This writing is so...NOT me. But I hope you find it enjoyable. :) Happy reading!
"Jadi, kenapa Anda mau bekerja disini?" Mata itu kembali menatapnya dalam-dalam. Sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika orang di hadapannya....
Virina menelan ludah sebelum menjawab. "Saya merasa ini kesempatan yang baik. Walaupun saya masih tingkat pertama, saya merasa cukup mampu untuk menjadi salah satu tenaga pengajar disini."
Masih tatapan yang sama. Virina menyesali keputusannya melamar pekerjaan untuk menjadi staf pengajar di lembaga pendidikan ini. Seandainya dia tahu....
"Baiklah, Anda diterima, kapan Anda bisa mulai?"
Tatapan mata tak percaya. Tapi Virina bisa melihat kesungguhan di mata laki-laki itu. Dia sedang tidak bergurau.
"Secepatnya." Virina tersenyum dalam hati mendengar kemantapan suaranya. Padahal sungguh, dia masih tak bisa mempercayai nasib baiknya.
"Baik kalau begitu. Silakan temui Rima di bagian administrasi, dia yang akan mengurus semuanya."
Virina mengangguk dan bangkit, memasukkan map-map ke dalam tasnya. Dilihatnya Raka, pewawancaranya tadi sudah menyibukkan diri kembali dengan kertas-kertas yang ada di mejanya.
"Terima kasih Raka."
Raka mengangkat kepalanya. Dan Virina bisa melihat seberkas senyum tipis sempat bertengger beberapa detik di bibirnya sebelum akhirnya menghilang.
*
Virina tahu ia tak akan bisa mengandalkan Mama untuk terus menerus membiayai kuliah dan les bahasanya. Begitu juga untuk memberinya uang saku dan berbagai macam ongkos-ongkos yang ia perlukan. Dari segala macam biaya makan di sekolah, hingga biaya beli buku dan fotokopi. Memang mereka tidak hidup berkekurangan. Tapi setengah tahun lagi adiknya akan masuk SMA, dan Mama sudah bertekad untuk memasukkan Dhany ke SMA favorit di kota mereka, SMA Virina dulu.
Virina membuka pintu perlahan. Ia tak bisa mencegah tangannya untuk meraih gagang pintu kamar kerja Mama. Tempat Mama menghabiskan berjam-jam waktunya untuk menulis artikel yang nanti akan dikirimkannya ke koran-koran. Tempat ia dan Mama dulu biasa membaca naskah-naskah Mama yang belum selesai ditulis, suatu aktivitas yang sangat disukai Virina semenjak ia kecil. Dan juga tempat Mama melarikan diri dari kesedihannya, setelah Papa meninggal....
"Virina, kamu sudah pulang?" Suara Mama terdengar letih. Virina tahu pasti semalam Mama begadang menyelesaikan artikel yang sudah dekat deadlinenya.
"Sudah Ma. Dan ada berita bagus juga untuk Mama." Virina tersenyum, menekan perasaan sedihnya melihat ada lingkaran gelap di bawah mata Mama.
"Oh ya, apa itu?"
"Virina diterima sebagai staf pengajar paruh waktu di bimbingan belajar SMA Virina dulu, Ma. Tidak besar sih gajinya, tapi lumayanlah. Sekarang untuk uang jajan Virina tidak perlu minta Mama lagi."
Mata Mama membesar, dan untuk beberapa saat ia tidak berkata-kata. Virina menanti dengan cemas. Tidak biasanya Mama berlaku seperti ini. Biasanya Mama selalu berlaku spontan, dan sangat terbuka.
"Ma....ada apa? Mama nggak marah, kan?" Virina bertanya takut-takut. Sungguh, melihat reaksi Mama seperti ini Virina tidak bisa menghilangkan keraguan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ada apa?
"Mama tidak marah, Sayang. Hanya saja...kamu yakin kamu mau bekerja? Bagaimana kuliahmu?" Suara Mama terdengar bergetar.
