MATA YANG TAK PERNAH JATUH CINTA
Raya memicingkan matanya ketika memasuki toko alat lukisan yang cukup besar itu. Hal yang hampir selalu ia lakukan setiap kali ia datang ke toko ini. Pak Roni, seorang lelaki paruh baya yang periang, memang memasang banyak sekali lampu di tokonya. Raya mencari-cari lelaki itu ke sekeliling ruangan. Matanya tertumbuk pada sebuah sosok yang sedang asyik melukis di sudut ruangan.
“Sore Pak Roni.” Raya menyapa sopan. Pak Roni menghentikan kegiatan yang ditekuninya dan membalas salam. “Sore Raya. Catmu habis ya?” Lelaki itu mengelapkan tangannya yang belepotan cat ke sehelai lap dan mendekati Raya, masih dengan senyum khasnya yang tersungging lebar.
“Saya mau beli kuas.” Raya menjelaskan pada Pak Roni jenis kuas yang ia butuhkan. Lelaki itu mengangguk-angguk dan bergegas ke etalase, mencarikan kuas yang Raya maksud.
“Sedang melukis apa, Pak? Raya memberanikan diri bertanya. Lukisan yang sedang Pak Roni kerjakan memang beraliran abstrak, dan Raya nyaris tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang jenis itu. Ia hanya bisa melukis realis.
“Penari Bali.” Pak Roni mengulurkan kuas yang sudah terbungkus rapi ke tangan Raya. “Almarhum istri Bapak sangat tertarik dengan kebudayaan Bali, dan pernah Bapak berjanji untuk melukiskan penari Bali untuknya. Tapi…” Suara Pak Roni menghilang. Raya menunduk. Ia jadi tak enak hati menanyakan hal itu pada Pak Roni.
“Maaf…saya tidak bermaksud membangkitkan kenangan buruk Bapak tentang hal itu. Saya permisi dulu, Pak…”
“Jangan pergi Raya. Justru Bapak yang ingin minta maaf. Malah membuat perasaan kamu tak enak dengan cerita Bapak ini.” Pak Roni memaksakan seulas senyum di bibirnya. “Sebenarnya Bapak punya tantangan buat kamu.” Mata lelaki separuh baya itu berbinar sedikit.
Raya mengangkat alis tanda tak mengerti. Pak Roni menunjuk sebuah kursi di dekat mereka, menyuruh Raya duduk, ia sendiri berjalan menuju ke belakang toko, dan kembali dengan sebuah buku sketsa di tangannya.
“Kamu lihat buku sketsa ini?”
Raya mencondongkan badan, mengamati lembar demi lembar halaman buku sketsa yang sedang dibuka Pak Roni.
“Semuanya…penari Bali.” Raya bergumam pelan.
“Ya, semuanya penari Bali.” Pak Roni mengangguk dan mengulurkan buku itu ke tangan Raya.
“Bapak ingin kamu memiliki buku ini.”
Raya menatap mata lelaki setengah baya itu, berusaha menjabarkan isi hati bertelaga teduh yang saat ini sama sekali tak terbaca oleh Raya.
“Ambillah buku ini Raya, Bapak ingin kamu memilikinya. Dan lukislah,lukislah penari Bali dengan mata yang tengah jatuh cinta.”
Raya menerima buku itu, bibirnya bergerak untuk mengatakan sesuatu, sesuatu yang lebih dari sekedar ucapan terima kasih, tetapi gelengan kepala Pak Roni menghentikannya.
“ Datanglah kemari dan tunjukkan ke Bapak lukisan yang sudah jadi itu.”
Raya hanya bisa mengangguk.Hanya bisa mengangguk.
Malam itu Raya tidak bisa tidur. Mata yang tak pernah jatuh cinta? Setidaknya mata yang tak lagi jatuh cinta milik Pak Roni. Tapi…kalau yang dimaksud cinta laki-laki kepada seorang perempuan, Raya pun belum pernah merasakannya. Bagaimana cara melukis sepasang mata yang penuh cinta jika pelukisnya saja tidak tahu bagaimana mata yang jatuh cinta itu?
Sulit. Ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, Semula Raya menyangka ia akan cukup mampu untuk memenuhi permintaan Pak Roni. Raya sudah cukup sering melukis dengan aliran naturalis, dan semuanya, tanpa menggunakan model sungguhan. Apa…apa semua karya yang telah ia hasilkan dulu tidak berjiwa? Karena mereka tidak bermodel dan hanya menggunakan imajinasinya semata?
