CINTA DUA PULUH TAHUN
Dua puluh tahun tidak bisa memisahkan dunia yang mestinya berisi buku, pesta dan cinta dengan dunia itu. Dunia berisi seminar, rapat, presentasi dan pertemuan-pertemuan bisnis. Tapi cinta dalam dunia pertama begitu ingin memasuki dunia kedua. Begitu cepat ia tumbuh dewasa. Tapi dua puluh tahun itu terasa begitu jauh. Dan cinta itu terus berharap.
Dua puluh tahun tidak cukup lama untuk membuatnya menyadari kenyataan. Tidak. Toh memang tidak ada yang tidak mungkin. Selama ia masih hidup ia ingin menikmati kenyataan itu. Seperti saat ini. Tidak ada sesuatu yang membuatnya menyesal. Tidak ada. Keberadaan sosok itu begitu kuat. Sehingga tak mungkin bagi perempuan itu untuk mengelak. Dan inilah kenyataan.
Dua puluh tahun adalah intensitas itu. Intensitas padangan mata yang begitu penuh padat. Ia membentang jarak dua puluh tahun seperti jembatan yang menghubungkan dua sungai.Tak peduli apakah jembatan itu rapuh dan tak bisa disebrangi.Tak peduli apakah orang-orang akan berani menyebranginya. Hanya menatap. Dan itu membuatnya puas. Dan itu kembali, membuatnya puas.
Dua puluh tahun tidak bisa menerjemahkan pandangan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya dan cinta seorang wanita kepada laki-laki. Ia terlalu sederhana untuk diterjemahkan. Tetapi juga terlalu sulit untuk hanya diterima mentah-mentah. Perempuan itu memilih menerjemahkannya sendiri. Ia seperti kupu-kupu yang begitu bahagia melirik kesana kemari, tanpa bisa saling menyentuh. Dua puluh tahun.
Dua puluh tahun tidak membuatnya menyalahkan sang Pencipta. Ia tahu ia takkan pernah berhak. Dua puluh tahun membuat pertemuan ini terjadi. Dua puluh tahun membuat tangan-tangan itu tak pernah sampai dan hujan itu terus berderai, sementara kabut pemisah tak henti-hentinya terurai. Tidak ada yang dirugikan.
Dua puluh tahun tidak membuatnya menyesali dan menangis setiap kali dadanya sesak oleh perasaan yang begitu ingin membuncah keluar. Bibirnya terlalu kecil untuk mengucapkan semuanya. Kakinya terlalu mungil untuk bisa membentangi jarak itu dan mendekatkannya. Tapi hatinya luas. Hatinya begitu luas dan disitulah ia mensyukuri dalam setiap detik hidupnya, kesempatan untuk bisa menikmati perasaan itu walaupun seluruh air mata yang ia miliki menjadi penukarnya.
Dan dua puluh tahun seperti sebuah kedipan mata. Hanya senyuman dan pujian dahulu dari lelaki itu yang terus membuatnya hidup, menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian yang ramai. Perempuan itu selalu memenuhi hatinya dengan keindahan dan kenangan-kenangan yang direka ulang dalam berbagai versi buatannya sendiri. Gumpalan gambar, rekaman suara menjadi nutrisi hatinya yang kerap mengering dan bersedih.
Dua puluh tahun itu terus terngiang. Mengalahkan kesibukan yang terpisahkan oleh tumpukan kertas dan buku-buku serta laporan kerja. Mengalahkan tumpukan laporan yang harus segera diperiksa. Menusuk pada malam-malam yang dingin. Ia terlalu indah untuk ditepis, tapi terlalu halus untuk disadari keberadaannya. Dan lelaki itu memang tak pernah menyadari.
Dua puluh tahun membuat yang mungkin menjadi tak mungkin. Lelaki itu tak pernah menyadari ada sepasang mata penuh kerinduan yang menatap di balik tirai tertutup, berharap ada sepotong kata dari pita suara yang akrab itu terdengar telinga. Tapi dinding itu terlalu tebal dan kejam untuk membiarkan hal itu terjadi. Sambil mengharap angin yang berhembus kencang untuk menerbangkannya, gadis itu melangkah perlahan, kakinya terlalu berat untuk digerakkan menjauhi ruangan itu. Kalau saja…Ya, kalau saja.
Dua puluh tahun perbedaanlah yang membuat pertemuan mereka begitu berharga. Kepolosan berpadu dengan kematangan dan kemantapan akan dunia semu yang begitu menjebak. Dan waktu terasa berhenti saat itu juga. Tidak ada yang menyadarinya. Bahkan hingga kaki harus dilangkahkan dan selamat tinggal harus diucapkan. Detik pertama itu telah terpatri abadi, seperti senja yang mengawang di sebuah pegunungan. Ia telah berbaur dengan kesyahduan yang nyata. Kesyahduan yang nyata.
Dua puluh tahun membuat kesadaran dan kesenangan yang memuncak menyatu. Lelaki itu bersembunyi di dalam senyumnya, perempuan itu bersembunyi di balik tatapan mata dan topeng kacanya yang mudah pecah. Ia tak pernah sanggup menyembunyikan semuanya di balik senyuman, sebab siapapun pasti bisa melihat air mata kesedihan yang tak pernah berhenti mengalir di malam hari.
Dua puluh tahun itu bisa memecahkan karang yang menggumpal.Tapi ia tak bisa memberitakan kenyataan. Ia tak pernah sanggup meyakinkan. Seperti memasukkan benang ke dalam sebuah jarum yang tak berlubang. Salah sasaran. Lelaki itu terlalu sibuk membohongi kenyataan. Dan perempuan itu terlalu sibuk menyatakan kebohongan pada hatinya.
Dua puluh tahun perbedaan membuatnya tegar. Luka itu takkan pernah sembuh. Kehadiran seseorang itu tak pernah bisa dihapus, dan ruang di hatinya terlalu sempit untuk menampung sosok baru. Ia hidup dalam kenangan, seperti sebuah lilin yang menyala dalam ruangan gelap. Takkan pernah cukup terang, tapi setidaknya ia tak akan terantuk bila berjalan di dalamnya.
Dua puluh tahun yang membuatnya berandai-andai. Drama macam apa yang sebenarnya dibuat Sang Pembuat Skenario terhebat ini? Akan sampai kapankah ia bisa menjalani perannya? Tak adakah yang menggantikan? Ia sudah lelah menghafal skenarionya. Bibirnya sudah terlalu kering untuk mengucapkan dialog-dialognya. Air matanya sudah habis untuk memerankan adegan menangis. Dan ia sudah lupa bagaimana caranya tertawa.
Dua puluh tahun yang melelahkan. Seperti dentuman takdir yang bercampur dengan doa. Doa itu terkadang terlalu lemah, tapi sering pula terlalu kuat sehingga takdir terkulai tak berdaya. Takdir yang terengah-engah itu tetap bergaung, mengakar kuat meski kekalahannya telah nyata. Dan doa itu, kadang terlalu bangga hingga takdir kembali memukulnya kuat-kuat, membawanya kembali pada kenyataan. Dua puluh tahun itu. Ia berhembus seperti kisah-kisah abadi yang terus digemakan pegunungan dan ditangisi langit di kesendiriannya. Sejarah terus mencatat, bunga-bunga terus menyanyikan lagu penghibur. Pada sebuah monumen cinta dengan dua puluh tahun pemisah. Cinta dua puluh tahun.