"Tidak akan terganggu, Ma. Virina hanya akan mengajar di akhir pekan, dan mungkin nanti juga akan ada murid-murid yang bersedia diberi les privat. Jika memang begitu keadaannya, Virina pasti akan menerima jadwal les yang tidak berbenturan dengan kuliah."
Mama menghela nafas. "Syukurlah kalau begitu. Mama hanya merasa bersalah karena...membuat kamu merasa harus bekerja di saat kamu tentunya masih punya banyak hal lain yang ingin kamu lakukan.
"Virina merasa senang bekerja. Bukankah dulu Papa pernah bilang kalau bekerja memberi arti dalam hidup kita, Ma?" Pertanyaan itu lebih merupakan pertanyaan retoris. Virina bisa melihat wajah Mama sedikit mendung ketika mendengar nama Papa, tetapi bibirnya tersenyum.
"Alhamdulillah. Mama benar-benar senang kalau itu sesuai dengan apa yang Virina inginkan."
Tanpa bersuara Virina menghampiri Mama dan memeluk perempuan separuh baya itu. Kata-kata sudah tak lagi diperlukan.
*
"Virina, nanti kamu jadi pembimbing kelas A, ya?" Mbak Renita menghampirinya sambil membawa tumpukan jadwal, tampak ceria dan bersinar seperti biasanya. Virina menyukai mantan seniornya yang selalu murah senyum ini.
"Oh, beres, Mbak. Ada peraturan khusus yang mesti diperhatikan?"
Mbak Renita mengerutkan kening sejenak. "Mestinya sih nggak, tapi Raka bilang dia mau ketemu kamu sebelum kamu masuk kelas dan memperkenalkan diri."
"Oh, dimana?"
"Di kantornya. Mungkin ada yang penting." Mbak Renita memberinya seulas senyum sebelum mendatangi meja-meja lain di sekretariat yang cukup ramai siang itu.
Virina melirik jam tangannya. Dua puluh menit sebelum waktunya masuk ke kelas. Muda-mudahan saja Raka tidak lama. Sedikit khawatir Virina menyandang tasnya dan mengetuk pintu ruang kerja Raka, sebelum akhirnya terdengar jawaban "masuk" yang diucapkan dengan suara berat lelaki itu.
"Duduklah." Raka bahkan tidak mengangkat kepala dari berks-berkas yang ada di hadapannya.
Tanpa bersuara Virina duduk, dan setelah beberapa detik tidak ada kata-kata yang diucapkan, Virina memberanikan diri membuka mulutnya untuk bertanya duluan. "Kata Mbak Reni Anda tadi memanggil saya?"
Dalam hati Virina ingin tertawa. Sungguh, ia tak pernah bersikap seformal ini sebelumnya. Apalagi terhadap orang yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di atasnya.
"Ya, ada beberapa yang harus dijelaskan kepada setiap staf baru." Akhirnya Raka mengangkat kepalanya. "Terutama mengenai hubungan dan etika antara pengajar dan pelajar."
"Ya, misalnya?" Virina tahu ia tak semestinya menyela pembicaraan Raka, tetapi rasa penasarannya membuat ia lupa.
"Hubungan yang melebihi pengajar dan pelajar tidak diperbolehkan dalam bimbingan ini. Jika nanti ketahuan, pengajar yang bersangkutan akan dikeluarkan. Kemudian pengajar juga diharapkan bersikap profesional dengan pelajar, mengenakan pakaian yang sopan dan tidak mengenakan perhiasan berlebihan." Suara Raka terdengar dingin.
"Saya mengerti." Virina menjawab kaku. "Ada lagi yang ingin Anda sampaikan?"
Raka terlihat berpikir sejenak. "Tidak ada. Selamat mengajar."