Raya bangkit dari tempat tidurnya dan kembali membolak-balik buku sketsa pemberian Pak Roni. Semakin ia membolak-balik buku itu dan mengamati gambar-gambar di dalamnya, semakin ia mengerti bahwa Pak Roni tidak main-main ketika memberikan pesan itu kepadanya. Raya tahu ia harus melakukan sesuatu. Harus.
*
“Raya!” Gilang menepuk bahu sahabatnya sekilas.
“Ya, Lang, ada apa?” Raya mengangkat kepala sekilas dari buku yang sedang dibacanya.
“Baca buku apa?”
Raya menunjukkan sampul buku yang sedang ia baca, membiarkan Gilang membaca judul yang tertera.
“Ada apa dengan kamu, Ya? Tiap istirahat selalu buku soal lukis melukis dan buku-buku sastra yang tak aku kenal penulisnya yang kamu pegang.”
Raya tersenyum tipis dan meletakkan buku yang sedang ia baca. Rasa penasaran Gilang menggebu-gebu rupanya. Biarlah ia melayani sahabatnya sebelum kembali berkutat dengan bukunya. “Aku punya alasan dibalik semua ini, Lang. Kamu bisa jaga rahasia kalau aku cerita kenapa aku jadi lebih rajin akhir-akhir ini?”
Gilang mengangguk penuh semangat. “Lidahku terjaga, Ray. Ada cerita
“Aku…aku lagi mau ngelukis sesuatu, tapi bingung gimana ngelukisnya.”
Gilang mengangkat alisnya.” Seorang Raya sampai bingung bagaimana cara melukis sesuatu? Apa aku salah dengar?”
“Bukan lukisan biasa, ini lukisan penari Bali titipan salah seorang orang yang aku hormati.”
Mengalirlah cerita itu dari mulut Raya. Tentang Pak Roni, tentang lukisan penari Bali yang diinginkan istri Pak Roni dan…tentang mata yang tak pernah jatuh cinta. Gilang sampai sangat terpukau mendengar semua cerita itu. Mulutnya yang biasanya tak pernah diam hanya ternganga.
“Jadi,intinya kamu sedang mencari model?”
Raya mengangguk.
“Bagaimana kalau Renata?”
“Renata?” Mata Raya bergerak ke arah gadis pendiam teman sekelas mereka, yang duduk tak jauh dari mereka.
Gilang mengangguk.”Renata Abdullah.”
“Kenapa Renata?” Raya tak mampu menyembunyikan keheranannya.
“Renata menyukai kamu dari dulu, Ya!”
Alis mata Raya terangkat tinggi.
“Kamu ingin melukis penari yang matanya jatuh cinta, kan? Renata adalah model yang paling pas!”
Raya masih terbelalak. “Kamu serius, Lang?”
Gilang mengangkat dua jarinya tak sabar. “Aku serius! Kamu bisa temui dia di perpus setelah jam pulang nanti. Biasanya dia disana.” Gilang melirik gadis itu sembunyi-sembunyi dan merendahkan suaranya.
Raya masih menggelengkan kepalanya. Gilang memang ajaib!
*
Dan disinilah Raya, menemukan dirinya, berdiri di perpustakaan dengan linglung, matanya mencari-cari sosok Renata. Dilihatnya gadis itu sedang berjinjit mengambil sebuah buku dari rak yang tinggi. Entah kenapa kaki Raya tiba-tiba tergerak untuk membantunya.
“Oh, terima kasih, Ray.” Renata menatap penolongnya, terlihat sangat terkejut.
“Sama-sama.” Raya membalas senyuman gadis itu. Apa benar Renata menyukaiku?
Suasana hening sejenak, Raya mulai gelisah, ia tidak tahu bagaimana harus memulai percakapa dengan Renata.
“Masih suka melukis, Ray?”
Mata Raya membelalak sedikit. Kesempatan baik mungkin, meminta Renata menjadi modelnya sementara mereka memperbincangkan tentang lukis melukis.
“Aku…sedang mencari model untuk lukisan baruku.”
Mata Renata bersinar.”Oh,ya? Lukisan apa?”
“Penari Bali.”
Renata berdecak kagum. “Pasti nanti hasilnya indah, seperti lukisan-lukisan kamu sebelumnya….”
“Kamu mau jadi modelku?” Raya nyaris memaki dirinya sendiri yang tidak mampu berbasa-basi.
Mata itu membelalak lagi. “Kamu serius?”
Raya mengangguk, walaupun ia sedikit bingung melihat keantusiasan Renata. “Iya, mmm…kalau kamu bersedia. Di rumahku mungkin…”
“Aku mau.” Renata menjawab singkat. Raya menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. Renata bersedia? Kalau begitu…mungkin akan lebih mudah melukis pesanan Pak Roni.
