami Mama Raka." Suara Mama lirih sekali, tapi terdengar seperti kilatan guntur di telinga Virina.
"Maksud Mama, maksud Mama...Raka anak Papa?!"
"Bukan Rin. Raka adalah anak dari suami kedua ibunya. Ketika Papamu dan Mama Raka bercerai, kondisi psikologis Mama Raka sangat menyedihkan. Tetapi kemudian ia memutuskan untuk menikah kembali. Sayang pernikahan kedua mereka juga tidak berhasil dan mereka bercerai kembali."
"Tapi...tapi kenapa mereka bercerai?"
"Papamu dan Mama Raka menikah di usia yang sangat muda. Saat itu Papa masih belum punya pekerjaan tetap. Mama Raka tidak puas akan keadaan itu, sehingga akhirnya menuntut perceraian. Tapi pada akhirnya, hal itulah yang membuatnya tertekan karena keluarganya sangat menyesalkan keputusan itu."
Suara Virina tercekat di tenggorokannya. Untuk sejenak ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Lalu...lalu apa yang terjadi, Ma?"
"Ketika Mama Raka bercerai untuk kedua kalinya, ia berada dalam kesulitan keuangan. Akhirnya kami, Mama dan Papamu memutuskan untuk memberinya bantuan modal untuk membuka usaha, dan juga menyekolahkan Raka..."
Mama menghela nafas sesaat, matanya digenangi air. "Raka...Raka awalnya menerima hal itu. Tapi ketika ia mengetahui bahwa Papa adalah mantan suami Mamanya, ia menjadi sangat marah, dan menuduh Papamu telah menyengsarakan Mamanya pada awal perkawinan mereka sehingga sangat sulit untuk Mamanya bangkit kembali. Ia merasa, apa yang Papamu lakukan untuk Mamanya saat itu hanyalah suatu cara untuk menebus dosa."
Kali ini Virina benar-benar kehilangan kata-kata. Jadi...jadi itukah sebabnya mengapa Raka begitu membencinya kini? Bukan karena...bukan karena dahulu ia menolak pernyataan cinta Raka?
"Kapan...kapan terjadinya, Ma?"
"Saat itu kamu masih di bangku SMP. Dan Raka duduk di kelas 1 SMA."
Virina menggigit bibirnya. Jadi benar, itulah sebabnya. Itulah mengapa ketika SMP dulu, bahkan setelah Virina menolaknya, perlakuan Raka terhadapnya masih tetap baik. Tapi ketika ia duduk di kelas 1 SMA, Raka yang dua tahun seniornya memperlakukannya seperti orang asing, bahkan seperti musuh yang sangat dibencinya. Ternyata....
Tiba-tiba Virina kehilangan selera makannya. Tanpa banyak bicara, ia mencium pipi Mama dan berlalu. Ya, ia harus meluruskan segala sesuatunya dengan Raka...
*
"Raka ada di dalam, Mbak?" Virina nyaris kehabisan nafas ketika ia berlari menaiki tangga tiga lantai. Ia sudah sangat tidak sabar untuk bertemu Raka.
"Ada, kok. Masuk saja." Rima yang sedang sibuk mengetik sesuatu tersenyum pada gadis itu.
"Masuk!" Suara dalam Raka menyambutnya.
Virina membuka pintu, berjalan perlahan untuk mengulur waktunya. Dilihatnya Raka seperti biasanya sedang sibuk, tapi ia sempat tersenyum sekilas sebelum menyilakan Virina duduk.
"Duduklah. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku mau bicara." Suara Virina terdengar mantap. Ia bisa melihat Raka terkejut karena ia sudah tidak menggunakan 'saya-anda' lagi.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan." Ia sengaja menekankan kata aku.
"Raka...aku hanya...Baiklah, aku minta maaf jika apa yang pernah dilakukan almarhum Papaku pernah menyakiti hati Mamamu, hatimu, atau bahkan keluargamu." Kata-kata itu melesat begitu saja dari mulut Virina. Untuk sejenak, tidak ada yang berkata-kata. Virina bisa melihat ekspresi wajah Raka mengeras sesaat, tetapi melunak kembali.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan."
"Apa?" Virina nyaris tidak mempercayai pendengarannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Dan jika ada yang perlu minta maaf, maka akulah orangnya." Raka terlihat agak malu.