"Terima kasih." Virina bangkit tanpa menoleh lagi. Ketika ia mencapai pintu, suara Raka tiba-tiba terdengar lagi. " Tolong jangan salah paham, ini demi kebaikan Anda."
"Saya mengerti." Virina menutup pintu di belakangnya. Setelah pintu tertutup barulah ia bisa menghela nafas, melampiaskan kekesalannya.
*
"Jadi, bagaimana hari pertamamu mengajar?"
Virina menjepit gagang telepon di antara leher dan bahunya, sementara kedua tangannya sibuk menjelajahi isi kulkas.
"Menyenangkan kok El. Lagipula namanya anak baru, aku baru memperkenalkan diri, masuk kelas, senyum kanan-kiri, terus mengobrol dengan mereka. Yah, aku baru diberi kepercayaan mengajar setelah minimal setengah tahun jadi pembimbing kelas." Virina menjauhkan gagang telepon sesaat untuk meneguk jus jeruk dari gelasnya.
Di seberang sana Ella tertawa. "Ada kemungkinan salah satu anak didikmu tertarik?"
Virina balas tertawa. "Hus! Aku nggak doyan daun muda. Buatku daun muda cuma cocok untuk lalapan."
"Hahaha, atau salah satu staf pengajar misalnya? Kamu masih 19 Vir. Anak-anak yang kamu ajar paling beda setahun atau dua tahun saja." Ella belum menyerah.
"Aduh El, aku tuh udah diperingatin dari awal sama pimpinan disana, kalau nggak boleh ada hubungan sama anak-anak di kelasku." Virina mengernyit ketika memori itu kembali mampir di benaknya. Wajah Raka muncul lagi disana. Menyebalkan.
Ella tertawa lagi. " Ya udah, nanti jadi makan siang bareng di kampus kan? Jangan lupa telepon kalau udah sampai."
"Beres, Boss!"
*
"Mau makan es krim di Plaza Duta nanti?" Ella memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Mmm..." Virina melirik sepintas ke dompetnya. Di dalamnya masih terdapat sehelai lima puluh ribuan, uang yang didapatnya dari hasil menjadi pembimbing kelas. Tidak banyak memang, tapi entah kenapa Virina merasa sayang sekali untuk membelanjakannya.
"Aku yang traktir." Ella tersenyum menenangkan.
"Makasih El." Virina menyambar tasnya dan dengan tersenyum mengikuti Ella meninggalkan kantin.
*
"Mau duduk dimana?"
Virina mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai es krim itu. Cukup banyak meja kosong yang tersedia, tetapi pandangannya langsung tertumbuk pada sebuah meja di dekat jendela. "Disitu aja!"
"Chocolate sundae." Ella menjawab tanpa benar-benar melirik ke menu yang dibawakan pelayan ke meja mereka.
Virina memesan banana split favoritnya. Pelayan itu segera berlalu setelah mencatat pesanan mereka berdua.
"Lalu, ada cerita apalagi di tempat mengajarmu?" Ella membuka percakapan.
"Nggak ada. Kan semua sudah kuceritakan padamu." Virina melempar pandangannya keluar jendela, khawatir Ella akan bisa melihat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Beneran?"
"Iya, kenapa sih memangnya?"
"Nggak apa-apa sih. Tadinya kukira kamu senang sekali mendapat pekerjaan ini."
"Aku senang. Bisa bantu Mama, dapat uang jajan sendiri. Dapat lebih banyak teman." Virina menjawab singkat.
"Lalu, apa pendapat Mamamu?"
Virina menghela nafas. "Awalnya Mama agak terkejut. Yang sebenarnya wajar. Aku memang tidak memberitahunya sebelum aku diterima. Tapi setelah kuyakinkan Mama memberi izin."
"Syukurlah kalau begitu."
Pesanan mereka datang. Tanpa berkata-kata, Virina dan Ella menikmati es krim masing-masing, larut dalam berbagai pikiran yang menghantui benak mereka.
*
Brak!