“Kalau begitu….nanti aku hubungi kamu lagi Tapi, mungkin akan cukup memakan waktu melukisnya.”
“Tidak masalah buatku. Baru pernah ada yang minta aku jadi model lukisan.” Mata Renata berkilauan bahagia. Raya seperti terhipnotis. Ia cuma bisa mengangguk.
“Sampai ketemu.”
“Sampai ketemu.”Renata tersenyum. Manis sekali. Raya kembali bingung. Benarkah ini Renata yang biasanya?
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Raya teringat sesuatu.
“Renata?”
“Ya?”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Raya berdiri disana, takjub beberapa saat sebelum akhirnya punggung Renata menghilang kembali di balik rak-rak buku nan tinggi, Benarkah mata yang baru dilihatnya tadi adalah mata yang jatuh cinta?
*
Renata benar-benar datang hari itu. Padahal Raya hampir saja menjitak Gilang yang bawel karena sahabatnya itu sudah dengan ributnya berteriak-teriak kegirangan karena tahu Renata sudah mengiyakan ajakan Raya untuk menjadi modelnya, yang semula ia pikir hanya basa-basi semata. Tapi itulah yang terjadi. Renata benar-benar datang.
“Terima kasih sudah mau datang.” Raya menyilakan Renata duduk di ruang tamu rumahnya dengan sedikit kikuk. Sungguh,ia tidak tahu bagaimana caranya bersikap di hadapan gadis ini, karena mereka jelas-jelas bukan teman dekat.
“Kapan mulainya, Ray?”
“Kamu mau duduk-duduk minum dulu? Atau lagi buru-buru, ya?”
“Oh, tidak.” Renata menjawab, sedikit terlalu cepat.
“Silakan minum dulu, nanti kita ke studioku.”
“Studio? Kamu punya studio lukis sendiri?” Mata itu membelalak lagi. Raya tertegun sejenak, dan tiba-tiba ia menyadari bahwa sejak beberapa hari yang lalu ia selalu mengamati mata Renata. Benar, mata itu begitu hidup. Kacamata yang dikenakan gadis itu tidak bisa menyembunyikan vitalitas yang terpancar dari dalamnya.
“Almarhum ayahku dulu membuatkan studio kecil untukku. Sederhana saja, cuma sebuah kamar kecil yang tak terpakai.”
Renata menghabiskan minumannya dan mengikuti Raya menuju studio lukis itu. Kecil dan sederhana, seperti yang digambarkan Raya. Tapi di dalamnya penuh harta berharga. Setidaknya bagi Raya.
Jadilah seharian itu Raya melukis. Mata Renata begitu hidup, begitu bercahaya. Begitu pula mata penari yang dilukis Raya. Mungkinkah ini mata yang tengah jatuh cinta yang sedang ia lukis. Raya tidak tahu pasti.
Jemari Raya bergerak menyapukan kuasnya. Sesekali matanya bertumbukan dengan mata Renata. Benarkah mata Renata terlihat semakin bersinar seiring dengan goresan kuas di kanvas itu? Raya menggelengkan kepala dan memejamkan matanya, berharap itu hanyalah khayalan yang akan segera hilang. Tapi…
“Ada apa, Ray?” Suara Renata terdengar khawatir.
Raya meletakkan kuasnya sejenak dan memaksakan seulas senyum. “Tidak ada apa-apa Ren. “
Ia kembali menggoreskan kuasnya, seiring dengan letupan-letupan kecil di hati yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini…
*
Benarkah senja datang membelai tatkala ia masih muda
Hingga engkau malu dan merona?
Seutas kemilau mengawang ragu di jendela
Tak takutkah ia akan tirai-tirai gulita?
Ingin kutaburkan namamu di kaki-kaki pantai
Hingga camar-camar berhenti bertikai
Sang Waktu sedang berciuman
Busur cakrawala ini patah berserakan
Pasang sepatu kacamu Angin Merah Jambu
Dan hamparkan pertunjukan untuk bintang bulan penghuni langit
Remah cuaca menggigit-gigit panggung kita
Gejolakkah yang bermain biola dan merangkul harpa di sisinya?
Angin Merah Jambu, namamukah digemakan dasar samudera?
Ditiru dan dikuliti pelangi saat rintik pagi tiba
tampaknya, debu pun membentuk sunyimu kala bertahta
dan benarkah itu cinta-Nya yang tersembunyi padamu saat senja kembali menggoda?
Raya masih menyimpan puisi itu di laci mejanya. Sungguh, tulisan tangan rapi di atas sehelai kertas itu membuatnya tak sanggup membuangnya. Apalagi isinya. Puisi karya Renata. Puisi yang Renata tulis saat ia menjadi model Raya untuk kedua kalinya. Saat Renata mengatakan betapa ia menyukai angin yang berhembus dan berwarna merah jambu, meliputi hati yang bersyukur.