Virina kini tidak bisa mempercayai penglihatannya. Benarkah ini orang yang sama yang mewawancarainya beberapa waktu lalu?
"Aku minta maaf karena telah menuduh yang bukan-bukan. Sebenarnya aku berhutang budi pada keluargamu. Sangat banyak. Dan aku juga minta maaf karena telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Aku baru sadar, bahwa kau pastilah tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah kenapa, semenjak beberapa tahun yang lalu aku merasa harus menjadikanmu sasaran kemarahan dan kekecewaanku. Aku...pasti sudah sangat menyakitimu."
"Aku mengira kamu marah karena kamu...yah, waktu SMP dulu." Kali ini giliran wajah Virina yang memerah.
Raka tertawa keras. Virina menyadari alangkah menyenangkannya wajah Raka ketika ia tertawa. "Kenapa sih kamu menolakku waktu itu? Kamu menyesal nggak sekarang?" Raka tersenyum menggoda.
"Entahlah. Dulu aku sama sekali tidak berpikir untuk berpacaran. Aku...masih terlalu kecil."
Raka tertawa lagi. "Dan sekarang? Apa kamu sudah siap?"
"Tergantung siapa yang mengajak."
"Kalau aku?" Raka bertanya lembut.
"Kau kan punya pacar! Siapa memangnya yang kauajak makan es krim kemarin?"
"Dia Ratih, sepupuku. Kebetulan dia sedang bermain ke rumah. Kami sudah seperti saudara kandung."
Virina masih menatap wajah di hadapannya dengan tidak percaya. "Beneran?"
"Ayolah Vir. Lima tahun yang lalu kamu masih boleh tidak percaya padaku. Tapi tidak untuk sekarang."
Virina tertawa. Pertama kalinya sejak hari ini. "Baiklah, aku mau."
Raka tersenyum lebar. "Aku berharap hujan turun deras lagi dan kamu tidak membawa payung hari ini."
"Bukan itu yang aku pikirkan. Aku mau menari dalam hujan saja. Mau ikut?"
"Astaga, ternyata kamu masih doyan hujan-hujanan?"
"Masih?" Virina menaikkan alisnya.
"Mm...ketika aku masih SMP, aku melihat seorang adik kelasku menari dalam hujan, ia tidak sadar sama sekali akan keadaan di sekelilingnya. Kelihatan cantik sekali. Sejak itulah aku...tertarik pada adik kelasku itu." Raka mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengingatkanmu lagi, kenapa pada awalnya kau tertarik pada adik kelasmu itu!"
Mereka berdua tertawa, kali ini benar-benar lepas. Segala beban yang pernah ada bertahun-tahun lalu lenyap, menguap bersama tarian hujan.
Tuesday, November 13, 2007
Big Boned ! :D
I wonder what will happen to Cooper? He's just one of my all-time favourite male characters in fiction, and another private investigator to boot :P.
Am considering buying Leonard Woolf's love letters to Trekkie. The whole affair seems miraculously bizarre, but unique in its own way. Browsed Amazon a few days ago and was quite happy to discover that they had a few copy left. Probably will be able to buy soon when I have topped up my old bank account :D.
Regards,
Adilla
Thursday, November 01, 2007
Interrupted Moment
Interrupted Moment, Time and Space in Mrs. Dalloway
Mrs. Dalloway was developed under some rhythm of broken sequences. Using two main characters of Clarissa Dalloway and Septimus Warren Smith, the time and space are conveyed eloquently, scattered but connected by a thin thread that not apparent in the whole text itself.
The World War II is a time-turner which juggles the lives of the people in Mrs. Dalloway, and turns them upside down dramatically. The moments, either missing or disclosed in the novel have created the different individuals, some ‘before’ and ‘after’ characters. Some of the characters’ pasts are known, but some are not even mentioned or ellaborated.
This essay will discuss about the relation of art and moments mentioned in Mrs. Dalloway, and pull them together to show how the plot works and supports the story itself.
Septimus, whose life before the World War has never been disclosed to the readers, find himself as a result of disappointment caused by war. Tragic and traumatic experience has made Septimus trapped in his own moment, causing nervous breakdown and eventually forces him to end his life by committing suicide.