" Dia bener-bener keterlaluan!" Seiring tasnya yang mendapat nasib buruk terdampar di atas sofa di kamarnya, tubuh Virina terhempas, cukup keras.
"Apa sih salahnya nyapa sedikit, senyum sedikit? Kamu tuh sebenernya kenapa?!" Virina masih mendesis-desis.
Kejadian tadi sore masih cukup segar di benaknya. Ia dan Ella duduk berdua, menikmati es krim sambil bercakap-cakap, ketika seorang laki-laki dan perempuan duduk di meja tak jauh dari mereka. Virina menoleh, terutama karena ia merasa mengenali pemilik suara di dekatnya itu, dan pada akhirnya menyesali keputusannya untuk menoleh karena...
Raka! Dan sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, bibir Virina sudah bergerak membentuk senyuman. Raka sempat menoleh sesaat, menunjukkan ekspresi dingin yang selalu ia tunjukkan pada Virina, dan kembali berbicara kepada gadis di hadapannya. Semua terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh detik, membuat senyum Virina membeku di bibirnya.
"Ada apa Vir?" Ella yang tak sempat melihat kejadian itu heran melihat ekspresi Virina tiba-tiba berubah.
Virina menggeleng, cepat-cepat menghabiskan es krimnya. "Buruan yuk El. Aku mau ke toko buku."
Ella hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mempercepat menghabiskan es krim yang tinggal beberapa suapan. Ia tahu benar Virina bisa kehilangan kesabarannya dan menyeret gadis itu dari tempat ini jika dalam waktu beberapa menit mereka tidak pergi. Dan benarlah, Virina nyaris saja terpeleset ketika meninggalkan kedai es krim itu sambil berlari. Sungguh, sejak detik ini, ia tidak mau lagi melihat manusia bernama Raka!
*
Hujan deras sekali hari itu. Virina mengutuki dirinya sendiri karena tadi menyanggupi menyelesaikan laporan kelas untuk Mbak Fika. Dan kacaunya lagi, ia menghabiskan waktu hampir satu jam mencari beberapa dokumen penting yang diperlukan untuk menyusun laporan itu. Ketika Virina selesai, tempat bimbingan benar-benar sepi. Dan ia lupa membawa payung, ponselnya tertinggal sehingga ia tidak bisa menghubungi Mama. Lengkap!
"belum pulang?"
Suara itu lagi! Virina menghitung sampai sepuluh sebelum akhirnya menjawab perlahan. "Belum."
"Nggak bawa payung?" Lelaki itu terus mengejar dengan pertanyannya.
"Nggak."
"Mau kuantar pulang?"
Kali ini Virina lupa akan tekadnya untuk tidak menggubris Raka lagi karena terkejut. Ia menoleh pada lelaki itu yang tersenyum, senyum yang dulu selalu ia hadiahkan untuk Virina tapi kini tak pernah tampak lagi.
"Ayo, kuantar pulang. Daripada kamu sendirian disini menunggu hujan reda."
"Nggak apa-apa. Aku bisa menunggu." Virina membuang muka. Entah apa yang ada di dalam pikiran laki-laki ini!
"Kalau malam gedung ini berhantu, lho."
Virina menoleh kembali, kali ini dengan mata membelalak. "Beneran?"
Raka mengangkat bahu. "Sepertinya iya, kan gedung ini sudah tua."
"Lalu...lalu..."
"Virina, kamu bukan anak kecil lagi. Ayo ikut, kuantar kamu sekarang."
Dan Virina menemukan dirinya duduk di sebelah kursi pengemudi dalam Suzuki Carry milik Raka malam itu.
*
"Siapa yang mengantar kamu semalam, Rin?" Mama membuka percakapan selagi mereka sarapan. Semalam Mama memang sudah tertidur kelelahan ketika Virina pulang.
"Pimpinan staf di bimbingan belajar tempat Vina bekerja, Ma."