Renata bukanlah Renata yang dahulu ia kenal. Bukan Renata yang pendiam, kutu buku, dan sedikit pemalu. Renata yang ia kenal sekarang adalah Renata dengan mata seindah kilauan Spica di langit. Mata yang baru ia sadari keberadaannya.
Raya menghela nafas, memasukkan kembali puisi itu ke dalam saku celananya. Entah untuk keberapa kalinya dalam seminggu ini ia membaca puisi itu. Seminggu setelah Renata tak lagi menebar senyum manisnya saat ia memasuki studio mungil Raya. Seminggu setelah suara dan tawa renyahnya tak terdengar lagi. Seminggu setelah….lukisan penari Bali itu jadi.
Raya melangkahkan kaki menuju toko Pak Roni.Lukisan itu sudah terbingkai sederhana, dibungkus hati-hati sekali oleh Raya. Pak Roni sedang duduk di sudut tokonya, melukis sketsa dengan kesungguhan luar biasa. Bibir lelaki itu mengembang membentuk senyum melihat Raya.
“Bagaimana, Raya? Sudah bisakah kamu melukis mata yang sedang jatuh cinta?”
“Mata yang Bapak lihat sekarang adalah mata yang tengah jatuh cinta.” Raya menjawab tenang, sembari tangannya mengulurkan lukisan yang terbungkus rapi ke tangan Pak Roni. Lelaki itu membuka bungkusan tersebut dan mengamati lukisan di dalamnya, titik-titik embun mengambang di pelupuk matanya. “Saya jatuh cinta pada lukisanmu, Raya.” Kali ini, giliran Raya yang kehabisan kata-kata.
Tak jauh dari sana, Renata tengah membuka bungkusan lain. Lukisan penari Bali yang sama, dengan ia sebagai modelnya. Renata sungguh bahagia. Tapi apa yang tertulis di secarik kertas yang tertempel di lukisan itulah yang membuat cahaya di matanya lebih terang dari cahaya Orion.
Untuk mata yang penuh cinta, terima kasih karena telah membuat mataku menjadi mata yang tengah jatuh cinta.-Raya-
Renata bukanlah Renata yang dahulu ia kenal. Bukan Renata yang pendiam, kutu buku, dan sedikit pemalu. Renata yang ia kenal sekarang adalah Renata dengan mata seindah kilauan Spica di langit. Mata yang baru ia sadari keberadaannya.
Raya menghela nafas, memasukkan kembali puisi itu ke dalam saku celananya. Entah untuk keberapa kalinya dalam seminggu ini ia membaca puisi itu. Seminggu setelah Renata tak lagi menebar senyum manisnya saat ia memasuki studio mungil Raya. Seminggu setelah suara dan tawa renyahnya tak terdengar lagi. Seminggu setelah….lukisan penari Bali itu jadi.
Raya melangkahkan kaki menuju toko Pak Roni.Lukisan itu sudah terbingkai sederhana, dibungkus hati-hati sekali oleh Raya. Pak Roni sedang duduk di sudut tokonya, melukis sketsa dengan kesungguhan luar biasa. Bibir lelaki itu mengembang membentuk senyum melihat Raya.
“Bagaimana, Raya? Sudah bisakah kamu melukis mata yang sedang jatuh cinta?”
“Mata yang Bapak lihat sekarang adalah mata yang tengah jatuh cinta.” Raya menjawab tenang, sembari tangannya mengulurkan lukisan yang terbungkus rapi ke tangan Pak Roni. Lelaki itu membuka bungkusan tersebut dan mengamati lukisan di dalamnya, titik-titik embun mengambang di pelupuk matanya. “Saya jatuh cinta pada lukisanmu, Raya.” Kali ini, giliran Raya yang kehabisan kata-kata.
Tak jauh dari sana, Renata tengah membuka bungkusan lain. Lukisan penari Bali yang sama, dengan ia sebagai modelnya. Renata sungguh bahagia. Tapi apa yang tertulis di secarik kertas yang tertempel di lukisan itulah yang membuat cahaya di matanya lebih terang dari cahaya Orion.
Untuk mata yang penuh cinta, terima kasih karena telah membuat mataku menjadi mata yang tengah jatuh cinta.-Raya-
3 comments:
saya save, buat dibaca di rumah
dil. keren. as usual.
*kehabisan kata2*
Makasih banyak buat Kang Agah dan Fanny yang udah baca dan kasih comment :)
Post a Comment