How art works in relating two very different moments and spaces? Traumatic experiences that Septimus has gone through different space and moments are important medium to let the readers see beyond what they read, and not only judge the character, but also perceive it the way it is.
The spaces creation in Mrs. Dalloway is more apparent. The movement of the characters, and also different places used as background, allow the readers to let their thoughts moving, although in scattered and sometimes incomplete movement. The scattered space functions more than just a background of the story.
The scattered spaces form innumerable possibilities of art in reforming the characters’ thoughts, and let the writer create characters who posses some of her traits, and possibly way of life. The art is created by a literature of colours, come from different places, consist of different spaces and time.
The relation of time, culture and changes in the society is apparent in the novel. Though Mrs. Dalloway is not exactly rich with cultural references, it is filled with many moments where the characters found themselves to be a part of society, and not being able to show themselves more than they are allowed to show as part of a certain society. The society is represented by the social system, the parties held by the upper classes, and probably the snobbery of the classes.
The mixture of the society, moments created by it, and thoughts evoked by the movement of the society, changes in the civilization, the bad and good things brought by the civilization itself. Woolf’s own culturally derived disposition to create ‘weathertight’ castles, art forms that stand above refutation, moves her to collaborate in undercutting her own design. (The Interrupted Moment, pp.166) The design and the dynamic of the society takes a certain space and time, and later disappears when blown away by new civilization and modernization.
The preciseness of time in the novel are symbolized the Big Ben that shows the time and followed by the silence. Sometimes the clock shows the real time, but it never affects the surrounding, and somehow insignificant compared to the biological clock that affects the characters personally. “She felt very young, but at the same time unspeakably aged” (pp. 7).
In the novel, Clarissa Dalloway keeps comparing the situation around her, and how it would be different if she was younger. The indecisiveness of this ‘human time’ also mentioned when they reminiscing and indulging in the nostalgia. Many times both Peter and Clarissa are not able to express their past in a certain timeframe, and most of the time the remembrances come as fragmented recollection.
Woolf’s intention of implementing the ‘tradition’ of her autobiographical moments and recollection was understood by Bakhtin as “outdated expectations of artistic fulfillments” (pp. 168). The artistic strategy of Virginia Woolf in putting one foundation and continue building the whole art itself, is a strategy of creating harmony within the novel.
In the novel itself, the recollection part is not always addressed clearly and explicitly. It can be noticed that everytime Peter is almost successful in building his recollection and his past; there is always something that stops him, and makes the recollection unsuccessful. Same goes with her reminiscence. When he and Clarissa met, he told the story about his past and wanted to ask Clarissa, but soon interrupted with
“...these moments,; there coming to him by the pillarbox opposite the British museum, one of them, a moment, in which things come together; this ambulance, life and death” (pp.129). The interrupted moment records many things, similar and opposite, to come together and create a moment, and sign changes in the society. The interrupted moment breaks the silence, thoughts, and movement of people around the scene. The opposite things that seem almost impossible to appear in the same scene, same time and same place, are given a moment that shared without contrasting or contradicting each other.
“Central to all her (Woolf) thinking is the revelation of the interruption, heralding change, and the growing expectation that society is on the verge of radical transformation” (The Interrupted Moment, 173). Given the fact of the situation in the society when the novel was written,
Some of the moments in the novel are shared by the characters. Their feelings and thoughts triggered by the moment are all different, yet their previous activities are stopped, interrupted and their attentions are distracted for a short while, and suddenly not knowing what happens around them. This ‘lost’ occurs several times, only to be switched to another scene, and later suddenly pops out.
The sudden changes, the awakening of people and the society may dignify the movement of art itself. From one era to another era, and sometimes the changes and the movement are not realized, but they are followed by people who change the style and their point of view toward the art, and bring brand new experience of art.
The novel is an artistic means to capture the lives of the people, and every precious moments that signify being. “Life itself, every moment of it, every drop of it….” (pp. 67). Some moments of life captured in the art cannot be described by words, and savoring the life using art may not result in finding the meaning of it.
The characters are enjoying their own moments, relaxing and reliving, living the world hidden from others. ‘He would tell them in a few moments, only a few moments more, of this relief, of this joy, of this astonishing revelation’ (pp. 40). The characters in the novel have their own moments, in which they enjoy the peace and tranquility, which make them forget of their current surrounding. And in some parts, these moments will let them to stand alone separately from other characters, and possibly create another moment out of it.