"Baik sekali dia mau mengantar. Siapa namanya?"
"Raka. Dulu dia kakak kelasku waktu SMA."
"Raka? Maksudmu...Raka Aditya?" Gerakan Mama mengoleskan mentega pada rotinya terhenti.
"Iya, kenapa Ma?"
"Kamu...kenal dia?"
"Iya Ma, kan sudah kubilang dia kakak kelasku waktu SMA. Ada apa sih sebenarnya, Ma?"
Mama menghela nafas. "Entahlah Rin. Mama tidak ingin menceritakan ini sebenarnya. Tapi..."
"Ada apa Ma?" Virina semakin penasaran. Tidak biasanya Mama seperti ini.
"Dulu, sebelum menikah dengan Mama, Papamu adalah suami Mama Raka." Suara Mama lirih sekali, tapi terdengar seperti kilatan guntur di telinga Virina.
"Maksud Mama, maksud Mama...Raka anak Papa?!"
"Bukan Rin. Raka adalah anak dari suami kedua ibunya. Ketika Papamu dan Mama Raka bercerai, kondisi psikologis Mama Raka sangat menyedihkan. Tetapi kemudian ia memutuskan untuk menikah kembali. Sayang pernikahan kedua mereka juga tidak berhasil dan mereka bercerai kembali."
"Tapi...tapi kenapa mereka bercerai?"
"Papamu dan Mama Raka menikah di usia yang sangat muda. Saat itu Papa masih belum punya pekerjaan tetap. Mama Raka tidak puas akan keadaan itu, sehingga akhirnya menuntut perceraian. Tapi pada akhirnya, hal itulah yang membuatnya tertekan karena keluarganya sangat menyesalkan keputusan itu."
Suara Virina tercekat di tenggorokannya. Untuk sejenak ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Lalu...lalu apa yang terjadi, Ma?"
"Ketika Mama Raka bercerai untuk kedua kalinya, ia berada dalam kesulitan keuangan. Akhirnya kami, Mama dan Papamu memutuskan untuk memberinya bantuan modal untuk membuka usaha, dan juga menyekolahkan Raka..."
Mama menghela nafas sesaat, matanya digenangi air. "Raka...Raka awalnya menerima hal itu. Tapi ketika ia mengetahui bahwa Papa adalah mantan suami Mamanya, ia menjadi sangat marah, dan menuduh Papamu telah menyengsarakan Mamanya pada awal perkawinan mereka sehingga sangat sulit untuk Mamanya bangkit kembali. Ia merasa, apa yang Papamu lakukan untuk Mamanya saat itu hanyalah suatu cara untuk menebus dosa."
Kali ini Virina benar-benar kehilangan kata-kata. Jadi...jadi itukah sebabnya mengapa Raka begitu membencinya kini? Bukan karena...bukan karena dahulu ia menolak pernyataan cinta Raka?
"Kapan...kapan terjadinya, Ma?"
"Saat itu kamu masih di bangku SMP. Dan Raka duduk di kelas 1 SMA."
Virina menggigit bibirnya. Jadi benar, itulah sebabnya. Itulah mengapa ketika SMP dulu, bahkan setelah Virina menolaknya, perlakuan Raka terhadapnya masih tetap baik. Tapi ketika ia duduk di kelas 1 SMA, Raka yang dua tahun seniornya memperlakukannya seperti orang asing, bahkan seperti musuh yang sangat dibencinya. Ternyata....
Tiba-tiba Virina kehilangan selera makannya. Tanpa banyak bicara, ia mencium pipi Mama dan berlalu. Ya, ia harus meluruskan segala sesuatunya dengan Raka...
*
"Raka ada di dalam, Mbak?" Virina nyaris kehabisan nafas ketika ia berlari menaiki tangga tiga lantai. Ia sudah sangat tidak sabar untuk bertemu Raka.
"Ada, kok. Masuk saja." Rima yang sedang sibuk mengetik sesuatu tersenyum pada gadis itu.
"Masuk!" Suara dalam Raka menyambutnya.
Virina membuka pintu, berjalan perlahan untuk mengulur waktunya. Dilihatnya Raka seperti biasanya sedang sibuk, tapi ia sempat tersenyum sekilas sebelum menyilakan Virina duduk.
"Duduklah. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku mau bicara." Suara Virina terdengar mantap. Ia bisa melihat Raka terkejut karena ia sudah tidak menggunakan 'saya-anda' lagi.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan." Ia sengaja menekankan kata aku.
"Raka...aku hanya...Baiklah, aku minta maaf jika apa yang pernah dilakukan almarhum Papaku pernah menyakiti hati Mamamu, hatimu, atau bahkan keluargamu." Kata-kata itu melesat begitu saja dari mulut Virina. Untuk sejenak, tidak ada yang berkata-kata. Virina bisa melihat ekspresi wajah Raka mengeras sesaat, tetapi melunak kembali.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan."
"Apa?" Virina nyaris tidak mempercayai pendengarannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Dan jika ada yang perlu minta maaf, maka akulah orangnya." Raka terlihat agak malu.
Virina kini tidak bisa mempercayai penglihatannya. Benarkah ini orang yang sama yang mewawancarainya beberapa waktu lalu?
"Aku minta maaf karena telah menuduh yang bukan-bukan. Sebenarnya aku berhutang budi pada keluargamu. Sangat banyak. Dan aku juga minta maaf karena telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Aku baru sadar, bahwa kau pastilah tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah kenapa, semenjak beberapa tahun yang lalu aku merasa harus menjadikanmu sasaran kemarahan dan kekecewaanku. Aku...pasti sudah sangat menyakitimu."
"Aku mengira kamu marah karena kamu...yah, waktu SMP dulu." Kali ini giliran wajah Virina yang memerah.
Raka tertawa keras. Virina menyadari alangkah menyenangkannya wajah Raka ketika ia tertawa. "Kenapa sih kamu menolakku waktu itu? Kamu menyesal nggak sekarang?" Raka tersenyum menggoda.
"Entahlah. Dulu aku sama sekali tidak berpikir untuk berpacaran. Aku...masih terlalu kecil."
Raka tertawa lagi. "Dan sekarang? Apa kamu sudah siap?"
"Tergantung siapa yang mengajak."
"Kalau aku?" Raka bertanya lembut.
"Kau kan punya pacar! Siapa memangnya yang kauajak makan es krim kemarin?"
"Dia Ratih, sepupuku. Kebetulan dia sedang bermain ke rumah. Kami sudah seperti saudara kandung."
Virina masih menatap wajah di hadapannya dengan tidak percaya. "Beneran?"
"Ayolah Vir. Lima tahun yang lalu kamu masih boleh tidak percaya padaku. Tapi tidak untuk sekarang."
Virina tertawa. Pertama kalinya sejak hari ini. "Baiklah, aku mau."
Raka tersenyum lebar. "Aku berharap hujan turun deras lagi dan kamu tidak membawa payung hari ini."
"Bukan itu yang aku pikirkan. Aku mau menari dalam hujan saja. Mau ikut?"
"Astaga, ternyata kamu masih doyan hujan-hujanan?"
"Masih?" Virina menaikkan alisnya.
"Mm...ketika aku masih SMP, aku melihat seorang adik kelasku menari dalam hujan, ia tidak sadar sama sekali akan keadaan di sekelilingnya. Kelihatan cantik sekali. Sejak itulah aku...tertarik pada adik kelasku itu." Raka mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengingatkanmu lagi, kenapa pada awalnya kau tertarik pada adik kelasmu itu!"
Mereka berdua tertawa, kali ini benar-benar lepas. Segala beban yang pernah ada bertahun-tahun lalu lenyap, menguap bersama tarian hujan.
No comments:
Post a Comment