“Some grief for the past holds it back, some concern for the present”. This sentence exactly illustrates how the time is elaborated in the novel. The characters hold some grudges in the past, regrets, unhappiness, and also confusion, even unhealed wounds. But they can stop indulged in the present. The future remains as unspeakable mystery. But the pondering of how things would have been possibly different if it can be done the other way around is repeated several times. But some of the characters are grateful of what has happened, and accept it the way it is supposed to be. The destiny works in a certain way and separates the characters, but the one-day plot allows so little room for the characters to grow except be more mature spiritually, affected by the sudden changes round them.
Harmony of space and time are represented by sounds and silence in the novel. “Sound made harmonies with premeditation; the spaces between them were as significant as the sounds” (pp.19). Space here signifies the space and distance between the characters, and how they relate to one another in the novel. The space makes everything in the novel harmonious and significant, and it plays similar role to the sound and the silence that keeps repeating during the novel, the silence that keeps everything united together.
“It had gone…” (pp. 18). This line comes after the aeroplane scene, the moment shared between some of the characters, the same moment that stops them from doing any activities that they are doing at the time. Even Septimus who is usually indulged in his own mind is interrupted, and stops for a while to ponder on that sound. The word ‘gone’ repeated several times in the novel and each time, there will be a scene where everything seems to end prematurely, and left without explanation.
There are also some moments where the characters give similar responses when they are distracted by the certain distraction. When something happens to the motorcycle in the novel, “Mrs. Dalloway […] looked the motor car. Everyone looked at the motor car. Septimus looked.”. The action done by the two main characters are separated. It is the same moment, the same event, and also the same response given,
The existence of the characters, being visible or invisible to other characters is discussed in some parts of the novel. “Oddest sense of being herself invisible, unseen; unknown; there being no more marrying….” The sense of being invisible, not filling the time and the space, and not existing or having a moment on her own happens to Clarissa Dalloway in this novel. Probably the visibility and invisibility are quite apparent in the novel. The ‘commonness’ of the Prime Minister, something considered strange by the people during the party, is also a part of invisibility, he exists but the expected impression is not there.
Septimus’ existence in this novel, though not exactly given the real moments of becoming one whole character that stands alone, have meaningful dialogues He was indulged in his own world, rarely thinks of anything else besides his trauma and depression, and often gets confused and as a result, fails to understand other people’s statement and interpret the meanings of his surrounding.
But Septimus could be luckier compared to Clarissa, who is not aware of her own time and space, and often acts as if she has no freedom to act beyond what is required of her, and plays the quite role of a wife of Richard Dalloway and hostess of the parties. The insecurities of the characters in the novel occur, the uncertainties of not knowing what to do and keep wondering why things happen and what happen inside the other characters’ minds, and therefore lose their senses of time.
The sense of time in the novel is sometimes definite and exact, but more than often is indecisive and vague. It is “thirty seconds”, or sometimes in the form of months, June, July, and August, or even years. The time itself never affects greatly the plot and sequence of the novel. The narrative sometimes is switched to indirect discourse, letting the readers know what exactly happens in the characters’ heads, and the indirect course is clearer top the readers than the description by the narrator itself. It does not show the exact moment and the things happening around the characters, but it slowly appears and disappears, guiding the readers to get to know what actually happens.
The images that were conjured and keep repeated in the novel create the same sense of belonging to the same atmosphere, and share the same situation. Although it seems quite unlikely to relate each and every character directly, but there are some scenes where they experience the same event, meet the same people, or recognize the same thing (little girl with a muff, pp. 148).
The moments, the recorded time and space in the novel will eventually lead to an end, and that is the end of the life itself, for “Death was defiance, Death was an attempt to communicate, people filling the impossibility of reaching the centre, which, mystically evaded them,; closeness drew apart; rapture faded; one was alone. “ (pp. 156). The suicide as the climax of the novel is an attempt to end one’s moments of being and the existence in time and space.
The moments created by the characters, the thread that connects them, as well as the thoughts that break the barriers of time and space is not unlimited. But they have created the sense of being, an existence come across the novel, and each moment promises a renewal of some sort, a new life, a new scene, and definitely a brand new experience of being.
References :
From Ruotolo ,Lucio P. The Interrupted Moment: A View of Virginia Woolf’s Novels